Kaleidoskop 2015
ISIS Sepanjang 2015: Dari Kekerasan Hingga Islamofobia
Tak hanya korban nyawa, tetapi juga korban secara material
Sebelumnya, sempat ada dugaan bahwa ISIS yang meledakkan pesawat itu, yang kemudian membuat sejumlah negara waswas dan menghentikan penerbangan komersilnya melintas Sinai serta penerbangan dari Sharm el-Shekih.
Kelompok itu kemudian memang mengklaim telah menyerang pesawat itu.
Serangan berlanjut ke aksi penembakan dan bom bunuh diri di enam lokasi di penjuru Prancis pada 13 November 2015.
Insiden itu terjadi secara bersamaan di gedung teater Le Bataclan, stadion Stade de France, dan sejumlah jalanan serta restoran di Paris.
Korban tewas akibat insiden itu secara keseluruhan berjumlah 129 orang dan sebagian besar dari jumlah itu adalah korban tewas di Le Bataclan.
Nyawa Presiden Prancis Francois Hollande pun sempat terancam, lantaran saat itu ia sedang berada di Stade de France menyaksikan pertandingan sepakbola antara Perancis dan Jerman.
Kelompok ISIS kemudian melalui sebuah pernyataan tertulis resmi mengklaim serangan teror itu yang intinya menyatakan Prancis memang dijadikan sebagai "target utama" karena "telah berani menyinggung Nabi, mengumbar soal akan membasmi Islam di Prancis, dan menyerang pejihad muslim dengan pesawat-pesawat (tempur Prancis)".
Serangan teror yang jatuh pada hari Jumat itu lalu dikatakan seorang peneliti terorisme, Ridlwan Habib, telah memberi makna baru akan legenda 'Friday the 13th'.
Legenda barat yang juga dikenal dengan sebutan 'Jumat Hitam' atau 'Black Friday' itu dimaknai sebagai hari kemalangan dan penuh tragedi, yang biasa jatuh pada Jumat tanggal 13.
Insiden menelan nyawa kembali terjadi pada 2 Desember 2015, di mana setidaknya 14 orang tewas akibat aksi penembakan di San Bernardino, California, AS.
Penembakan dilakukan oleh sepasang suami istri yang menyerbu ke dalam sebuah gedung LSM untuk kaum difabel, Inland Regional Centre yang saat itu sedang menggelar sebuah acara.
Keduanya lalu melarikan diri dan masuk ke sebuah mobil SUV hitam, yang kemudian ditembaki polisi dan menewaskan pasutri yang diidentifikasi bernama Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik itu.
Setelah diketahui satu dari pasangan itu pernah menyuarakan dukungan pada ISIS, badan intelijen AS (FBI) menyebut insiden penembakan itu sebagai aksi terorisme.
Tashfeen dikatakan pernah mengunggah postingan di Facebook yang mengungkapkan dukungannya terhadap ISIS, diunggah beberapa menit sebelum serangan dilakukan.
"Sejauh ini, hasil investigasi mengindikasikan bahwa para pelaku teradikalisasi dan berpotensi terinspirasi oleh kelompok teroris asing," sebut direktur FBI, James B. Comey, dikutip New York Times.
Kekerasan, kebencian, dan Islamofobia
Banyaknya insiden yang diklaim ISIS lalu memicu komentar-komentar soal teroris, yang kemudian kerap dihubungkan dengan pengungsi yang membanjiri Eropa dan muslim secara umum.
Seperti yang diutarakan kandidat capres partai Republik AS Donald Trump, yang mendesak agar muslim dilarang masuk AS dalam pidato kampanyenya di South Carolina, AS, 7 Desember 2015.
Ketika mengomentari soal insiden penembakan di California, ia menyebut bahwa Islam adalah kepercayaan yang berakar pada "kekerasan dan kebencian".
Menurutnya, larangan itu harus diberlakukan sampai AS bisa memahami ancaman dan permasalahan yang ditimbulkan oleh serangan-serangan dari "orang-orang yang hanya percaya jihad".
Komentar tersebut kemudian mendapat banyak kritik, seperti dari publik, pengamat, dan kandidat capres AS lainnya.
Bahkan, pernyataan yang kemudian menjadi viral itu membuat Gedung Putih marah dan menyebut Donald tak pantas menjadi presiden.
"Sayang sekali jika seorang kandidat capres AS memiliki pandangan seperti itu. Itu bukanlah yang warga AS mau. Donald tidak tahu seberapa besar upaya komunitas muslim melawan kekerasan," kata Sekjen Dewan Organisasi Muslim AS Oussama Jammal, merespon pernyataan Donald itu.
Selain itu, komentar Donald dan serangan di California kemudian dikatakan menimbulkan rasa takut di kalangan muslim AS.
Menurut seorang direktur Islamic Center Jersey City, Ahmed Shedeed, larangan muslim masuk AS itu hanya memicu semakin banyaknya tindak kekerasan dan kebencian, yang berkaitan dengan Islamofobia.
Kekerasan dan kebencian itulah yang menurutnya membuat muslim AS semakin terpuruk dalam ketakutan.
Usai tragedi Paris dan insiden penembakan di California, dikatakan semakin banyak aksi kebencian yang dialami warga Muslim AS. Ahmed menyebutkan semakin banyak wanita berjilbab yang diludahi, hingga ada insiden seorang sopir taksi muslim ditembak.
"Kami sangat menderita, kami ketakutan, kami pun bersedih. Kami sangat takut terhadap orang-orang seperti (Donald). Jika ia aktif saat insiden 9/11 terjadi dan menyuarakan hal yang sama, saya yakin pasti banyak muslim yang terluka akan hal itu," ucap Ahmed.