Remaja Saudi yang kabur setelah keluar dari Islam mendapat suaka di Kanada
Terancam hukuman mati jika kembali ke Arab Saudi, kini Rahaf Mohammed al-Qunun terbang ke Kanada untuk menyelamatkan diri.
Ketika pesawatnya tinggal landas, pimpinan dinas keimigrasian Thailand, Mayor Jenderal Surachate Hakparn, menyebut Qunun meninggalkan Bangkok dengan bahagia dan berterima kasih atas seluruh perlakuan yang diterimanya.
Senin lalu, Surachate mengubah kebijakannya dan bersedia memberikan suaka sementara untuk Rahaf.
Surachate menuturkan, ayah dan saudara laki-laki Qunun juga akan meninggalkan Thailand dalam waktu dekat. Keduanya datang ke Bangkok untuk membujuk Qunun pulang ke kampung halaman, dan ternyata usaha itu sia-sia.
Kepergian Qunun ke Kanada berselang dua hari sejak pemerintah Australia menyatakan bersedia menangani kasus perempuan itu. Australia sempat menyebut akan memperlakukan Qunun secara simpatik.
Tidak jelas mengapa opsi yang ditawarkan Australia diabaikan dan PBB justru beralih ke Kanada. Penyebabnya barangkali kebijakan keras Australia terhadap pengungsi.
Ada pula dugaan soal pernyataan Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton, bahwa Qunun tidak akan menerima perlakuan spesial. Dutton juga menyebut pengajuan suaka Qunun berpotensi berjalan lamban.
PBB prihatin atas keamanan Qunun, terutama karena munculnya ancaman pembunuhan melalui media sosial. Kanada dianggap dapat menyediakan suaka secara lebih cepat.
Mengapa dia kabur?
Di Arab Saudi, setiap orang yang menyangkal atau meninggalkan agama Islam dapat dihukum mati.
Di bawah sistem perwalian laki-laki, setiap perempuan Saudi harus mendapat persetujuan dari anggota keluarga laki-laki untuk paspor, izin berpergian atau sekolah keluar negeri.
Hal yang sama berlaku bagi perempuan yang hendak menikah, meninggalkan penjara, atau ingin keluar dari penampungan korban kekerasan.
Qunun berkata kepada BBC, "Saya membagi kisah dan foto saya di media sosial. Ayah saya menjadi sangat marah."
"Saya tidak bisa belajar atau bekerja di negara saya. Jadi saya harus bebas agar bisa sekolah dan bekerja sesuai keinginan saya," tuturnya.
Qunun mengaku, ia juga khawatir akan dibunuh oleh keluarganya sendiri.

Dalam wawancara dengan kantor berita AFP, ia mengaku mengalami kekerasan fisik dan mental dari keluarganya, termasuk dikurung di kamar selama enam bulan karena memotong rambutnya.