Jumat, 3 Oktober 2025

Pemerintah Diminta Tak Terapkan BMAD, Bisa Matikan Industri Tekstil Lokal dan Picu PHK

Pemerintah diminta tidak menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) karena dikhawatirkan akan mematikan industri tekstil dalam negeri dan memicu PHK.

|
Editor: Choirul Arifin
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
BMAD INDUSTRI TEKSTIL - Suasana pameran industri tekstil dan garmen Indo Intertex 2023 di Hall C1, JIExpo, Kemayoran, Jakarta. Pemerintah diminta tidak menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) karena dikhawatirkan akan mematikan industri tekstil dalam negeri dan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK).  

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta tidak menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) karena dikhawatirkan akan mematikan industri tekstil dalam negeri dan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Pendapat itu disampaikan pengamat kebijakan publik sekaligus Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas.

Menurut Fernando, ramainya saat ini pembahasan mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap Impor Benang Filamen Tertentu harus dilakukan perhitungan cermat atas dampaknya jika usulan ini disetujui Pemerintah RI.

Dampak negatifnya bisa menimpa industri TPT (tekstil dan produk tekstil) dalam negeri, tapi juga karyawan dan pemerintahan Prabowo.

"Kalau kita melihat usulan KADI terkait dengan besaran BMAD dari 5,12 persen sampai 42,3 persen tentu akan memberatkan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Bila melihat kebutuhan industri hulu, benang filamen sintetik seperti Partially Oriented Yarn (POY) adalah sesuatu yang vital sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tekstil," ujarnya dikutip Selasa, 20 Mei 2025.

Fernando menjelaskan, apabila melihat data kebutuhan POY industri tekstil dalam negeri setiap tahunnya mencapai 257.680.000 kg.

Sedangkan ketersediaan POY setiap tahunnya hanya 141.917.000 kg sehingga masih ada kekurangan sekitar 115.763.000 kg untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri.

"Sehingga kalau dilakukan penerapan BMAD maka akan sangat berdampak terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 1 juta serta 5.000 lebih perusahaan besar dan sedang," jelasnya.

Karena tidak terpenuhinya pasokan bahan utama produksi tekstil seperti POY dan DTY tentu akan menghambat produksi yang mengakibatkan berhentinya operasional pabrik. Perusahaan yang tidak beroperasi tentu akan merumahkan para karyawan dalam waktu tertentu atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Selain itu hal tersebut juga akan mengakibatkan hasil produksi industri dalam negeri tidak akan mampu bersaing dengan hasil produksi luar negeri akibat biaya produksi bertambah dikarenakan tidak terpenuhinya bahan baku utama. Sehingga akan memberikan dampak terhadap industri dalam negeri serta terhadap pendapatan negara.

"Saat ini ada sekitar 3 juta karyawan yang hidupnya bergantung pada perusahaan TPT sehingga apabila pemerintah memberlakukan BMAD akan berpotensi mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran akibat perusahaannya ditutup," katanya.

Baca juga: Pengusaha Mamin dan Tekstil Perlu Stimulus untuk Tingkatkan Gairah Pasar

Melihat data TPT secara nasional dari tahun 2022 sampai tahun 2024 lebih dari 50 perusahaan yang gulung tikar dan melakukan PHK terhadap para pekerjanya maka akan sangat mungkin terjadi apabila memaksakan memberlakukan BMAD.

Apabila terjadi banyak perusahaan yang tutup dan terjadinya PHK maka akan membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo Subianto yang pernah berkomitmen mendukung dunia industri dan menjadikan Indonesia menjadi negara industri serta menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan.

"Jangan-jangan ada agenda terselubung dari pihak atau perusahaan tertentu atas usulan mengenakan tarif BMAD untuk meraup keuntungan pribadi dan menjatuhkan pemerintahan Prabowo yang masih berjalan sekitar hampir 7 bulan," tegasnya.

Baca juga: Industri Minta Batalkan Wacana Bea Masuk Antidumping Atas Impor Bahan Baku TPT

Dia berharap pemerintahan Prabowo Subianto menolak usulan BMAD yang berpotensi menganggu pemerintahannya karena peluang banyaknya tutup perusahaan TPT dan terjadinya PHK besar-besaran.

"Diharapkan industri TPT akan semakin mampu bersaing kedepannya sehingga diharapkan tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan Prabowo semakin meningkat karena dianggap mampu memenuhi janjinya mendukung industri dalam negeri dan mencegah terjadinya PHK," lanjutnya.

Temuan Komite Anti Dumping Indonesia

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan sebelumnya menyatakan telah melakukan penyelidikan sekitar satu tahun dan mengklaim mendapati praktik dagang curang berupa dumping atas barang impor benang filament polyester berupa Partially Oriented Yarn-Drawn Textured Yarn (POY-DTY) asal China.

Hal itu telah menyebabkan kerugian serius pada produsen dalam negeri. Menurut temuan, praktik dumping ini membuat realisasi investasi di sektor hulu tekstil menjadi tersendat.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) dikutip Kontan menyebut, realisasi investasi sebesar US$ 250 juta di sektor tekstil hulu masih menunggu kepastian penerapan kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang kini tengah difinalisasi antar lementerian/lembaga (K/L) terkait.

Baca juga: Industri Tekstil Mulai Bangkit, Menperin: Restrukturisasi Penting

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, terdapat 4 perusahaan anggotanya terimbas atas praktik dumping ini. Satu perusahaan diantaranya tutup permanen, satu perusahaan tutup sementara dan dua lainnya hanya mengoperasikan 40?silitas produksinya.

“Jadi hasil temuan KADI ini memang menggambarkan kondisi riil di lapangan,” beber Redma, Senin (19/5/2025).

Berdasarkan keterangan APSyFI sebelumnya, 3 dari 4 perusahaan ini rencananya akan kembali menjalankan secara penuh lini produksinya. Ditambah satu perusahaan relokasi asal China akan berinvestasi mendirikan lini produksi polyester.

“Tapi reaktifasi 3 perusahaan dan 1 perusahaan baru dengan total investasi sekitar US$ 250 juta ini masih menunggu kepastian pemberlakuan BMAD,” tambah Redma seperti dikutip Kontan.

Redma menyebutkan, dengan reaktifasi 3 perusahaan ini akan ada tambahan produksi POY sebesar 200.000 ton sehingga masih sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Jadi impor POY yang tahun lalu mencapai 140.000 ton, bisa kami pasok dari lokal, ini bagian dari substitusi impor” katanya.

Terkait adanya pihak yang menentang pengenaan BMAD ini, Redma menyatakan, selama ini memang ada pihak yang mendapatkan rente dari praktik importasi.

“Ini kan jelas dari KADI sudah bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 dan ketentuan-ketentuan di World Trade Organization (WTO) dan menemukan buti-bukti akurat praktik dumping, maka direkomendasikan BMAD untuk barang impor asal China," ujarnya.

"Tambahan tarif ini hanya untuk barang impor asal China, kalau impor dari negara lain dengan skema RCEP masih nol persen,” kata Redma.

Laporan Reporter: Vatrischa Putri Nur | Sebagian artikel ini dikutip dari Kontan

 

 

 

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved