Kelapa Sawit, Industri yang Paling Memungkinkan Dibawa Masuk ke Berbagai Pelosok Indonesia
Kelapa sawit bagi Indonesia merupakan anugerah yang membewa berkah dan solusi untuk membuka isolasi sekaligus memajukan daerah
“Telpon anak yang sekolah di luar juga gampang, mau jual barang juga gampang. Coba lihat sekitar sini, sudah mulai beberapa warga punya sarang burung walet.”
“Dulu kami tidak kepikiran itu, tapi seiring hadirnya telepon dan internet, warga mulai kepikiran, mulai tahu caranya, dan mulai membuat rumah sarang burung walet. Tahu juga harga jualnya dan tahu kemana harus menjualnya. Dulu, mana bisa, tidak kepikiran dan tidak tahu kalau mahal dan menguntungkan. Kami tidak ada komunikasi dengan dunia luar,” bebernya.
Bukan itu saja, anak-anak di daerahnya sekarang sudah dapat menikmati pendidikan tinggi sampai di kota. Seperti anaknya Kepala Desa sudah sekolah ke kota semua. Bahkan ada yang sudah kuliah dan kini sudah mau lulus jadi sarjana.
“Terus untuk penerangan, kami sudah bisa menikmati listrik. Dulu kami hanya pakai karet untuk penerangan di malam hari,” ungkap Kodim
Problem Baru Muncul
Kemajuan daerah dan perbaikan ekonomi warga dengan hadirnya kebun kelapa sawit tak bisa dipungkiri. Namun demikian juga ada ekses yang ditimbulkan. Salah satunya adalah sumber air.
Menurut keterangan Kades, Desa Tua’ Abang, Dusun Nanga Bian, Semitau, Kapuas Hulu, Paulus Sarman, secara turun temurun kehidupan masyarakat mengandalkan air dari danau atau sungai. Tidak memiliki sumur.
Pola ketergantungan pada pada sumber air alam ini yang kemudian terganggu dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit.
“Kami jadi was-was untuk mengunumsi air danau atau sungai. Sebab kami tahu, pengelolaan kelapa sawit tidak bisa lepas dari pupuk kimia dan pestisida. Sementara sumber air dari gunung yang mengalir ke danau dan sungai kami ini melewati kebun-kebun sawit,” katanya.
Diakuinya memang belum ada kasus yang meninggal atau keracunan karena mengunsumsi air danau atau sungai.
“Tapi kami tidak nyaman lagi konsumsi air danau dan sungai yang sudah terkontaminasi pupuk kimia dan pestisida. Kami harus beli air minum galon untuk konsumsi atau menadah air saat hujan. Kalau musim kemarau seperti ini, kan, tidak bisa mengadalkan air hujan,” ujarnya.
Dengan adanya perubahan pola hidup masyarakat ini Sarman meminta pihak perkebunan kelapa sawit ikut memikirkan dan mencarikan solusi. Begitu juga dengan Pemerintah daerah setempat.
“Tahun 2016 kami mengebor sampai 40 meter, tapi tetap belum dapat air. Entah ini kesalahan ambil tempat mengebor atau memang tidak ada airnya, kita tidak tahu,” bebernya.
Menurut Sarman, di gunung masih ada sumber air, yang bisa dimanfaatkan. “Tapi bagaimana agar sumber air itu bisa sampai ke warga, itu yang perlu dipikirkan bersama antara warga, perkebunan kelapa sawit dan pemerintah daerah. Kalau warga sendirian untuk mencari solusi, sulit, terbentur dana,” katanya.
Sarman menungkapkan, di wilayahnya ada 571 jiwa dan 161 KK yang tersebar di dua dusun. Hampir semua warganya terlibat dalam perkebunan kelapa sawit, baik sebagai petani plasma ataupun pekerja.
Memberi Alternatif Kehidupan
Kehadiran perkebunan kelapa sawit anak-anak usaha Sinarmas di wilayah Kapuas Hulu tidak hanya melibatkan masyarakat setempat sebagai perkerja dan petani plasma. Tapi juga pemberdayaan dengan membuka berbagai alternatif sumber kehidupan.
Berbagai pelatihan dan pendampingan diberikan ke masyarakat sekitar. Sepeti membuat kerajinan tangan, menanam teh dari bunga rosela, membuat pupuk kompos, menanam kelor untuk membuat herbal Moringa.
"Ada yang kami ajari membuat keranjang dari bambu, kemudian nanti hasilnya kita beli untuk kebutuhan di kebun. Jadi di sela-sela berkerja di kebun, warga di rumah bisa mencari hasil tambahan dari membuat kerajinan,” ungkap Herman Teguh Wibowo, Regional Control (RC) PT Paramitra Internusa Pratama (PIP), PT PGM dan PT KPC di Semitau, Kapuas Hulu.
Staf CEO PT Sinar Mas Ismuhyar Effendi mengungkapkan, bekerjasama dengan lembaga lain, anak usaha Sinar Mas di Semitau juga membuat Pusat Pelatihan Pengembangan Masyarakat (P3M).
Di lembaga ini bersama masyarakat mengembangkan pupuk kompos, percobaan penanaman berbagai jenis bambu, bunga rosela sampai menjadi teh rosella dan manisan rosella. Dikembangkan juga pembuatan herbal Moringa.
“Jadi masyarakat diberi pelatihan dan pendampingan menanam sampai memproses teh rosela, manisan rosela, sirup rosela, menanam pohon kelor sampai menjadi herbal Moringa,” jelas Ismuhyar.
Konsultan di P3M Edo Sujarwo menuturkan, kegiatan di P3M sudah berlangsung sejak tahun 2017. Awalnya pembuatan kompos, kemudian berkembang ke pembuatan herbal Moringa dari daun kelor, teh rosella, manisan rosella, dan sirup rosela.
“Kita sebelumnya sudah dilakukan penelitian, ada lahan untuk membuat kompos, menanam pohon daun kelor, dan bunga rosella. Bahkan tanaman bambu dari berbagai jenis juga kita coba. Ini untuk memberi alternatif dan penyangga kehidupan warga sekitar,” harapnya.
Diungkapkan, masyarakat dilatih dan didamping mulai dari menanam sampai memproses menjadi produk.
“Seperti daun kelor untuk membuat herbal Moringa, kita ajari mulai dari menanam, kapan memetik daunya, penjemuran dan pengeringan, hingga memproses menjadi kapsul herbal Moringo,” katanya.
Pihaknya juga mencarikan pasar untuk produknya. Untuk produk dari rosella dan herbal dari daun kelor baru untuk konsumsi lokal dan sebagian lagi dikirim ke Bali karena ada kerjasama dengan pihak asing, yakni dari Swis.
Mematahkan Kampannye Hitam
Kehadiran industri kelapa sawit di Indonesia tak lepas dari isu negatif, mulai dari tudingan kerusakan lingkungan, perambah hutan lindung, hingga isu dumping dan subsidi.
Untuk mematahkan berbagai isu tersebut, perkebunan kelapa sawit ingin memberi bukti. Agustinus Nainggolan, Kordinator SPO Region Semitau, PT PIP menuturkan, di Tengkawang Estate sendiri terdapat areal konservasi.
Areal HCS, (Hutan Karapatan) HK 1, dengan luas 3.673 hektar, yang sudah mengantungi izin, ada perawatan pada areal batas, pentingnya HCS bagi lingkungan kendati masih milik masyarakat. Selain HK1 juga ada HK2 dan HK3. Dengan total keseluruhan areal konservasi seluas 4.800 Ha.
“Kami juga terus sosialisasikan, kumpulkan orang warga sendiri, dari dua desa. Edukasi terus diberikan mengenai potensi ruang lingkup dan mengidentifikasi sumber daya, itu yang penting,” ulasnya.
Menurutnya, kita perlu melindungi lingkungan hutan ini untuk masa mendatang. “Melindungi dan merawat areal konservasi melalui identifikasi skupnya land skip, tata ruang desa,” kata Nainggolan.
Menurut Nainggolan, pihaknya juga melibatkan dari Dinas Pemerintahan, Kementerian Pertanian, dan per 6 bulan tetap dikontrol luas konservasi hutan lindung.
“Kami kontrol melalui radar set, kalau ada bukaan lahan hutan konservasi, maka akan kelihatan. Kemudian kita cek, dan akan tanyakan ke masyarakat siapa yang membuka lahan,” katanya.
Untuk perawatan dilihat dari diameter pohonnya seperti di HK1, seperti mengecek 20-25 pada lingkar batang. HCS itu sendiri keseluruhannya terdiri dari 4.800 Ha (PT PIP). Di mana penetapan HCS itu dulu dikampanyekan oleh Green Peace, Konsultan Earth Warm dan PT Smart.
“Kami juga terus mengedukasi masyarakat agar tidak lagi membuka lahan dengan cara membakar. Kampanye ini penting untuk dilakukan terus menerus, untuk mengubah pola yang sudah berlaku dari turun temurun. Mereka sudah biasa membuka lahan dengan membakar,” jelasnya. (Sugiyarto)