LPS dan Kejagung Berwenang Usut Pemilik Bank Bermasalah
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk mengejar aset-aset bank bermasalah.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk mengejar aset-aset bank bermasalah, termasuk kemungkinan untuk mengusut para pemilik/pengurus bank yang melakukan kejahatan yang menyebabkan bank tersebut merugi dan terpaksa ditutup. Kerja sama LPS dan Kejaksaan Agung juga akan memperkuat posisi LPS di hadapan para bankir bermasalah.
"Ini adalah bentuk perlindungan untuk nasabah. LPS punya kewenangan untuk mengejar aset bank bermasalah," ujar Enny Sri Hartati, pengamat ekonomi dari Institute for Development Economy and Finance (INDEF), Minggu (30/11/2014).
LPS menggandeng lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung sebagai perspektif tanggung jawab moral yakni menyelamatkan nasabah sekaligus memberi perlindungan karena seringkali tanpa ada kekuatan hukum seperti dari pengadilan, aset-aset yang ada itu kemudian dihilangkan atau disembunyikan oleh para bankir bermasalah. Hal ini tentu pada akhirnya merugikan nasabah.
"Dengan adanya kepastian hukum dari pengadilan, LPS bisa mengakuisisi bank bermasalah itu sekaligus juga berpeluang mengembalikan hak-hak nasabah jika dikuatkan pengadilan, lembaga hukum," tegasnya.
LPS sebelumnya menandatangani nota kesepakatan dengan Kejaksaan Agung pada akhir tahun lalu. Kerja sama itu dijalankan, agar ada tindakan hukum diberikan pada bank gagal yang melakukan pelanggaran hak-hak nasabah. Misalnya, kasus bank perkreditan rakyat bangkrut karena melarikan dana simpanan.
LPS dan Kejaksaan Agung menangani kasus bank gagal karena ulah nakalnya sendiri. Salah satunya adalah soal penggelapan dana nasabah BPR Tripanca Setiadana di Lampung. Dalam kasus itu, LPS mengeluarkan dana lebih dari Rp 347 miliar untuk menggantikan dana nasabah yang hilang.
Enny sepakat dengan dikejarnya aset-aset bermasalah maka recovery rate juga akan terkerek naik sehingga kinerja LPS bisa lebih optimal.
"Bila aset dikejar pasti akan mengerek recovery rate," ujarnya.
Kodrat Wibowo, ekonom yang juga pengamat Lembaga Keuangan Publik, menilai baik kerja sama LPS dengan Kejaksaan Agung ini sebagai komitmen bentuk perlindungan pada nasabah. Ini juga bisa dilihat dari perspektif agar dana yang dipakai untuk menalangi perbuatan bankir bermasalah bukan dari dana publik namun harus dari dana si bankir sendiri.
"Tentu tidak fair jika menalangi dari uang publik. Kerja sama dengan kejaksaan sangat tepat dan baik apalagi selama ini LPS memang tidak punya kewenangan melakukan penyelidikan penyidikan," tegasnya.
Kodrat mencontohkan bila seorang bankir melakukan tindakan berdasarkan posisinya di bank untuk kepentingan sendiri, keluarga dan kelompok tentu saja ini masuk kategori pidana sehingga harus ditindaklanjuti penegak hukum tidak hanya oleh LPS saja.
"Jangan sampai LPS jadi bulan-bulanan pengelola bank. Seringkali bank di daerah itu punya komisaris yang tidak profesional. Bank yang bermasalah seringkali memang karena salah urus dan tidak profesional. Kerja sama dengan Kejaksaan Agung merupakan langkah tepat. Tentu saja tidak sekadar memberi efek jera tapi juga memberi pesan agar mengelola uang publik tidak main-main," tandasnya.
Dia yakin jika sejumlah aset bankir bermasalah bisa dikejar akan meningkatkan recovery rate (tingkat pengembalian) LPS sehingga nasabah juga diuntungkan dan beban LPS menjadi lebih ringan.
"Tentu saja secara teknis pada akhirnya aset yang mampu dikejar itu kana mengerek recovery rate," ucapnya.
Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirdjoatmodjo mengatakan bank dan BPR adalah lembaga keuangan yang signifikan di Indonesia. Kerja sama dengan Kejaksaan Agung diperkirakan dapat berkontribusi terhadap peningkatan profesionalisme BPR dan dalam waktu yang bersamaan juga memberikan peringatan keras kepada pemilik bank/BPR yang nakal.