INDEF: Kenaikan Tarif Cukai Memperparah Peredaran Rokok Ilegal, Satgas Bisa Sulit Bekerja Efektif
kenaikan tarif cukai rokok yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya peredaran rokok ilegal
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menilai kenaikan tarif cukai rokok yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya peredaran rokok ilegal di Indonesia.
Menurutnya, Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Rokok Ilegal belum menyasar akar masalah karena terlalu fokus pada penindakan di bagian hilir tanpa mengatasi sumber permasalahan dari sisi hulu.
“Selama skema cukai masih menggunakan pola lama, Satgas akan sulit bekerja efektif. Kenaikan tarif yang tinggi tanpa disertai peta jalan (roadmap) yang jelas hanya memperparah situasi,” ujar Heri dalam keterangannya, Jumat (19/6/2025).
Baca juga: Penyelundupan Barang Impor dan Jutaan Batang Rokok Ilegal di Aceh Digagalkan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama mengungkap rencana pembentukan Satgas Pencegahan Rokok Ilegal sebagai upaya penguatan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal yang kian marak di masyarakat.
Heri melanjutkan bahwa selama ini upaya penegakan hukum hanya menyentuh distribusi produk ilegal, tanpa menyentuh aspek produksi dan pabrik-pabrik yang menjadi sumber rokok ilegal.
Sementara itu, harga rokok legal yang terus naik karena tarif cukai tinggi justru mendorong konsumen berpindah ke produk yang lebih murah seperti rokok ilegal, tingwe (lintingan sendiri), atau rokok dari kategori cukai rendah.
“Bayangkan saja, kalau rokok legal bisa seharga Rp 40.000 per bungkus, sedangkan rokok ilegal hanya Rp 7.000. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pilihan ini tentu sangat menggoda,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), peredaran rokok ilegal kini sudah menyentuh angka 7 persen, naik signifikan dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 3–4 persen.
Heri menilai ini merupakan sinyal kuat bahwa kebijakan cukai perlu ditinjau ulang secara menyeluruh.
Heri juga menyoroti ketiadaan roadmap jangka panjang dalam penetapan tarif cukai.
Menurutnya, keputusan pemerintah yang terkesan mendadak tanpa arah kebijakan yang berkelanjutan memicu ketidakpastian di sektor industri.
Dampaknya terasa luas, termasuk pada petani tembakau yang terdampak secara ekonomi.
Salah satu dampak nyata, kata dia, terlihat dari keputusan perusahaan rokok Gudang Garam yang menghentikan pembelian tembakau dari Temanggung sejak 2024.
Akibatnya, menurut Bupati Temanggung, kerugian daerah bisa mencapai Rp 1 triliun per tahun.
Ia mendorong agar pemerintah tak hanya bergantung pada upaya represif melalui Satgas, tetapi juga menyusun kebijakan cukai jangka panjang yang komprehensif dan mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari penerimaan negara, keberlangsungan industri, perlindungan petani dan pekerja, hingga pengendalian rokok ilegal.
“Kalau ingin serius memberantas rokok ilegal, jangan hanya kejar-kejaran di lapangan. Penyebab utamanya—yakni ketidakpastian dan tingginya tarif cukai—juga harus dibereskan,” kata Heri.
Bea Cukai Kediri Gagalkan Peredaran Rokok Ilegal di Kabupaten Nganjuk lewat Operasi pasar |
![]() |
---|
RPP Kesehatan Dikhawatirkan Picu Lonjakan Rokok Ilegal |
![]() |
---|
Ekonom Senior Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,3 Persen di Kuartal IV-2022 |
![]() |
---|
Operasi Pengawasan Bea Cukai di Jawa Tengah Hasilkan Penindakan 244.400 Batang Rokok Ilegal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.