Trump Terapkan Tarif Timbal Balik
Pemerintah Diminta Mengantisipasi Dampak Negatif Kesepakatan Dagang dengan AS
RI diminta segera mengambil langkah antisipatif terhadap dampak kesepakatan dagang terbaru dengan Amerika Serikat (AS).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta segera mengambil langkah antisipatif terhadap dampak kesepakatan dagang terbaru dengan Amerika Serikat (AS).
Pernyataan ini disampaikan Ekonom Pusat Kajian Keuangan, Ekonomi, dan Pembangunan Universitas Binawan, Farouk Abdullah Alwyni, Minggu (20/7/2026).
Farouk dikenal sebagai ekonom, akademisi, dan politisi yang concern dengan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah.
Farouk Abdullah Alwyni adalah lulusan S2: MA in Economics dari New York University dan S3 dari Universiti Sains Malaysia (Center for Islamic Development Management).
Dia menilai isi kesepakatan tersebut sangat merugikan Indonesia, meskipun di permukaan terlihat ada pelonggaran dari sisi tarif.
Farouk menyoroti penurunan tarif ekspor Indonesia ke AS dari 32 persen menjadi 19 persen yang dinilai tidak sebanding dengan sejumlah kewajiban besar yang harus ditanggung Indonesia.
Dia menilai kesepakatan itu memperlihatkan posisi tawar Indonesia yang sangat lemah.
"Menurut saya kesepakatan itu sangat berat sebelah. Kesepakatan itu menunjukkan posisi Indonesia tidak setara dengan Amerika. Untuk mendapat penurunan tarif ekspor, Indonesia harus menghapuskan seluruh tarif untuk produk ekspor AS ke Indonesia," katanya.
"Ditambah lagi Indonesia diminta membeli produk energi AS sebesar USD 15 miliar, produk pertanian AS sebesar USD 4.5 miliar, membeli 50 pesawat Boeing, serta membuka akses pasar untuk produk pertanian, perikanan dan peternakan AS bebas tarif,” kata dia.
Farouk juga menekankan bahwa tarif 19 persen tersebut tetap jauh lebih tinggi dari tarif normal sebelumnya yang hanya berada di kisaran 0–5 persen.
Kondisi ini, menurutnya, menempatkan Indonesia dalam posisi kurang menguntungkan dibanding negara tetangga.
Farouk membandingkan dengan Malaysia dan Vietnam yang dikenakan tarif masing-masing 25 persen dan 20 persen, namun tidak diberi syarat tambahan seperti kewajiban pembelian produk atau penghapusan tarif terhadap barang-barang dari AS.
"Jadi sebenarnya apa yang terjadi terhadap Indonesia adalah satu bentuk neo-kolonialisme dan neo-imperialisme gaya baru yang diberlakukan AS kepada Indonesia. Namun ironisnya, Pemerintah Indonesia menerima kesepakatan ini dengan gembira,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, Farouk memperkirakan akan terjadi lonjakan impor dari AS yang berpotensi membanjiri pasar domestik.
Hal ini, menurutnya, bisa memukul sektor industri dalam negeri dan mempercepat laju deindustrialisasi.
"Jadi di satu sisi Indonesia berharap tetap menjaga akses pasar ke AS, yang belum tentu juga akan diterima pasar disana mengingat harga barang-barang tersebut akan meningkat 4x lipat dari harga sebelumnya, di sisi lain kita tidak menyadari potensi hancurnya industri dalam negeri akibat serangan produk-produk ekspor AS,” ucapnya.
Farouk juga memperingatkan bahwa kondisi ini dapat mengubah surplus neraca dagang Indonesia dengan AS yang kini sekitar USD 18 miliar menjadi defisit.
Selain itu, potensi kekurangan penerimaan negara, baik dari pajak maupun PNBP, diperkirakan bisa mencapai IDR 200 triliun.
Melihat potensi risiko ini, ia mendorong pemerintah untuk mulai mengidentifikasi pasar ekspor alternatif bagi pelaku usaha nasional.
Menurutnya, diversifikasi pasar ekspor menjadi penting agar ketergantungan terhadap AS bisa dikurangi.
Ia menilai pemerintah seharusnya menolak kesepakatan yang bersifat menekan secara sepihak.
Farouk mencontohkan langkah Singapura yang mulai menerapkan pendekatan "the World minus One" sebagai upaya untuk memperluas kerjasama global dengan tidak tergantung pada AS.
"Sehubungan dengan ini maka sudah sewajarnya Indonesia melakukan hal yang sama sehingga pada waktunya Indonesia dapat negosiasi ulang terhadap AS dengan 'bargaining position' yang lebih kuat, dan tidak gampang ditekan."
Kebijakan tarif
Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional yang ia sebut sebagai bentuk “kemerdekaan ekonomi” atau Liberation Day.
Kebijakan ini, menurut Trump, untuk melindungi industri dalam negeri AS dari persaingan produk impor sekaligus mengurangi defisit perdagangan.
Trump juga menggunakan tarif sebagai alat negosiasi dagang, misalnya dengan Indonesia, yang berujung pada pembelian 50 jet Boeing dan komoditas AS senilai USD19,5 miliar.
Trump Terapkan Tarif Timbal Balik
Trump Merasa 'Ditampar' saat India, Rusia, dan China Lakukan Pertemuan, Langsung Beri Peringatan |
---|
Trump Tolak Tawaran Manis India: Tarif Nol Persen Tak Lagi Berarti, Sudah Terlambat! |
---|
Industri Otomotif Kehilangan 51.500 Lapangan Kerja Akibat Tekanan Tarif Dagang |
---|
Trump Murka, Siap Gugat ke Mahkamah Agung Usai Tarif Dagang Andalannya Dinyatakan Ilegal |
---|
Acuhkan Ancaman Tarif Trump, India Tingkatkan Ekspor Minyak dari Rusia |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.