LIFEs: Hoaks politik yang menjadi 'kata dalam cahaya' di pesta sastra
Bukan hal yang terlalu gampang mencari kaitan antara hoaks -istilah yang belakangan begitu mendominasi dalam hampir segala bentuk dan topik

Bukan hal yang terlalu gampang mencari kaitan antara hoaks -istilah yang belakangan begitu mendominasi dalam hampir segala bentuk dan topik percakapan- dengan pesta sastra, namun itulah yang ditawarkan LIFEs 2018.
LIFEs adalah Literature and Ideaa Festival, atau Festival Sastra dan Gagasan, yang diselenggarakan setiap tahun menggantikan Bienal Sastra yang dulu diselenggarakan setiap dua tahun.
"Awalnya tema LIFEs 2018 ini adalah Hush-hush Hoax, berkaitan dengan tahun politik (2018-1019)" kata Ayu Utami novelis yang merupakan direktur dari pesta sastra tahunan Salihara, LIFEs 2018.
Namun kemudian, katanya mereka kemudian menggantinya dengan istilah lain yang mengacu kepada pengertian yang serupa namun dalam ekspresi yang kurang 'gelap, takni Words on Stage, atau dalam rumusan bahasa Indonesia, Kata dalam Cahaya, "beberapa saat sebelum terjadinya peristiwa hoaks besar yang melibatkan seorang seniman," tambah Ayu.
- Penulis lama, perupa baru: 'Yang grotesk' dalam sketsa Goenawan Mohamad
- Karya-karya seni para terpidana hukuman mati
- HUT 40 tahun Teater Koma: Opera Ikan Asin yang masih relevan
Yang dimaksud adalah peristiwa pengakuan Ratna Sarumpaet, penulis lakon dan sutradara teater Satu Merah Panggung, mantan pegiat politik anti Soeharto yang belakangan menjadi aktivis politik, bahwa ia dipukuli -dan kemudian setelah geger besar melibatkan banyak tokoh-tokoh puncak kalangan oposisi, ia terpaksa mengaku bahwa ia bengkak-bengkak mukanya bukan karena dipukuli melainkan karena operasi kosmetik.
Kebetulan atau bukan kebetulan, LIFEs dibuka dengan pentas sastra karya penyair Goenawan Mohammad terhadap sosok Don Quixote, sosok dengan hoaks-hoaks spektakuler dalam novel besar Miguel de Cervantes.
Ini merupakan pentas puisi Goenawan Mohamad yang dipetik dari kumpulan puisi Don Quixote yang dibacakan empat aktor dari dua generasi.
Niniek L. Karim, aktris film kelas satu dan aktris dari Teater Populer yang dulu didirikan mendiang Teguh Karya serta Landung Simatupang, aktor yang lebih banyak bermukim di Yogyakarta seperti mewakili generasi keaktoran yang 'lebih dulu, dibanding dua penampil lain, Rebecca Kezia dan Sam Ancoe Amar. Goenawan Mohamad sendiri tampil dengan puisi pembuka, untuk kemudian membiarkan puisi-puisinya dihidupkan oleh empat aktor di panggung.
Dan keempat aktor itu nyaris tak pernah beringsut dari tempat mereka berdiri di belakang podium kecil -atau dudukan partitur.
Kala lampu menyorot lebih meluas, secara visual mereka mengesankan empat penyanyi paduan suara. Namun mereka tak pernah memunculkan paduan. Mereka tampil secara individual, membaca sajak-sajak secara 'bergilir.' Atau sesekali saling meningkahi: salah satu membacakan bait atau sajak yang berhubungan langsung dengan yang dibacakan sebelumnya.
Mereka umumnya membaca dengan nada rendah, jarang sekali masuk ke ketinggian, sangat terkendali.
Di belakang mereka dua pemusik Indonesia Adra Karim dan Sri Hanuraga, serta pemusik Spanyol, Carmen Caballero Fernandez seperti berfungsi -kalau fungsi merupakan kata yang tepat- untuk menciptakan dan memberi dinamika.
Layar putih di dinding belakang menampilkan animasi Tri Doso Novrianto yang didasarkan pada gambar-gambar Goenawan Mohamad sendiri, dan seni pasir karya Niar Febriyani.
- Apakah foto selfie tergolong seni?
- Mahakarya lukisan erotis yang nyaris lenyap
- Seniman Indonesia tampilkan Annah, 'anak Jawa korban pelukis Gauguin', di London
Sebagai 'pentas sastra,' Don Quixote yang ini memang independen sama sekali terhadap El Ingenioso Hidalgo Don Quijote de la Mancha.
Teks-teks GM ini adalah puisi, dipentaskan dengan suasana puitik yang terasa lirih.
Berlainan dengan Bangsawan cerdik Don Quixote dari La Mancha, yang prosaik -karena memang novel, dan penuh dengan letupan adegan-adegan tak terduga -misalnya penciptaan hoaks paling dikenal di kisah Don Quixote, ketika ia mengobarkan perang terhadap lebih dari 30 kincir angin yang diperlakukannya sebagai mahluk-mahluk raksasa yang harus ditaklukkan.
"Don Quixote ini, ya Miguel de Cervantes, pengarangnya, luar biasa," kata Goenawan. "Dari segi bentuk, ia kejadian-kejadian, tokoh, bermunculan seenaknya saja. Cervantes memembuat kepengarangan jadi relatif," kata GM, panggilan Goenawan.
"Don Quixote mungkin tokoh khayal yang paling masyhur di dunia," dengan perilaku yang begitu mokal-mokal.
Seorang yang bisa jadi delusional, yang mengejawantahkan khayalannya dalam langkah-langkah tak terduga, Misalnya, dua hal yang digaris bawahi dalam pentas ini, bagaimana memperlakukan kudanya yang kurus kering seakan kuda perang gagah perkasa, yang lalu ia beri nama Rocinante.
Juga bahwa ia, bersama pembantu setianya, Sancho Panza, harus melakukan berbagai perbuatan luhur, mulia, heroik, demi Dulcinea, perempuan pujaan, sang kekasih yang tak pernah ada, yang sekadar rekaan angannya belaka: sekedar hoaks.
Lebih dari itu, kata GM, Don Quixote, yang diterbitkan pertama kali tahun 1605, disusul buku keduanya 1615 (berapa tahun lalukah itu?) adalah peletak dasar novel modern.
"Dalam Don Quixote, seperti dicatat Muilan Kundera, untuk pertama kalinya karya sastra itu menampung suara-suara yang beragam. Sebelumnya cerita sastra itu satu suara, merupakan hikayat. "
Dalam Don Quixote, katanya, terdapat kerumitan. Dan kaya dengan humor.
Dan yang ingin digaris bawahi GM adalah, Don Quixote digambarkan Cervantes, menjelajahi bagian-bagian pelosok dari sejarah Spanyol, "dan bukan bagian sejarah yang besar."
"Don Quixote dibawa memasuki dunia Islam, dengan pemunculan tokoh, dengan percakapan tentang seni bangsa Moor yang dibicarakan secara simpatik," tambah GM.
"Dan bahkan, Cervantes menyebutkan, kisah Don Quixote ini sebetulnya bukan bikinan dia, tapi berasal dari seorang sejarawan Muslim, bangsa Mur -orang Afrika Utara- namanya Sayid Hamid Benanggeli," papar GM lagi,
Apakah Sayid Hamid ini benar-benar ada, atau hoaks, yang harus dicatat adalah Cervantes memunculkan sosok itu dengan simpatik, ketika Spanyol masih kental dengan suasana inkuisisi.
Di LIFE's ini GM kembali muncul, kali ini bersama Sapardi Djoko Damono, sesama penyair dari generasi yang sama.
"Jadi kami membuat diskusi ini, dengan judul 'dua penyair dan novel perdana mereka,' karena mereka ini dua-duanya penyair hebat dengan pencapaian-pencapaian puncak, tapi untuk novel, mereka baru menerbitkannya setelah usia 70," kata Ayu, direktur LIFE's.
Goenawan baru menerbitkan novel Surti + tiga Sawunggaling bulan lalu, sementara Spardi baru menerbitkan Hujan Bulan Juli tahun ini. Novel-novel mereka dibahas dengan santai oleh novelis AS Laksana, dan sastrawan Malaysia, Edin Khoo.
Acara lain dari LIFEs yang sangat menarik adalah Klasik dan Asyik: Satu Abad Penulis Perempuan Indonesia. Diskusi ini menampilkan tiga peneliti/penulis yang membahas para penulis perempuan dari masa lampau Indonesia, yang tak banyak dikenali.
Diskusi ini merupakan kerja sama dengan Ruang Perempuan Dalam Tulisan, yang sejak tahun lalu, kata salah satu penggagasnya, Dewi Noviami, memusatkan perhatian pada penelitian tentang penulis perempuan yang tidak tercatat, yang terlupakan atau bahkan dilupakan, atau sebagian justru dihapus dari sejarah, karena misalnya haluan atau keterkaitan politiknya," kata Dewi Noviami yang biasa dipanggil Novi.
"Untuk tahap pertama, kita melakukan penelitian untuk mendata para penulis itu, dan melakukan penelitian khusus pada 10 penulis yang dilakukan oleh sepuluh perempuan penulis atau peneliti," lanjut Novi.
Hasil penelitian mereka, disusun dalam bentuk tulisan yang komprehensif, lalu disiskusikan di berbagai tempat, dan nantinya akan dibukukan.
Kali ini, dalam diskusi di LIFEs, yang disiskusikan adalah penelitian terhadap Suwarsih Djojopuspito, yang dibahas oleh penulis dan wartawan BBC NEws Indonesia, Isyana Artharini, dan Saadah Alim, yang dibahas oleh Aura Asmarandana. Sedangkan Dewi Kharisma Michellia membahas proyek ini secara umum.
Dalam makalah berjudul "Pembalasannja: Sebuah Narasi Progresif," Aura Asmarandana mendiskusikan gejala menarik dari kepengaranagan Saadah Alim.
"Dalam kumpulan cerita pendek Taman Penghibur Hati, Saadah memunculkan tokoh-tokoh yang setia pada tradisi, yang menunjukkan bahwa nilai-nilai terbaik itu terletak pada kepatuhan pada adat. Sementara dalam naskah drama Pembalasannja, justru Saadah menyarankan upaya untuk kritis terhadap adat dan tradisi lama," papar Aura.
Sementara Isyana Artharini, dalam makalah "Apakah Untuk Indonesia Ia Menulis Itu," memapar bagaimana Suwarsih Djojopuspito adalah individu bebas yang dengan karya-karyanya menggugat nilai-nilai tradisional yang menempatkan perempuan dalam posisi berbeda dari laki-laki. Bisa jadi, ini terkait latar belakang pendidikannya di Belanda.