Amandemen 7 UU, Sri Mulyani Jelaskan ke Puan 6 Keunggulan Omnibus Law
28 pasal nanti dibagi lagi menjadi 6 klaster, pertama yakni untuk meningkatkan investasi melalui penurunan tarif PPh badan dan bunga
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan ke Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani, Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law mengamandemen 7 UU.
Sri Mulyani mengungkapkan, program Omnibus Law hanya berisi 28 pasal dari 7 UU sebelumnya yakni UU PPh, UU PPn, UU KUP, UU Kepabeanan, UU Cukai, UU Pajak dan Retribusi Daerah, dan UU Pemda.
"Hanya 28 pasal, Omnibus Law amandemen 7 UU," ujarnya di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Baca: Menghadap Puan, Menkeu Sri Mulyani Pastikan Program Omnibus Law Rampung 2020
Baca: Pemerintah Bentuk Satgas Omnibus Law, Ini Tugasnya
Eks direktur pelaksana Bank Dunia ini mengungkapkan, 28 pasal nanti dibagi lagi menjadi 6 klaster, pertama yakni untuk meningkatkan investasi melalui penurunan tarif PPh badan dan bunga.
Kemudian klaster kedua sistem teritorial yakni penghasilan dividen dari luar negeri dibebaskan pajak asal diinvestasikan di Indonesia dan untuk Warga Negara Asing (WNA) jadi subjek pajak dalam negeri.
Selanjutnya, klaster ketiga subjek pajak orang pribadi antara WNA dan WNI yakni bagi WNI yang tinggal di luar negeri selama 183 hari bisa jadi subjek pajak luar negeri.
"Sedangkan, untuk WNA yang tinggal 183 hari di Indonesia jadi subjek pajak dalam negeri dari penghasilannya di Indonesia," kata Sri Mulyani.
Selain itu, klaster keempat untuk peningkatan kepatuhan kepajakan dengan mengatur ulang sanksi perpajakan dan bunganya yang tinggi 2 persen hingga 24 bulan.
Suku bunga secara total ini bisa mencapai 48 persen, sehingga memakai acuan di pasar agar wajib pajak secara administrasi lebih mudah.
Tidak ketinggalan, Sri Mulyani menjelaskan klaster kelima yaitu ekonomi digital dari sisi pemajakan transaksi elektronik dibuat sistem pajak biasa, termasuk penunjukan platform digital dipungut PPn meski tidak di Indonesia.
Hal ini mersepons fenomena ekonomi digital yakni perusahaan tidak ada di Indonesia, di antaranya Netflix dan Amazon supaya tetap bisa jadi subjek pajak.
"Terakhir klaster keenam adalah seluruh insentif pajak dilebur dalam 1 klaster. Mengenai super tax deduction, tax holiday, tax allow, KEK, PPh surat berharga, dan insentif pajak daerah," pungkasnya.