Kaleidoskop 2015
ISIS Sepanjang 2015: Dari Kekerasan Hingga Islamofobia
Tak hanya korban nyawa, tetapi juga korban secara material
Perdana Menteri Inggris, David Cameron, mengatakan pada 8 September 2015 bahwa pemerintah Inggris akan menampung sebanyak 20.000 orang imigran asal Suriah.
Di hari yang sama, warga Jerman menyambut pengungsi Suriah sambil bertepuk tangan dan membagikan pizza.
Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan Jerman akan menampung sekitar 800.000 imigran hingga akhir 2015.
Pada 9 September 2015, Australia pun turut sepakat menyambut 12.000 pengungsi dari Timur Tengah.
Diumumkan oleh mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbott, negara itu berkomitmen menempatkan pengungsi secara permanen di Australia dan menekankan tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap pengungsi Nasrani dan Muslim, merespon beredarnya sentimen anti-Muslim.
Komitmen itu kemudian disambut baik oleh agen penanganan pengungsi PBB, UNHCR, yang saat itu mengaku mulai kesulitan menangani pengungsi.
Gedung Putih juga mengumumkan pada 10 September 2015 bahwa Presiden AS Barack Obama telah bersiap untuk menerima 10.000 pengungsi Suriah di AS pada 2016.
Beberapa pihak sempat menilai bahwa jumlah yang diterima kurang banyak, namun selama ini AS memang sulit memperbesar kuota imigran, sebab pengurusan dokumennya saja memakan waktu 18 hingga 24 bulan.
Belum lagi pertimbangan keamanan negara untuk membawa masuk imigran dari Timur Tengah, meski rasa simpatik terhadap pengungsi sudah mulai tumbuh di hati masyarakat AS.
Bahkan, sejumlah tokoh penting ikut pula menyuarakan dukungan agar individu atau komunitas tertentu turut menyambut pengungsi.
Seperti Paus Fransiskus yang pada 6 September 2015 mengimbau agar semua institusi Katolik di Eropa paling tidak menampung satu keluarga pengungsi.
Gencar insiden serangan
Saat negara-negara Barat membuka pintunya untuk menyambut pengungsi, insiden serangan mulai gencar terjadi di skala yang lebih besar.
Dimulai pada 31 Oktober 2015, ketika pesawat komersil milik maskapai Rusia, Kogalymavia, jatuh di area pegunungan Hassana, Sinai, Mesir, menewaskan seisi pesawat itu.
Sebelumnya, pesawat itu dinyatakan menghilang saat terbang dari daerah wisata Sharm el-Shekih, Mesir, menuju St. Petersburg, Rusia.
Airbus A-321 yang membawa 224 orang itu hilang kontak dengan menara pengawas Siprus, Yunani, dan tak nampak keberadaannya di layar radar.
Dipastikan oleh pemerintah Rusia bahwa penyebab jatuhnya pesawat itu adalah bom dari aksi teroris, didukung oleh bukti bekas ledakan yang ditemukan pada puing-puing pesawat.