Sabtu, 4 Oktober 2025

Menkeu Was-was Memanasnya Konflik China-Taiwan Bikin Inflasi Naik

Makin memanasnya konflik China dan Taiwan belakangan ini dikhawatirkan bisa memicu naiknya laju inflasi di dalam negeri.

Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/HO/Biro Pers Setpres/Muchlis Jr
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkhawatirkan makin memanasnya konflik China dan Taiwan belakangan ini yang bisa memicu naiknya laju inflasi di dalam negeri. 

Sehubungan dengan keluarnya arus modal asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang, maka akan menimbulkan tekanan pada nilai tukar.

Hal tersebut menjadi momok bagi negara-negara dengan tingkat utang di atas 60 persen produk domestik bruto (PDB) dan yang mendekati 100 persen PDB.

"Dengan inflasi yang tinggi dan banyaknya risiko, maka negara-negara di dunia berpotensi mengalami pelemahan kondisi ekonomi," tutur Sri Mulyani.

Kondisi tersebut disebut dengan stagflasi. Inflasi yang tinggi, pengetatan suku bunga, akan memperlemah kondisi ekonomi dunia.

"Kombinasi yang rumit dan bahaya bagi para pembuat kebijakan dan bagi perekonomian," tutur Sri Mulyani.

Terpisah, ekonom INDEF Eka Puspitawati berpendapat, pemerintah perlu memastikan kesediaan barang dan memperhatikan efek psikologis masyarakat. Hal itu menurutnya, sebagai kunci mengendalikan inflasi agar tidak menjadi anomali bagi masyarakat.

“Kunci biar terkendali, selain usaha yang dilakukan pemerintah. Usaha riil yang dilakukan misalnya Operasi Pasar, bagaimana cara agar suplai pangan dan energi tetap ada untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi maka pemerintah harus bisa menenangkan psikologi masyarakat,” kata Eka.

Ada istilah, expected inflation atau inflasi yang didorong dari ekspektasi berlebihan atau merasa ketakutan. Jika terjadi ketakutan di masyarakat, maka harga akan lebih cepat naik.

Namun menurut dia, ketakutan ini lebih banyak dirasakan oleh pihak swasta.

“Masyarakat secara umum konsumsi lebih banyak dipenuhi dalam negeri. Yang barang impor yang terdistruksi besar besaran atas goncangan internasional. Kalau dari masyarakat belum banyak kena imbas, asal tidak di blow up. Kalau dari pengusaha khawatir itu pengaruhnya ke masyarakat,“ jelas Eka.

Dalam beberapa bulan ke depan, dengan adanya pembatasan impor, sejumlah pengusaha pasti kesulitan mendapat bahan baku. Hal ini akan membawa dampak pada bisnis mereka.
Meski begitu, Eka percaya inflasi secara keseluruhan masih akan tetap terkendali karena pergerakan masyarakat.

“Dorongan inflasi yang masih disokong oleh tarikan demand, bahwa masyarakat masih beraktivitas, masih berproduksi, melakukan investasi, masih bisa terjaga. Karena inflasi di satu sisi, mengkhawatirkan jika tidak terkendali, tetapi inflasi dibutuhkan untuk mendorong sisi produksi,” tutur Eka.

Inflasi pangan terasa betul pada masyarakat kecil sehingga tugas pemerintah untuk mengendalikan harga, menurunkan inflasi sampai ke ambang batas wajar tadi.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan berkomitmen dengan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP & TPID) dalam menjaga terkendalinya inflasi nasional.

“Jadi menurunkan 10,47 persen menjadi enam atau bahkan lima persen betul-betul dampak sosialnya sangat besar untuk mensejahterakan rakyat,” kata Perry. Pada bulan Juli 2022, Inflasi pangan bulanan mencapai angka 10.45 persen dari batas wajar yaitu antara 5-6 persen.

Hal tersebut diwujudkan melalui gelaran Sinergi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (Gernas PIP).

Salah satu inisiasinya adalah menggelar Operasi Pasar (OP). “Mari kita segera melakukan operasi pasar agar harga cabai, bawang, telur bisa turun. Dan harga minyak goreng yang sudah turun, tidak naik lagi,” jelas Perry.(Tribun Network/nas/nis/wly)

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved