Tiga Industri Keramik Hentikan Produksi, 900 Karyawan Terpaksa Dirumahkan
Krisis pasokan gas tengah memukul industri keramik di Indonesia. Terlebih pada industri penerima program Harga Gas Bumi Tertentu
Penulis:
Lita Febriani
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, BALARAJA - Krisis pasokan gas tengah memukul industri keramik di Indonesia. Terlebih pada industri penerima program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
HGBT adalah program pemerintah yang memberikan harga gas lebih murah untuk sejumlah industri. Program ini telah berjalan sejak 2020 dan terbukti membantu industri memaksimalkan produksinya.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto mengungkap, pembatasan kuota gas telah membuat sejumlah perusahaan terpaksa menghentikan produksinya dan merumahkan karyawan.
Baca juga: Mulai Rumahkan Karyawan, Kemenperin Pantau Langsung Dampak Krisis Gas HGBT di Industri Keramik
"Kita sangat menyayangkan apa yang terjadi dengan kondisi gas hari ini. Ini pertama kali bagi kami, dimana ada dua perusahaan tableware, satu berada di Tangerang, satu di Balaraja dengan sangat terpaksa harus menghentikan produksinya sementara, selama dua minggu ke depan," ungkap Edy kepada Wartawan di Balaraja, Tangerang, Banten, Kamis (21/8/2025).
Lebih lanjut, Edy menyebut satu perusahaan ubin keramik di Bogor juga telah memberikan pemberitahuan resmi kepada asosiasi bahwa mereka harus merumahkan karyawan.
"Jadi ada tiga industri yang sudah melapor ke asosiasi kami bahwa hari ini sekitar 900 karyawan yang sudah dirumahkan," imbuhnya.
Menurut Ketua ASAKI, kondisi pembatasan kuota gas harian membuat industri tidak bisa merencanakan produksi secara normal.
"Normal dalam artian dari kacamata kami dari sisi industri, bahwa kalau normal seharusnya sudah tidak lagi dikenakan kuota harian. Karena industri tidak mungkin bisa merencanakan produksi dengan baik ya, dengan kondisi harian," jelas Edy.
ASAKI menegaskan, sistem produksi keramik membutuhkan waktu panjang, baik untuk mematikan maupun menghidupkan tungku bakar.
Baca juga: Imbas Pengetatan HGBT, Serikat Pekerja Ungkap Sudah Ada 700 Karyawan Dirumahkan
"Nggak mungkin kami produksi pagi, sorenya kami matikan kilenya. Untuk industri keramik membutuhkan waktu lebih dari 24 jam untuk mematikan tungku bakarnya dari 1.200 derajat ke nol. Sebaliknya, menghidupkan juga butuh waktu lebih daripada 24 jam. Jadi ini membutuhkan proses maksudnya kami," terangnya.
Selain soal kuota harian, Edy juga menyoroti tarif surcharge 120 persen dari harga regasifikasi gas yang mencapai 14,8 dolar per MMBTU.
"Kami mengharapkan surcharge 120 persen dari harga regasifikasi gas yang sudah terlalu mahal, 14,8 dolar per MMBTU itu bisa dicabut. Kembali lagi bahwa industri keramik tidak memiliki pilihan, kami tidak memiliki energi substitusi. Gas adalah satu-satunya nyawa untuk industri keramik, sehingga kita terbukti pada hari ini. Begitu tekanan gasnya tidak normal, stop produksi. Karena tidak ada pilihan, tidak ada substitusinya," ungkap Edy.
Meski begitu, ASAKI tetap mengapresiasi langkah cepat pemerintah melalui Kementerian Perindustrian yang turun tangan membantu industri.
"Jadi sekali lagi kami juga sangat mengharapkan kehadiran pemerintah dan kami sangat berterima kasih kepada Kementerian Industri yang menjadi pembina industri, bahwa sangat tanggap, cepat, merespon, untuk membantu industri yang terdampak gangguan gas ini," ujarnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.