Makin Panas, Faisal Basri Sebut Hitungan Hilirisasi Tak Jelas, Kemenperin Bilang Begini
Kementerian Perindustrian membalas pernyataan ekonom senior Faisal Basri yang menyebut hitungan hilirisasi pemerintah tidak jelas.
Editor:
Sanusi
Faisal pun menyoroti para perusahaan smelter China yang tidak membayar royalti. Justru yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel, yang hampir semua adalah pengusaha nasional.
Berbeda dari sebelumnya ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
Faisal menekankan, pada dasarnya dia mendukung industrialisasi, tetapi ia menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Menurut dia, kebijakan hilirisasi saat ini ugal-ugalan sehingga sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional.
"Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," kata dia.
Ia bilang, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa, tetapi justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun. Pada tahun 2014 peranan industri manufaktur sebesar 21,1 persen, lalu turun menjadi hanya 18,3 persen di tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel juga dinilai tidak memperdalam struktur industri nasional. Produk smelter dalam bentuk besi dan baja sebagian besar tidak bisa langsung dipakai oleh industri dalam negeri, seperti untuk otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau.
Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis, sementara yang dikatakan oleh Jokowi adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.
Sedangkan hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel, dan ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.
Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia.
Faisal mengatakan, sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.
Menurut dia, nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional dari kebijakan hilirisasi tersebut tak lebih dari sekitar 10 persen. Lantaran hampir semua smelter nikel milik pengusaha China, di mana mereka mendapatkan fasilitas tax holiday, sehingga tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Apalagi, hampir 100 persen modal para pengusaha itu berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.
Dari sisi tenaga kerja, banyak orang China yang bekerja di industri smelter Indonesia justru bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir.
Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya, muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dollar AS per pekerja per bulan.
Ia memaparkan, salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp 17 juta hingga Rp 54 juta, sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Padahal dengan mereka memegang status visa kunjungan, maka boleh jadi para pekerja China itu tidak membayar pajak penghasilan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.