Petani Sigli Sulit Pasarkan Garam
Nasib petani garam di Pidie semakin terpuruk. Selain sulit memasarkan garam olahan mereka
TRIBUNNEWS.COM, SIGLI - Nasib petani garam di Pidie semakin terpuruk. Selain sulit memasarkan garam olahan mereka. Harga garam pun menurun dari Rp 2.500 per kilogram menjadi 2.000.
“Seharusnya pemerintah daerah membuat satu lembaga penampungan garam. Sebab, selama ini kami sangat sulit memasarkan garam olahan tersebut,” kata Abdullah (51), petani garam asal Gampong Cebrek, Kecamatan Simpang Tiga, kepada Serambi, Minggu (24/6/2012).
Kata Abdullah, saat ini perhatian pemerintah terhadap petani garam di Gampong Blang Paseh, Kecamatan Kota Sigli memang ada. Antara lain, membangun sumur dan bantuan dana operasional kepada petani. Namun, menurutnya ada yang lebih penting yang harus dilakukan pemerintah, yakni membuat tempat penampungan garam produksi lokal sendiri.
Karena, kata Abdullah, selama ini petani hanya menjual garam kepada pedagang keliling yang menjemput langsung ke tempat petani memproduksi garam. Pedagang keliling tersebut menjual secara enceran kepada masyarakat. Mereka menjajal garam menggunakan sepeda.
Namun sekarang ini lanjutnya, permintaan garam di tingkat pedagang keliling sudah menurun, menyusul permintaan di masyarakat berkurang. Apa lagi dengan masuknya garam impor dari luar Aceh.
“Kami sebagai petani garam disini harus mengurut dada karena minimnya permintaan menyebab garam kami tumpuk di gubuk. Setiap gubuk mampu memproduksi garam 100 kg per hari,” katanya.
Ketua Komisi D DPRK Pidie bidang kesejahteraan rakyat (kesra), Mahfuddin Ismail, mengatakan, sejatinya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pidie, melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pidie harus menciptakan terobosan untuk menampung produksi garam lokal tersebut. Baik sebuah lembaga penampung untuk memasarkan garam olahan petani di Pidie.
“Saya rasa ini salah satu strategi jitu yang semestinya dilakukan Pemkab dalam meningkatkan usaha petani garam. Sebab, selama ini mereka sulit memasarkan garam olahan mereka,” demikian Mahfud Ismail.
Baca juga: