Curhat Nelayan Seusai Terbitnya Permen KP 17/2021: 'Maju Kena Mundur Kena'
Dia mengungkapkan, kondisi seperti sulapan abrakadabra dan sim salabim untuk mencukupi penghidupan mereka dengan cepat ternyata jauh panggang dari api
Dia mengungkapkan, kondisi seperti sulapan abrakadabra dan sim salabim untuk mencukupi penghidupan mereka dengan cepat ternyata jauh panggang dari api.
Sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan, nelayan-nelayan itu sama sekali tidak punya pengetahuan tentang budidaya.
Larangan itu membuat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada bimbingan teknis, transfer knowledge atau alih teknologi yang bisa membuat mereka beralih profesi menjadi pembudidaya lobster.
"Tak ada sama sekali. Selama ini kelompok nelayan tangkap tidak mengerti teknik pendederan. Untuk daerah yang tidak ada pembudidaya lobster lantaran laut selatan ombaknya besar, hasil tangkapan harus dikirim ke daerah lain yang ada pembudidaya lobster," tuturnya.
Pengiriman antar provinsi ini pun bukan tanpa masalah. Membudidaya BBL hingga menjadi lobster ukuran 5 gram agar layak jual, menjadi pekerjaan yang sulit bagi mereka.
Baca juga: Survei KNTI: Penjualan Ikan Tangkapan Nelayan Membaik di Masa Pandemi
"Pekerjaan praktis dan uang cepat yang tadinya mudah didapat, sekarang sulit dan butuh kesabaran tingkat dewa," katanya.
"Sekarang buat mereka, uang bisa dicari tapi susah. Nelayan-nelayan di Vietnam, negara di mana budidaya lobster menjadi salah satu komoditi primadona, butuh minimal lima sampai sepuluh tahun untuk bisa jadi pembudidaya kelas dunia."
Menurutnya, waktu dan modal yang dibutuhkan cukup banyak dan nelayan di Indonesia belum sampai tahap itu. Infrastrukturnya sangat detail dan butuh campur tangan pemerintah.
Tahap 1 dalam rangkaian panjang pendederan dan pembesaran adalah tahap paling sulit karena faktor alam, kecukupan modal untuk pakan dan perawatan.
Belum lagi mortality rate yang fluktuatif, mengancam penjualan mereka ke perusahaan-perusahaan pembudidaya. Semua faktor ini bila diperhitungkan dengan hambatan
perjalanan masih panjang.
Dibutuhkan kesabaran dan pembelajaran yang lama karena bisnis ini berkecimpung dengan kondisi alam yang tak bisa diprediksi seperti membalik telapak tangan.
Balai Pelatihan yang harusnya juga dibuat oleh KKP untuk budidaya lobster harus juga digerakkan agar transfer knowledge bisa dilakukan segera.
"Nelayan nyaman karena punya bisnis yang jadi jati diri mereka, negara juga boleh bernapas lega karena sudah memberikan jalan terbaik untuk nelayan. Everybody happy."
Tampaknya, geliat keluhan dan protes tidak akan terhindarkan bila peraturan ini tidak diubah dan dimudahkan. Akan bertambah banyak di seluruh pelosok Indonesia.
Puluhan KUB (Kelompok Usaha Bersama) tempat bergabungnya nelayan-nelayan di
Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu itu mulai jadi tempat curhat. Topiknya tidak jauh tentang penerapan Permen KP 17/2021 ini.