IMF: Waspada, Perlambatan Ekonomi Akan Berlanjut, Dunia Alami Resesi di 2023
Peringatan tersebut disampaikan IMF setelah harga pangan dan energi mengalami lonjakan ke level tinggi, hingga sejumlah negara mengalami inflasi.
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan para pelaku pasar global agar waspada terhadap potensi resesi di 2023.
Peringatan tersebut disampaikan IMF setelah harga pangan dan energi mengalami lonjakan ke level tinggi, hingga mendorong ekonomi di sejumlah negara mengalami kenaikan inflasi serta ketidakpastian ekonomi.
Bahkan 2022 disebut sebagai tahun "polikrisis", sebuah istilah yang dipopulerkan oleh sejarawan Adam Tooze. Akibat kemunduran yang terjadi tahun ini, masyarakat dunia diharap bersiap untuk lebih banyak menghadapi kesuraman pada 2023 mendatang.
"Singkatnya, yang terburuk belum datang dan bagi banyak orang, 2023 akan terasa seperti resesi." jelas Kepala Federal Reserve AS Jerome Powell hingga Christine Lagarde dari Bank Sentral Eropa.
Pemicu Inflasi
Mengutip dari Reuters, lonjakan laju inflasi yang terjadi sejak pasar global dihantam aturan lockdown imbas virus Covid-19 yang melanda seluruh penjuru dunia, saat itu ekonomi global mulai melambat.
Namun negara-negara di dunia mulai menghentikan aturan lockdown atau pembatasan wilayah, harga konsumen perlahan mulai naik di sepanjang 2021.
Di 2021 ekonomi global juga tumbuh pada laju pasca-resesi tercepat dalam 80 tahun, hingga semua uang stimulus membanjiri sistem perdagangan dunia.
Kondisi tersebut diperkirakan berlanjut hingga awal 2022, bahkan tahun ini dianggap sebagai tahun kebangkitan ekonomi dunia setelah pandemi Covid-19.
Namun sayangnya prediksi tersebut meleset justru di sepanjang 2022 ekonomi dunia terus mengalami penyusutan terparah imbas perang antara Rusia dan Ukraina.
Baca juga: Dihantui Resesi, Warga Kanada Was-was Tak Bisa Penuhi Kebutuhan Makan Keluarga
Serangan Rusia ke Ukraina pada akhir Februari tak membuat harga energi dan pangan melonjak.
Kondisi ini bahkan membuat sejumlah negara bergulat dengan krisis biaya hidup karena upah tidak dapat menyimbangkan lonjakan inflasi. sehingga memaksa rumah tangga membuat pilihan sulit dalam pengeluaran mereka.
Baca juga: Ekonom Prediksi Jepang Bisa Masuk ke Jurang Resesi pada 2023, Didorong oleh Penurunan Ekspor
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut harga konsumen di kelompok negara G20 diperkirakan akan mencapai 8 persen pada kuartal keempat sebelum turun menjadi 5,5 persen tahun depan.
Khawatir apabila lonjakan inflasi dapat mempercepat laju resesi suatu negara, mendorong sejumlah bank sentral untuk memperketat kebijakan moneternya dengan mengerek naik suku bunga acuannya ke level tertinggi, seperti yang dilakukan bank sentral AS The Fed.
Langkah serupa juga diambil oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang mengirimkan sinyal yang jelas bahwa ECB akan mempertahankan kebijakan pengetatannya, mengingat inflasi zona euro belum mencapai puncaknya.
Baca juga: Perekonomian Inggris Makin Suram, Diprediksi Jatuh ke Jurang Resesi di 2023
Meski pengetatan moneter dengan menaikkan suku diklaim sebagai upaya menjinakkan kenaikan inflasi.
Namun hal ini juga berisiko mendorong negara – negara berkembang masuk ke dalam jurang resesi yang dalam, karena biaya pinjaman yang lebih tinggi berarti aktivitas dari biasanya.
Tercatat setidak kini sudah ada beberapa negara yang masuk dalam jurang resesi seperti Haiti, wilayah Sudan dan Lebanon hingga Sri Lanka.
Walau ekonomi global di proyeksinya masuk kedalam jurang resesi di 2023, namun Dana Moneter Internasional (IMF) masih mengharapkan apabila ekonomi dunia dapat tumbuh menjadi 2,7 persen.