Senin, 29 September 2025

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen Masih Masuk Akal, Ronny P Sasmita: Lain Cerita Jika Tumbuh 6 Persen

Pertumbuhan ekonomi sejalan dengan sejumlah faktor pendorong, kenaikan konsumsi rumah tangga akibat momentum tahun ajaran baru.

Tribunnews.com/Irwan Rismawan
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA - Suasana gedung perkantoran di Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution (ISEAI), Ronny P Sasmita menilai, angka pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12 persen pada triwulan II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) masih realistis dan dapat dipercaya.

Ronny P. Sasmita adalah seorang analis ekonomi senior, penulis opini, dan pengamat kebijakan publik yang dikenal karena gaya kritiknya yang tajam, lugas, dan bernuansa satir. 

Ronny diketahui pernah menjabat sebagai Staf Ahli Komite Nasional Ekonomi dan Industri Nasional pada Juni 2015-Oktober 2019.

Baca juga: Universitas yang Pernah Dipimpin Anies Baswedan Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi RI dari BPS

Ia juga pernah bekerja di JPMorgan Chase & Co, sebagai Monestary analyst pada Agustus 2009 sampai Agustus 2012.

Menurut Ronny, raihan tersebut sejalan dengan sejumlah faktor pendorong yakni kenaikan konsumsi rumah tangga yang tipis akibat momentum tahun ajaran baru, pertumbuhan investasi yang cukup moderat serta peningkatan ekspor.

"Data realisasi investasi dari BKPM baru-baru ini, realisasi investasi sekira Rp 900 triliunan telah membuka lapangan pekerjaan baru tak kurang 1,2 juta lapangan pekerjaan," kata Ronny dalam keterangannya, Minggu (10/8/2025).

"Data ini menjadi pengimbang yang masuk akal atas besaran angka PHK sejak awal tahu, yang masih jauh di bawah angka pertumbuhan lapangan pekerjaan baru," sambungnya.

Ronny juga menilai, pertumbuhan ekspor pada periode tersebut didukung perjanjian perdagangan bebas baru dengan Uni Eropa dan beberapa negara lainnya termasuk Rusia.

Sementara itu, perlambatan konsumsi pemerintah disebabkan kebijakan efisiensi anggaran.

Meski begitu, dia mengakui bahwa daya beli kelas menengah sedang tertekan namun hal itu tidak serta-merta membuat konsumsi rumah tangga terpuruk.

"Di sektor informal penjualan membaik, di sektor ritel secara umum tak terjadi tekanan berarti. Hal itu bisa dilihat dari data penjualan ritel dari Bank Indonesia yang masih terpantau stabil," ungkapnya.

Bahkan Ronny juga mengaku angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sektor manufaktur mengkhawatirkan, namun dia menekankan pembukaan lapangan pekerjaan baru dari investasi jauh lebih besar.

"Artinya perekonomian nasional masih mampu menyerap cukup banyak lapangan pekerjaan, meskipun Incremental Labour Output Ratio (ILOR) Indonesia masih belum mencapai titik optimal," terangnya.

Terakhir, Ronny menegaskan bahwa angka pertumbuhan 5,12 persen di triwulan II 2025 ini masih masuk akan dan dapat diterima. Meskipun melenceng dari prediksi banyak ekonom dan pengamat.

Sebab menurut dia, selama ini BPS telah menjadi penyedia data non politis yang reliable untuk Indonesia dengan menerapkan standar internasional dalam perhitungan.

"Lain cerita kalau misalnya BPS mengumumkan lompatan pertumbuhan menjadi 6 persen ke atas, sementara faktanya hanya seperti yang dijelaskan di atas. Boleh jadi saya pun akan ikut mempertanyakan itu," tegas Ronny.
 
 
 
 
 
 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan