Pengamat: Kebijakan Perikanan Dianggap Salah Kaprah
Hal ini dinilai justru merugikan nelayan yang sesungguhnya ingin diberdayakan pemerintah
TRIBUNNEWS.COM, MANADO – Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra menyatakan bahwa kebijakan perikanan tangkap yang dibuat pemerintah saat ini sangat parsial.
Hal ini dinilai justru merugikan nelayan yang sesungguhnya ingin diberdayakan pemerintah. Selain itu, terdapat salah kaprah dalam menerjemahkan istilah illegal fishing dimana dikatakan sebagai “pencurian ikan.”
“Pencurian terjadi apabila salah satu pihak memiliki property right atas suatu objek yang diambil pihak lain tanpa izin. Pertanyaannya negara mana yang memiliki property right atas ikan liar di lautan,” kata Agus, di Manado dalam siaran persnya, Rabu (14/1/2015).
Ia menurutkan, ikan liar di lautan merupakan common goods atau barang umum yang sulit diklaim salah satu pihak sebagai miliknya. Ikan penjelajah seperti Tuna bertelur di perairan Jepang kemudian berkembang dan dewasa di Indonesia. Demikian juga dengan ikan domestik seperti Kerapu yang berada di perbatasan negara dapat mondar-mandir antar negara. Oleh sebab itu, illegal fishing pada dasarnya penangkapan ikan yang melanggar kedaulatan wilayah.
“Jika disederhanakan cukup dengan penangkapan ikan ilegal karena makna ilegal bersifat luas,” ujar Poputra.
Menurutnya, terlepas dari kekurangtepatan terjemahannya, kegiatan illegal fishing sangat merugikan Indonesia. Oleh sebab itu, penangkapan kapal nelayan asing memang perlu dilakukan namun penenggelaman kapal asing sangat disayangkan sebab sesungguhnya dapat dibagikan kepada kelompok nelayan domestik yang memiliki keterbatasan kapal.
Selain itu, lanjutnya, penangkapan kapal nelayan asing ternyata menimbulkan dilema bagi nelayan di daerah perbatasan dan remote area. Di satu pihak mereka sadar bahwa illegal fishing merugikan negara namun di lain pihak keberadaan kapal nelayan asing telah menciptakan pasar bagi mereka melalui penjualan di tengah laut.
Berbagai Kendala
Lebih jauh, Poputra mengatakan, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan nelayan lokal melakukan transaksi penjualan di tengah laut dengan kapal nelayan asing. Pertama, jarak ke tempat penampungan ikan ataupun lokasi perusahaan pengolah ikan domestik relatif jauh sehingga menambah biaya bahan bakar minyak (BBM) bagi nelayan lokal.
Hal ini diperburuk dengan harga BBM di daerah perbatasan ataupun remote area yang relatif mahal, dapat mencapai kisaran Rp 20.000 per liter pada waktu-waktu tertentu. Kedua, harga ikan di pasar domestik jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh nelayan asing.
Kebijakan lainnya, jelas Poputra, yang membuat nelayan lokal merana adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 57/PERMEN-KP/2014 yang melarang alih muatan ikan di tengah laut dari kapal nelayan ke kapal penampung. Kebijakan ini memperpendek daya jelajah dari kapal-kapal nelayan lokal. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan lokal karena umumnya kapal mereka tidak didukung dengan keberadaan coldstorage.
“Langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan moratorium izin operasi kapal ikan yang memiliki berat di atas 30 gross tonnage (GT) juga menimbulkan polemik. Semestinya pengusaha dalam negeri diberi keleluasaan dalam izin tersebut dengan pengawasan memadai agar izinnya tidak disalahgunakan dengan cara bermain mata dengan pihak asing. Ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan ikan dalam negeri yang tidak cukup dipasok oleh nelayan tradisional. Saat ini kelangkaan bahan baku ikan sudah dirasakan oleh beberapa perusahaan pengolah ikan di Sulawesi Utara dan mungkin juga dialami perusahaan di daerah lainnya,” terang dia.
Menyimak kondisi yang ada, kata Poputra, pemerintah seharusnya membuat kebijakan secara komprehensif, tidak parsial seperti saat ini. Memang pemerintah perlu bertindak cepat namun harus berada pada jalur yang tepat sehingga kebijakan tersebut menguntungkan nelayan dan industri pengolahan hasil perikanan Indonesia, bukan sebaliknya.
Upaya persiapan nelayan Indonesia untuk mengambil alih posisi nelayan asing seharusnya menjadi program dan kegiatan prioritas dan mendesak agar derita nelayan lokal dan perusahaan pengolah hasil perikanan tidak berkepanjangan.
Poputra mengusulkan untuk untuk pemberdayaan nelayan lokal di perbatasan dan remote area serta industri pengelohan hasil perikanan adalah kebijakan “Empat Pilar.” Di sini unsur Nelayan, Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, Perusahaan Pengolah Hasil Perikanan, dan Agen Pembelian dari perusahaan pengolah hasil perikanan.