Lukisan Kacanya Menyebar Hingga Belanda
TAHUN pertama berkarya, tidak satu pun lukisan kacanya yang terjual.
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Tarsisius Sutomonaio
TRIBUNNEWS.COM -- TAHUN pertama berkarya, tidak satu pun lukisan kacanya yang terjual. Situasi itu nyaris saja mengamini vonis orang tua dan saudara-saudara Dian Mulyadi (34) yang menilai pilihan sebagai pelukis kaca tak memiliki masa depan bagus. Sebelumnya, ia menolak untuk kuliah.
Setahun kemudian, keberuntungannya mulai bersinar. Seorang pegawai Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kota Cirebon, Iing, mengunjungi sanggarnya di Jalan Karang Jalak RT 01/06, Kelurahan Sunyaragi, Kota Cirebon. Eks Kepala Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kota Cirebon ketika itu menjadi pembeli pertama lukisan kacanya.
"Ia membeli di atas harga yang saya tawarkan. Dia bilang buat tambahan modal," ujar Dian ketika ditemui Tribun di galeri lukisan kacanya di Jalan Sunyaragi, Kota Cirebon, Selasa (12/2/2013). Pada tahun yang sama, 2004, Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kota Cirebon menyertakan Dian serta lukisan-lukisan kacanya pada pameran seni di Istana Merdeka, Jakarta.
Sejak itu, Dian mulai memamerkan lukisan-lukisan kacanya seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Ia pun mulai dikenal. Di Bali, Dian mengaku mendapat pelajaran lantaran tak semua lukisan kaca yang dipamerkan murni guratan tangan di atas kanvas. Biasanya, pembuatan lukisan kaca menempuh dua proses utama, pembuatan sketsa pada kertas putih dan penggambaran pada kaca sesuai sketsa di kertas.
Pada 2005, ia mendapat pesanan 500 lukisan kaca dari Korea Selatan. "Saya hanya diberi waktu selesai selama sebulan," katanya. Waktu itu, tentu saja, terlalu singkat untuk menempuh proses pembuatan lukisan cara murni lantaran untuk menyelesaikan satu lukisan saja butuh waktu dua hingga tiga hari. Dian memilih untuk membuat semacam sablon untuk pola-pola pada lukisan kacanya.
Bersama delapan pekerjanya, ketika itu, Dian tidak perlu menggambar pola pada kaca melainkan langsung pada pewarnaan. Lima ratus lukisan kaca pun selesai sesuai target. Namun, cara yang ia sebut sebagai produksi seni itu tidak disetujui sesama seniman lukisan kaca, terutama para seniornya. "Saya memang menyimpang tetapi saya juga melukis," ujarnya.
Dian mengaku, lukisan kaca murni yang ia buat pernah dibeli pemerintah Kabupaten Cirebon dengan harga Rp 30 juta satu lukisan. Lukisan kaca karya seni harganya mahal dan pembelinya jarang. Biasanya pembeli berasal dari high class (kelas atas). "Saya hanya mau menyesuaikan diri dengan pasar," katanya pria yang nikah lima tahun lalu itu.
Lukisan kaca berukuran 20x30 sentimeter yang ia sebut produksi seni itu dihargai Rp 100.000 termasuk bingkai. Delapan pekerjanya mampu menyelesaikan sepuluh lukisan per orang. Ia mengaku menerima omzet hingga Rp 30 juta tiap bulan. "Delapan puluh persen penghasilan dari produksi seni," ujar Dian. Sisanya, penjualan lukisan kaca murni proses guratan tangan.
Ia menyatakan produksi seni hanya dilakukan untuk lukisan kaca ukuran 20x30 sentimeter. Di galeri kecil Dian, terpampang sejumlah lukisan kaca dengan ukuran besar, 1,5x1 meter. Lukisan termahal di galeri dibanderol Rp 4,5 juta. Meski 'menyimpang', Dian mempertahankan semua motif khas lukisan kaca, seperti teknik gradasi warna, motif batik mega mendung, wadas, dan wayang cirebon.
Lukisan-lukisan kacanya tersebar ke luar negeri seperti Belanda, Thailand, dan Jepang. Dian menyenangi seni sejak kecil. Ketika berada di SMP dan SMA, Dian menggambar untuk majalah dinding sekolah. "Selepas SMA, saya mengamen dan mengumpulkan modal untuk membeli alat-alat lukisan kaca," kata pria yang mengaku menguasai semua jenis alat musik.
Masih ada beberapa pelukis kaca di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Satu di antaranya, Sujio (69). Pria asal Yogyakarta itu tetap mempertahankan keaslian proses pembuatan lukisan kaca. Dalam sebulan, dia hanya mampu menyelesaikan dan menjual rata-rata lima lukisan kaca dengan harga Rp 150.000-Rp 500.000. Lukisan kaca karya Pujio beredar sekitar Cirebon, Kuningan, Jakarta dan Bandung.
Pria yang memulai karyanya sejak 1998 itu pun mengaku lukisan kaca asli guratan tangan kalah dengan lukisan kaca yang prosesnya pembuatan melibatkan sentuhan teknologi. "Sekarang banyak yang mau yang instan-instan," ujarnya di rumahnya, di Jalan Muhammad Toha, Kota Cirebon. Selain itu, minat generasi muda pada lukisan kaca pun berkurang. Baik Dian maupun Pujio menyatakan masih banyak pembuat lukisan kaca yang lebih senior dan bagus di Kota dan Kabupaten Cirebon. (*)
Baca juga:
- Pengawasan Pajak di Bandung Kurang Optimal
- Amboi, Rieke Sempat-sempatnya Jajan Bakso Saat Kampanye
- Korban Lahar Dingin Tewas Dibawa ke RS Sarjito