MK Seharusnya Jaga Negara dari Produk Undang-Undang yang Mencelakakan
Tulisan ini dibuat oleh Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti yang membahas negara Indonesia mengenai persoalan konstitusi dan Undang-undang
Editor:
Content Writer
Tetapi, akibat adanya Pasal 222 dalam Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu telah menjadikan Undang-Undang tersebut tidak memenuhi unsur hakiki dari hukum yang mutlak harus ada.
Bahkan, atas keberadaan Pasal 222 tersebut, saya dan ratusan juta rakyat Indonesia sebagai peserta Pemilihan Presiden bisa Kehilangan Hak Pilih karena Negara ini bisa dan sangat berpeluang berada dalam keadaan stuck atau macet, akibat penerapan Pasal 222 tersebut. Karena Undang-Undang Pemilu tidak bisa menjawab kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, hanya gara-gara satu Pasal itu.
Tolong dicatat dengan baik. Mengapa saya katakan bahwa akibat adanya Ambang Batas Pencalonan Presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu dapat membuat Negara ini berhenti. Dan sistem tata negara kita bisa stuck dan macet.
Pertama; Apabila Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 dan selanjutnya masih memberlakukan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, maka bukan hanya Pemohon yang akan kehilangan kesempatan untuk memilih Capres dan Cawapres, tetapi juga bisa jadi pemilihan Capres dan Cawapres tidak dapat dilaksanakan bila: Gabungan Partai Politik yang mengusung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mencapai jumlah kursi DPR 80,1 persen atau 75,1 persen suara sah secara nasional. Sehingga hanya akan ada satu Pasangan Capres dan Cawapres yang memenuhi syarat untuk mendaftar. Karena jumlah kursi yang tersisa hanya 19,9 persen, atau suara sah secara nasional tersisah 24,9 persen. Sedangkan syarat untuk mengusung calon minimal 20 persen kursi atau 25 perses suara sah nasional.
Sedangkan Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu hanya mengantisipasi apabila salah satu dari dua pasangan Capres dan Cawapres berhalangan tetap. Sehingga pada akhirnya Pemilihan Presiden dilaksanakan dengan mekanisme Satu Pasangan Capres dan Cawapres melawan Kotak Kosong.
Artinya, sejak awal pasangan yang mendaftar dan diterima oleh KPU adalah dua pasang. Bukan satu pasang. Sehingga aturan yang ada di dalam Undang-Undang tentang Pemilu itu mendalilkan bahwa pasangan calon selalu lebih dari satu. Alias minimal dua pasang calon.
Karena Undang-Undang Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi apabila Pendaftar hanya Satu Pasang Calon.
Sehingga dalam Undang-Undang Pemilu Pasal 229 Ayat 2 huruf (a dan b), disebutkan:
(2) KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal:
a. pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau
b. pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon.
Tetapi sebaliknya, Pasal 222 Undang-Undang Pemilu memberi ruang untuk itu. Terutama bila partai politik kompak untuk berkongsi dengan hasil seperti itu. Bukankah selama ini sudah terbukti, kalau partai politik kompak, semua bisa terjadi?
Dan faktanya, hari ini, komposisi partai politik pendukung pemerintah di DPR RI telah mencapai jumlah 82 persen dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional ke koalisi pemerintah. Sehingga hanya menyisakan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, yang total jumlah kursinya hanya 18 persen. Ini fakta yang bisa terjadi bila kesepakatan ini terus berlangsung dan ada yang mempertahankan.
Ini artinya, terbuka peluang terjadinya sistem tata negara menjadi stuck dan macet. Dan saya, serta ratusan juta rakyat pemilih bisa seketika kehilangan hal pilih dalam Pilpres, karena kebuntuan ini. Karena Pilpres bisa tidak dapat dilaksanakan.
Dan dapat didalilkan bahwa ini adalah jalan keluar yang bisa dilakukan untuk melakukan operasi penundaan Pilpres, hanya dengan modal kesepakatan dan kongsi antar Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Kedua; Pasal 222 dan Undang-Undang Pemilu juga tidak mengantisipasi apabila dalam Pemilihan Legislatif pada tahun 2024 nanti, terdapat Partai Politik yang meraup atau memperoleh suara sebesar 75,1 persen suara sah secara nasional.
Seperti pernah terjadi pada Pemilihan Umum Tahun 1997, dimana Golongan Karya saat itu memperoleh Suara Nasional sebesar 74,51 persen. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan memperoleh suara 22,43 persen dan Partai Demokrasi Indonesia memperoleh 3,6 persen suara.
Lantas, bagaimana dengan Pilpres Tahun 2029 mendatang? Dimana dengan menggunakan Basis Suara Perolehan Pemilu Legislatif Tahun 2024, yang mana hanya ada satu partai politik yang dapat mencalonkan Pasangan Capres dan Cawapres?
Jadi sekali lagi, artinya Undang-Undang Pemilu, terutama dengan keberadaan Pasal 222 menjadikan Undang-Undang ini tidak bisa menjawab kemungkinan yang dapat terjadi pada masa yang akan datang.
Sangat jelas produk hukum tersebut, Pasal 222, membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara serta ketatanegaran dengan memberi dan membuka kesempatan untuk menimbulkan persoalan Tata Negara yang sangat SERIUS !
Saya selalu mencoba untuk berpikir positif: bahwa pasti Yang Mulia, para Hakim Konstitusi, sebagai penjaga Konstitusi dan Marwah Tata Negara Indonesia sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden adalah Pasal yang bukan saja bertentangan dengan Konstitusi, tetapi dapat berpotensi merusak dan menimbulkan kekacauan Tata Negara bangsa ini, dan dapat mengancam Tujuan serta Cita-Cita Nasional Negara ini seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar kita.
Sehingga bukan saja bertentangan dengan Konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan Pancasila. Sehingga Pasal 222 tersebut dapat saya sebut sebagai Pasal yang membuka peluang untuk melakukan Tindakan Subversif tehadap negara ini.
Yang Ketiga; Sudah sangat jelas bahwa tujuan dan maksud lahirnya partai politik. Termasuk kewajiban partai politik untuk ikut mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dalam mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, partai politik juga mutlak memperhatikan kemampuan pihak yang diajukan sebagai capres dan cawapres.
Karena rakyat sebagai pemberi mandat kepada pasangan capres dan cawapres melalui Pilpres hanya dapat melakukan evaluasi lima tahun sekali.
Di sinilah benang merah, mengapa selalu lahir partai politik baru peserta Pemilu. Karena pada hakikatnya, partai politik baru adalah bagian dari proses koreksi terhadap partai politik sebelumnya, yang dinilai gagal menempatkan kadernya sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam kerangka cita-cita dan tujuan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Sehingga, sebagian rakyat, bersepakat mendirikan partai politik baru, dengan tujuan tentu untuk mengajukan pasangan Capres dan Cawapres yang lebih baik dari yang terpilih sebelumnya.
Dan lebih ekstrim dapat dikatakan lahirnya partai politik baru juga sebagai anti-thesa dari partai-partai politik yang sudah ada. Karena partai politik lama atau eksisting menjadi sorotan rakyat dalam dinamika politik tanah air.
Baik dikarenakan kelemahan sikap yang kerap dituding akibat tersandera dalam kekuasaan, maupun sikap egoistis partai politik yang mengakibatkan tidak menjadi problem solver bagi masalah-masalah bangsa yang disuarakan oleh rakyat.
Lahirnya partai politik baru salah satunya adalah sebuah tawaran jawaban atas hal tersebut di atas. Tentu demi menghindarkan bangsa ini dari sikap muak kepada partai politik, yang ujungnya adalah meningkatnya angka non-voters atau golput.
Sehingga partai politik baru bersemangat untuk bisa menutup kelemahan partai politik yang lama dengan energi dan harapan baru. Termasuk kesiapan mereka untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres dalam kontestasi Pilpres.
Di sinilah muncul permasalahan kebangsaan ini, akibat adanya Pasal 222 UU 7/2017. Dimana Partai Politik (baru) peserta Pemilu tidak dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden karena belum memiliki basis suara pada Pemilu sebelumnya.
Sehingga harapan dan tumpuan rakyat kepada Partai Politik baru sebagai saluran evaluasi terhadap kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden pupus.