Sabtu, 4 Oktober 2025

Ekonom: BI Makin Kehilangan Independensinya Gara-gara Harus Biayai Program Populis Pemerintah

Independensi Bank Indonesia dinilai semakin tergerus akibat kebijakan burden sharing untuk membiayai program-program populis pemerintah.

dok. Kompas/Robertus
KEHILANGAN INDEPENDENSI - Independensi Bank Indonesia (BI) dinilai semakin tergerus akibat kebijakan burden sharing yang membebani BI untuk membiayai program-program populis pemerintah. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Independensi Bank Indonesia (BI) dinilai semakin tergerus akibat kebijakan burden sharing yang membebani BI untuk membiayai program-program populis pemerintah.

Ini merupakan satu dari tujuh desakan darurat ekonomi yang dilayangkan Aliansi Ekonom Indonesia kepada pemerintah yang disuarakan hari ini melalui konferensi pers dengan media di Jakarta, Selasa, 9 September 2025.

Para ekonom yang tergabung dalam Aliansi Ekonom Indonesia berasal dari berbagai institusi.

Mereka adalah Elan Satriawan, Teuku Riefky, Rizki Nauli Siregar, Yose Rizal Damuri, Jahen F Rizki, Titik Anas, Rimawan Pradiptyo, Gumilang Sahadewo serta Vid Adrison.

Tujuh desakan darurat ekonomi mereka sampaikan karena mereka melihat penurunan kualitas hidup terjadi di berbagai lapisan masyarakat secara masif dan sistemik.

Pada poin desakan kedua, disebutkan bahwa perlunya dikembaliakn independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara, salah satunya BI.

"BI harus kembali pada marwahnya sebagai bank sentral independen, bukan sebagai penyandang dana proyek politik presiden," tulis pernyataan Aliansi Ekonom Indonesia.

Hal yang disoroti di sini adalah kebijakan Burden Sharing saat ini untuk mendanai program populis.

Burden Sharing dinilai sebagai bentuk debt monetization dan fiscal dominance yang tidak sejalan dengan tujuan utama BI dalam menjaga stabilitas nilai mata uang dan tidak ikut campur dalam pendanaan pemerintah pusat.

Kebijakan itu berisiko menimbulkan krisis kepercayaan oleh investor, inflasi, dan hilangnya peran stabilisasi.

Dalam sesi konferensi pers secara daring pada Selasa (9/9/2025), ekonom Jahen F Rizki juga menyebutkan bahwa kebijakan burden sharing yang membiayai program populis pemerintah bisa berdampak luas terhadap makroekonomi Indonesia.

Salah satu dampak itu adalah sulitnya meyakini kemampuan BI menjaga target inflasi.

"Ketika Bank Indonesia itu tidak independen, ada banyak studi yang telah menunjukkan bahwa itu akan diikuti dengan peningkatan inflasi," kata Jahen.

Baca juga: 7 Desakan Darurat Ekonomi yang Dilayangkan Sejumlah Ekonom ke Pemerintah

"Jadi, akan sulit bagi kita untuk bisa meyakini bahwa ke depannya inflation targeting akan mencapai," sambungnya.

Kedua, kata dia, ini juga sebenarnya akan membuka kotak pandora karena kebijakan yang diambil adalah pembiayaan untuk program-program yang populis.

"Dulu kita bicara soal MBG, terus kita juga bicara soal Koperasi Merah Putih, dan ke depan sampai kapan ini akan terus berjalan?" ucap Jahen.

Ia mengingatkan bahwa burden sahring memang pernah diterapkan saat pandemi Covid-19, tetapi konteksnya kala itu dapat dipahami karena menyangkut krisis kesehatan.

Sekarang ini bukan untuk mengatasi pandemi, tapi untuk membiayai program populis pemerintah. Dia menekankan bahwa setiap kebijakan bank sentral selalu memiliki biaya yang harus ditanggung.

Baca juga: IHSG Sempat Longsor Pasca Pelantikan, Pasar Wait And See Menunggu Kebijakan Menkeu Baru

"Ini yang perlu dipikirkan oleh pemerintah, apakah biaya yang dikeluarkan oleh BI itu cukup sepadan dengan benefit yang terdapatkan dalam ekonomi," ujar Jahen. 

Berbagi Beban

Dikutip dari Kompas.com, Bank Indonesia (BI) memutuskan ikut skema pembagian beban (burden sharing) untuk pembiayaan program prioritas pemerintah.

Berbeda dengan skema burden sharing saat pandemi Covid-19 yang dilakukan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana, kali ini BI melakukannya melalui pembelian SBN di pasar sekunder.

Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, BI akan melakukan burden sharing dengan membagi beban bunga dengan pemerintah.

Skema ini ditujukan untuk mendukung pendanaan program ekonomi kerakyatan dalam agenda Asta Cita, termasuk program Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih.

Baca juga: Menkeu Purbaya: Saya 15 Tahun Lebih di Pasar, Tahu Betul Bagaimana Caranya Memperbaiki Ekonomi

"Untuk mengurangi beban biaya terkait program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita, Bank Indonesia sepakat untuk melakukan pembagian beban bunga (burden sharing) dengan pemerintah," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Kamis (4/9/2025).

Denny menjelaskan, pembagian beban bunga dilakukan dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan SBN setelah dikurangi penerimaan atas penempatan dana pemerintah di lembaga keuangan domestik.

Dalam pelaksanaannya, pembagian beban dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening pemerintah yang ada di BI sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas pemerintah.

"Besaran tambahan beban bunga oleh BI kepada pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian dan bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat," tegasnya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved