Sabtu, 4 Oktober 2025

Menkeu Was-was Memanasnya Konflik China-Taiwan Bikin Inflasi Naik

Makin memanasnya konflik China dan Taiwan belakangan ini dikhawatirkan bisa memicu naiknya laju inflasi di dalam negeri.

Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/HO/Biro Pers Setpres/Muchlis Jr
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkhawatirkan makin memanasnya konflik China dan Taiwan belakangan ini yang bisa memicu naiknya laju inflasi di dalam negeri. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkhawatirkan makin memanasnya konflik China dan Taiwan belakangan ini yang bisa memicu naiknya laju inflasi di dalam negeri.

Dia mengatakan invasi Rusia ke Ukraina dan konflik China-Taiwan bisa merembet kepada disrupsi sisi supply.

Dia memberikan contoh saat pandemi covid-19 sedang menggila, situasi kala itu sangat tidak baik-baik saja. Terjadi disrupsi sisi supply, distribusi produk dan barang tidak berjalan lancar.

Akibatnya, saat pandemi covid-19 melandai, mobilitas masyarakat mulai tinggi, sisi permintaan melonjak tapi tidak bisa dipenuhi oleh produsen.

"Karena sesudah 2 tahun terkena pandemi ternyata normalisasi produksi tidak begitu saja mudah terjadi. Dengan adanya disrupsi sisi suplai akibat pandemi dan dengan sekarang masalah perang, sementara demand side meningkat, terjadilah inflasi global yang melonjak sangat tinggi," kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita, Kamis (11/8/2022).

Menkeu menjelaskan, tren inflasi yang melonjak sangat tinggi, berbagai negara melakukan respons kebijakan moneter melalui pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga.

Tindakan ini menimbulkan efek rembetan ke berbagai negara, sehingga volatilitas pasar keuangan melonjak.

Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Waspadai Dorongan Inflasi dari Harga Pangan dan Energi

Karena itu kini ia tengah mewaspadai pergerakan inflasi nasional. Terutama yang didorong oleh harga pangan. Sri Mulyani menegaskan, Indonesia perlu mewaspadai inflasi yang didorong harga pangan. Sebab, angkanya sudah kisaran 11,5 persen.

"Inflasi ini terutama yang didorong harga pangan karena sudah mencapai 11,5 persen," ujar Sri Mulyani.

Kemudian yang kedua, menurut Sri Mulyani adalah inflasi yang berasal dari harga yang diatur pemerintah namun tidak semuanya bisa ditahan.

"Meskipun harga BBM Pertalite dan juga harga dari Solar, Elpiji, listrik, semuanya masih ditahan, namun kita lihat beberapa harga energi dan transportasi seperti tiket pesawat mengalami kenaikan," tutur Sri Mulyani.

Baca juga: Menkeu Sri Mulyani : Risiko Prospek Perekonomian Alami Pergeseran Jadi Ketidakpastian Global

Sri Mulyani mengimbau agar mewaspadai kedua faktor tersebut, yakni inflasi yang didorong harga pangan dan harga energi.

"Karena memang gejolak global adalah berasal dari food dan di Indonesia juga terkena 11,5 persen dan kemudian berasal dari energi yang kemudian diterjemahkan dalam beberapa barang yang diatur oleh pemerintah namun tidak semuanya bisa kita tahan," kata Sri Mulyani.

Saat ini, Indonesia telah menaikan subsidi di sektor energi sebesar Rp 502 triliun. Namun, apabila tidak ditahan harga energi akan jauh lebih tinggi dari 6,5 persen.

Baca juga: Euforia Pertumbuhan Ekonomi 5,4 persen , Kamrussamad Ingatkan Sri Mulyani Waspada Kuartal Selanjutnya

"Sedangkan inflasi core atau inti 2,9 persen sedikit menggambarkan ada kenaikan dan ini menggambarkan pemulihan ekonomi dari sisi demand mulai kuat, konsumsi meningkat, ekspor mulai meningkat, dan investasi mulai pulih," imbuh Sri Mulyani.

Dia juga menyoroti adanya pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga kebijakan bank-bank sentral di negara maju serta potensi krisis utang global.

Sehubungan dengan keluarnya arus modal asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang, maka akan menimbulkan tekanan pada nilai tukar.

Hal tersebut menjadi momok bagi negara-negara dengan tingkat utang di atas 60 persen produk domestik bruto (PDB) dan yang mendekati 100 persen PDB.

"Dengan inflasi yang tinggi dan banyaknya risiko, maka negara-negara di dunia berpotensi mengalami pelemahan kondisi ekonomi," tutur Sri Mulyani.

Kondisi tersebut disebut dengan stagflasi. Inflasi yang tinggi, pengetatan suku bunga, akan memperlemah kondisi ekonomi dunia.

"Kombinasi yang rumit dan bahaya bagi para pembuat kebijakan dan bagi perekonomian," tutur Sri Mulyani.

Terpisah, ekonom INDEF Eka Puspitawati berpendapat, pemerintah perlu memastikan kesediaan barang dan memperhatikan efek psikologis masyarakat. Hal itu menurutnya, sebagai kunci mengendalikan inflasi agar tidak menjadi anomali bagi masyarakat.

“Kunci biar terkendali, selain usaha yang dilakukan pemerintah. Usaha riil yang dilakukan misalnya Operasi Pasar, bagaimana cara agar suplai pangan dan energi tetap ada untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi maka pemerintah harus bisa menenangkan psikologi masyarakat,” kata Eka.

Ada istilah, expected inflation atau inflasi yang didorong dari ekspektasi berlebihan atau merasa ketakutan. Jika terjadi ketakutan di masyarakat, maka harga akan lebih cepat naik.

Namun menurut dia, ketakutan ini lebih banyak dirasakan oleh pihak swasta.

“Masyarakat secara umum konsumsi lebih banyak dipenuhi dalam negeri. Yang barang impor yang terdistruksi besar besaran atas goncangan internasional. Kalau dari masyarakat belum banyak kena imbas, asal tidak di blow up. Kalau dari pengusaha khawatir itu pengaruhnya ke masyarakat,“ jelas Eka.

Dalam beberapa bulan ke depan, dengan adanya pembatasan impor, sejumlah pengusaha pasti kesulitan mendapat bahan baku. Hal ini akan membawa dampak pada bisnis mereka.
Meski begitu, Eka percaya inflasi secara keseluruhan masih akan tetap terkendali karena pergerakan masyarakat.

“Dorongan inflasi yang masih disokong oleh tarikan demand, bahwa masyarakat masih beraktivitas, masih berproduksi, melakukan investasi, masih bisa terjaga. Karena inflasi di satu sisi, mengkhawatirkan jika tidak terkendali, tetapi inflasi dibutuhkan untuk mendorong sisi produksi,” tutur Eka.

Inflasi pangan terasa betul pada masyarakat kecil sehingga tugas pemerintah untuk mengendalikan harga, menurunkan inflasi sampai ke ambang batas wajar tadi.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan berkomitmen dengan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP & TPID) dalam menjaga terkendalinya inflasi nasional.

“Jadi menurunkan 10,47 persen menjadi enam atau bahkan lima persen betul-betul dampak sosialnya sangat besar untuk mensejahterakan rakyat,” kata Perry. Pada bulan Juli 2022, Inflasi pangan bulanan mencapai angka 10.45 persen dari batas wajar yaitu antara 5-6 persen.

Hal tersebut diwujudkan melalui gelaran Sinergi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (Gernas PIP).

Salah satu inisiasinya adalah menggelar Operasi Pasar (OP). “Mari kita segera melakukan operasi pasar agar harga cabai, bawang, telur bisa turun. Dan harga minyak goreng yang sudah turun, tidak naik lagi,” jelas Perry.(Tribun Network/nas/nis/wly)

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved