Bagaimana Memahami Kejahatan Seksual Siber dan Jika Telanjur Jadi Korbannya?
Apa yang harus dilakukan jika terlanjur menjadi korban dari kejahatan seksual siber? Ikuti opini Nadya Karima Melati.
Ketika menjadi korban dari kejahatan seksual siber kita selalu berharap negara dapat melindungi dan mencegah kejahatan tersebut berulang. Sayang seribu sayang, undang-undang yang biasa digunakan untuk kasus kejahatan seksual siber adalah UU ITE, UU Pencemaran Nama Baik, UU Penipuan dan yang paling berbahaya adalah UU Pornografi.
Untuk kasus-kasus kejahatan siber non seksual seperti penipuan yang dilakukan online atau hacking, UU ITE dan UU Penipuan dapat digunakan tetapi bagaimana untuk kasus kejahatan seksual?
Jangankan kejahatan seksual online, kejahatan seksual seperti janji nikah dan manipulasi untuk mendapatkan seks yang sering dialami oleh perempuan Indonesia, tidak ada perlindungan hukumnya. Tidak ada undang-undang khusus yang melindungi perempuan dari kejahatan seksual kecuali UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan itu spesifik untuk relasi suami-istri sah bukan untuk nikah siri apalagi pacaran.
Dalam sebuah pelatihan yang diikuti penulis terkait penanganan kasus seksual siber di kepolisian, korban butuh pendamping dari lembaga khusus untuk melaporkan kasusnya karena rentan sekali korban khususnya tindakan Out-ing, Revenge Porn dan Deadnaming justru Undang-undang yang digunakan akan berbalik menyerang korban. Seperti contohnya kasus revenge porn penyebaran video oleh mantan pacar. Seringkali ketika video dibuat, ada relasi kuasa yang tidak terlihat seperti laki-laki memaksa perempuan untuk mau berada dalam video atau video diambil secara diam-diam.
Sayangnya undang-undang pornografi, tidak melihat perempuan yang menjadi korban perkosaan atau pelecehan seksual tetapi tetap memposisikan perempuan tersebut ikut serta dalam membuat konten dan terancam untuk juga menjadi pelaku.
Undang-undang negara Indonesia dalam mengatasi kasus-kasus kekerasan online tidak bisa dipercaya.
Ada dalam satu kasus recruitment di mana perempuan-perempuan diperjualbelikan dalam prostitusi online dan kasus tersebut diangkat dan diungkap ke polisi. Perempuan yang menjadi korban prostitusi dan pelaku prostitusi hanya dipisahkan dengan batasan umur.
Apabila di atas 16 tahun maka perempuan pekerja seks menjadi pelaku prostitusi dan di bawa batas umur tersebut, perempuan menjadi korban dan terbebas dari hukuman. Kejanggalan tersebut terjadi karena hukum Indonesia memang buta dan tidak melihat bias gender dan relasi kuasa dalam sebuah fenomena, contohnya adalah prostitusi dan kejahatan seksual siber.
Jika Kamu Menjadi Korban
Lantas apa yang harus dilakukan jika terlanjur menjadi korban dari kejahatan seksual siber yang disebutkan di atas?
Pertama-tama carilah teman yang bisa dipercaya untuk bercerita, yakinkan temanmu dan ceritakan apa yang kamu alami dan rasakan ketika peristiwa itu terjadi. Apabila yang menjadi korban adalah temanmu dan orang yang kamu kenal, segeralah berpihak. Jangan menyalahkan korban seperti, "kamu sih bugil di depan kamera” karena kita tidak pernah tau kondisi psikologis korban saat dia mengalami hal tersebut.
Bersama-sama dengan orang yang kamu percaya, yakinkan kepada orangtua ataupun lingkungan sekolah atau lingkungan terdekatmu. Bicarakan kepada mereka ketika ancaman terjadi dan jika bisa, sebelum video atau foto disebarkan. Kalian bisa juga bisa mengadu pada lembaga seperti Komnas Perempuan atas ancaman yang terjadi dan Komnas Perempuan biasanya membantu untuk memberikan lembaga pendampingan.
Jika kamu mau meneruskan kasus ini ke kepolisian, pastikan ada pendamping hukum dan psikologis karena berhadapan hukum dengan tidak adanya jaminan kepada korban memang akan sulit sekali. Kamu bisa bergabung dengan komunitas penyintas bersama Support Group and Resource Center on Sexuality Studies untuk meyakinkan bahwa kamu tidak mengalami ini sendirian, dan kita bisa bersama-sama melalui dan mengubah keadaan yang tidak adil ini. Semoga artikel ini membantu.
Penulis: Nadya Karima (ap/vlz)
Essais dan pengamat masalah sosial.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis