Selasa, 30 September 2025
DPD RI
Gedung Nusantara
Gedung Nusantara

MK Seharusnya Jaga Negara dari Produk Undang-Undang yang Mencelakakan

Tulisan ini dibuat oleh Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti yang membahas negara Indonesia mengenai persoalan konstitusi dan Undang-undang

Editor: Content Writer
DPD RI
Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti 

Padahal jelas, Konstitusi kita di Pasal 6A Ayat (2) mengamanatkan:

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Tetapi faktanya, Pasal 222 telah menabrak Pasal 6A Ayat (2) tersebut dengan membuktikan sebaliknya, bahwa: tidak semua partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres.

Keempat; Jadi kalau ditimbang dari sisi manfaat dan mudaratnya, Presidential Thresholod ini penuh dengan mudarat. Karena Ambang Batas pencalonan presiden itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja.

Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Agama apapun, termasuk Islam.

Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Disuguhi pertunjukkan drama kolosal yang sangat tidak bermutu. Dimana sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum.

Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.

Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran forum pertemuan dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar.
Inilah dampak buruk dari penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Dimana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan.

Jadi, benar apa yang dikatakan Yang Mulia Majelis Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XV/2017, bahwa dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan Ambang Batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi, jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal, salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia.

Jadi, saya hanya mengingatkan Yang Mulia para Hakim Mahkamah Konstitusi, bahwa anda dengan saya, sebagai pejabat negara sama-sama disumpah dengan menyebut nama Tuhan. Sehingga, apa yang kita kerjakan, pasti diminta pertanggung jawaban setelah kita bertemu dengan Sang Pencipta nanti. (*)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan