Rabu, 1 Oktober 2025

Proyek EBT akan Berdampak pada Ruang Fiskal 

Proyek energi baru terbarukan (EBT) memiliki implikasi terhadap ruang fiskal ke depan karena menambah beban kompensasi yang harus ditanggung negara.

TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Ilustrasi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Proyek energi baru terbarukan (EBT) memiliki implikasi terhadap ruang fiskal ke depan karena menambah beban kompensasi yang harus ditanggung negara.

Padahal saat ini pemerintah saat ini menghadapi normalisasi defisit fiskal yakni tahun depan defisit fiskal masih diperbolehkan lebih dari 3 persen namun mulai 2024 dan tahun-tahun selanjutnya, defisit fiskal harus kembali di bawah 3 persen.

"Di sisi lain  APBN juga menghadapi beban tambahan sebagai dampak dari berlarutnya pandemi Covid-19," kata Ekonom INDEF,  Abra Talattov saat dialog mengenai RUU EBT Berpeluang “Memukul” Keuangan Negara, Kamis (9/9/2021) malam.

Untuk pembahasan RAPBN tahun depan saja, lanjutnya, pemerintah dan DPR telah berdebat panas mengenai realokasi anggaran mana saja yang dianggap mendesak sekaligus anggaran untuk bantalan sosial.

Baca juga: Investor Diajak Berkontribusi dalam Pengembangan Energi Bersih Melalui Reksa Dana

“Tentu ini akan menjadi perdebatan serius juga ke depan, artinya nanti akan ada pos-pos belanja lain yang harus dikorbankan dan dialihkan untuk menutup anggaran pengembangan EBT ini," katanya.

Ia menilai bahwa draf RUU EBT yang sedang disiapkan justru sangat kental dengan adanya intervensi pemerintah untuk mendorong transisi energi.

“Nah kita mendukung adanya tadi, burden sharing antara pemerintah dan non pemerintah.

Tetapi bentuk-bentuk konkritnya seperti apa? Nah ini kan yang perlu dielaborasikan di draf RUU tadi?” katanya.

Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, RUU EBT yang menjadi inisiasi lembaga legislatif saat ini masih dibahas di DPR.

Baca juga: RUU Energi Baru Terbarukan Harus Mewakili Aspirasi Publik, Tak Hanya Motif Bisnis

Dia menyebutkan bahwa proses pembahasan formal antara DPR dan pemerintah belum dimulai.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif reforminer Institut, menyebutkan, transisi energi memiliki tujuan yang positif sudah menjadi komitmen pemerintah, sudah ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), juga sudah diratifikasi pada Paris Agreement.

Hal ini menunjukan bahwa pengembangan sektor energi terbarukan memang sudah menjadi bagian dari komitmen bersama.

Namun demikian, dia mengingatkan adanya risiko fiskal dalam draft RUU EBT yang sedang dipersiapkan oleh DPR serta pada draft revisi Permen ESDM No. 49/2018 demi mendorong percepatan transisi energi ke energi baru dan terbarukan.

"Perlu koordinasi antara kementerian teknis serta Kementerian Keuangan yang mengatur soal anggaran negara," katanya.

Komaidi menyebutkan bahwa rata-rata bauran energi terbarukan dalam produksi listrik global pada 2020 masih di kisaran 11%.

Begitu pula rata-rata bauran energi terbarukan pada energi primer yang berkisar di angka 10 persen - 11 persen.

Dalam realitanya, ujar Komaidi, ada negara dengan bauran energi terbarukan di atas 11 persendan ada negara dengan bauran energi terbarukan kurang dari 11 persen.

Namun itu berarti, lanjutnya, rata-rata bauran energi terbarukan di tingkat dunia masih jauh dari target bauran energi terbarukan yang ditetapkan dan kini dikejar oleh pemerintah Indonesia untuk di dalam negeri yakni sebesar 23% pada 2025.

Di sisi lain, Komaidi melanjutkan, bahwa rata-rata GDP negara-negara yang telah mendorong percepatan bauran energi terbarukan adalah lebih dari US$30.000 per kapita, sementara itu, lajutnya, GDP Indonesia masih berada di kisaran US$3.100 per kapita.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved