Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Berikan Api, Jangan Gulingkan Periuknya

Tak dapat dimungkiri, dibanding petani-petani tembakau di tempat lain petani tembakau di

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Berikan Api, Jangan Gulingkan Periuknya
Ilustrasi demo aliansi masyarakat tembakau

TRIBUNNEWS.COM - Tak dapat dimungkiri, dibanding petani-petani tembakau di tempat lain petani tembakau di Temanggung tampaknya menjadi kelompok yang paling beruntung. Meski tembakau yang ditanam bermacam-macam jenis dan grade-nya, tapi bisa segera tampak bahwa tembakau Temanggung selalu dihargai lebih tinggi dibanding tembakau-tembakau dari tempat lain di Indonesia. Mutu yang terjamin, teknik budidaya yang baik, pengolahan pasca panen yang maju, juga hubungan yang baik dengan pabrikan membuat tembakau Temanggung selalu diserap industry. Bahkan, jika tembakau petani sangat baik, pengepul dan pedagang akan mengantrinya untuk memberikan tawaran harga terbaik.

Cerita-cerita semacam di Temanggung ini boleh dibilang sering menjadi pengecualian dalam kancah pertembakaun kita –dan karena itu, oleh para pembenci tembakau, sering diabaikan atau sengaja ditepiskan. Yang lebih banyak terjadi adalah cerita-cerita sedih –sebagaimana yang umum terjadi dan menimpa kaum petani di Indonesia.

Kita, misalnya, sering mendengar kemiskinan petani-petani tembakau di Bojonegoro yang “melegenda” itu berada di tingkat harga terbawah, juga diperberat dengan problem sempit dan tidak suburnya lahan yang dimiliki petani, juga tata niaga yang panjang berkelok-kelok membuat para petani tembakau di Bojonegoro cenderung ingin menjual lahannya. Begitulah yang diceritakan dalam kajian Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko (1991).

Dipaparkan lebih jauh, keringnya lahan yang ada di wilayah itu membuat pilihan petani jatuh kepada tembakau, satu-satunya tanaman yang bisa “menghasilkan” dalam kondisi lahan demikian sebagai penyangga kehidupan sehari-hari, yang ditanam untuk dimakan sendiri (food security), mereka mengusahakan padi dan jagung. Namun, pengairan yang jauh dari cukup dan lahan yang sempit membuat tanaman penyangga itu tak mencukupi bahkan sekadar untuk bertahan hidup, utang kepada pedagang tembakau, dengan janji pelunasan pada akhir panen tembakau, akhirnya jadi pilihan dan ujungnya jadi kebiasaan.namun, utang itu kadang menjadi sangat besar di pengujung musim panen tembakau, sehingga menjadikan mereka tak lagi berani utang untuk biaya pemrosesan dan pengeringan daun tembakau setelah petik, akhirnya, terpaksalah mereka menjual daun tembakaunya dalam keadaan basah, daun tembakau yang basah tak bisa disimpan lebih dari 24 jam. Lebih batas waktu itu, dedaun tembakau akan berair dan membusuk. Maka, dalam batas waktu sependek itu, petani harus segera menjualnya. Pedagang yang kurang baik akan memanfaatkan keadaan petani yang terjepit dan mengusahakan untuk bisa membeli tembakau petani dengan harga serendah-rendahnya (Padmo, 1991).

Kisah lain petani tembakau adalah di Demak. Di kota Wali itu diceritakan, para petani tembakau mendapat perlakuan tak menyenangkan dari para tengkulak. Tengkulak menjadi penentu harga satu-satunya, sementara petani hanya bisa pasrah saja. Sudah begitu, untuk tembakau yang dibeli, petani sering diberi uang muka sekadarnya saja. Bahkan kadang petani cuma diberi garet (semacam catatan penanda transaksi) sebagai jaminan. Garet inilah yang sering berujung pada pengemplangan (utang yang tak dibayar) oleh tengkulak pada petani tembakau (Alamsyah, 2011).

Di Madura, salah satu tanah surga bagi tembakau Indonesia, juga terdengar cerita yang kurang lebih serupa. Hampir diketahui bersama, di sana terjadi jurang ekonomi yang agak mencolok antara para petani tembakau dengan pedagangnya. Sementara para pedagang menjadi golongan sangat kaya, petani tembakau tak beranjak dari kehidupannya yang begitu-begitu saja. Bahkan kerap kali, akibat terjerat rentenir, dari tahun ke tahun mereka justru semkin miskin.

Fakta-fakta tersebut, oleh para pembenci tembakau, sering secara tendensius dieksploitasi menjadi kisah penuh air mata. Mereka sering menunjuk-nunjukkan bahwa itu bukan sebagian dari fakta yang ada pada pertembakauan Indonesia, melainkan satu-satunya fakta yang ada.

Untuk menggiring opini publik agar mengambil posisi antipati terhadap tembakau, daun tembakau diidentikkan dengan rendahnya upah buruh, ataupun hubungan eksploitatif oleh satu golongan (pedagang atau pemilik modal) dengan golongan lain (petani atau buruh tani). Sebuah penelitian yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang bernaung  di bawah universitas terkemuka di Indonesia bahkan melansir angka-angka yang nyaris seperti kisah horor, dimana dipaparkan bahwa buruh tani di pertanian tembakau hanya memperoleh pendapatan per bulan kurang dari Rp 95.000, --entah bagaimana cara menghitungnya.

Tanpa mencoba menepis bahwa masih ada hal-hal yang tak diinginkan dalam dunia pertembakauan Indonesia, harus dikatakan bahwa apa yang terjadi pada tembakau adalah gambaran apa yang terjadi pada sektor pertanian di negeri ini secara keseluruhan. Jika diibaratkan bisul, hal-hal tak diinginkan dipertembakauan bukanlah satu-satunya bisul, melainkan hanya satu dari banyak bisul yang membuat wajah sektor pertanian di Indonesia sepenuhnya menjadi bopeng-bopeng. Jadi keburukan yang ditemukan dalam dunia pertembakauan Indonesia bukannya menunjukkan buruknya pertembakauan Indonesia, melainkan buruknya sektor pertnian secara keseluruhan.

Petani yang lemah posisi tawarnya adalah lagu lama, yang juga bisa dengan mudah ditemukan pada petani untuk komoditas lainnya seperti cabe, padi, palawija, tebu, kedelai, bawang, garam, dan sebagainya. Demikian juga dengan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara petani, lebih-lebih buruh tani, dan pedagang. Tata niaga yang tidak fair? Itu bahkan menjadi semacam “cacat lahir” bagi tata niaga di hampir semua komoditas pertanian kita.

Yang orang sering lupa adalah kedudukan tembakau bagi petani di antara komoditas-komoditas pertanian lainnya. Mungkin memang bukan yang paling menguntungkan, tapi tembakau selalu menjadi komoditas yang paling diandalkan di wilayah-wilayah dimana tembakau ditanam.

Di Temanggung seperti yang telah sering disampaikan, tembakau adalah nafas kehidupan tidak hanya bagi para penanamnya, tapi juga bagi puluhan ribu orang yang bisa berharap ciptaan rezeki darinya. Mungkin tak perlu disebutkan bahwa penghasilan per bulan banyak petani di wilayah-wilayah sentra tembakau bermutu bisa sama atau bahkan melebihi para pegawai negeri sipil di kantor pajak di Jakarta. Namun, yang perlu diketahui, para perempuan pembuat keranjang di Parakan, yang tak punya lahan itu, tak akan pusing jika panen kopi tahun itu gagal, selama di akhir tahun panen tembakau di seantero Sumbing-Sindoro-Prau bisa diharapkan. Bagi mereka, kesuksesan panen kopi hanya akan dinikmati oleh para penanamnya, sementara panen tembakau bisa dinikmati oleh lebih banyak orang. Tanpa tembakau, mereka bahkan tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Demikian juga dengan pedagang tas di pasar Temanggung yang meraup omzet berlipat ganda –berkali lipat bahkan dibanding saat Lebaran—begitu panen tembakau tiba.

Dalam hal ini, cerita indah di Temanggung bukanlah satu-satunya kisah. Di balik kemiskinan para petani tembakau di Bojonegoro, tembakau adalah “Dewi Keberuntungan”, yang bisa dijadikan pegangan saat komoditas lain tak bisa diharapkan (bahkan tak bisa ditanam). Sementara, petani di Jember bahkan diledek sebagai tembakau minded, karena mereka rela meliburkan (memberakan) lahannya dari tanaman lain agar tembakau mereka pada waktunya mendapatkan tanah terbaiknya, supaya panen bisa maksimal. Itu Karena mereka cukup pintar untuk menghitung: dibanding kapuk, kopi, kelapa, bahkan cengkeh, tembakau adalah tanaman yang paling menguntungkan.

Di Pamekasan, kabupaten yang terletak di pulau yang identik dengan garam, jumlah tenaga kerja yang  tergantung kepada tembakau jumlahnya 10 kali lipat dibanding dengan yang tergantung pada garam (Alamsyah, 2011). Sementara di Sumedang, tembakau lebih disukai dibanding padi karena risikonya yang minimal. Tak seperti padi yang sering terancam puso atau harga yang anjlok, harga tembakau cenderung stabil. Jika pun tak untung besar, risiko paling buruk adalah hasil panen impas dengan modal.

Karena itu, tak mengherankan jika pada suatu masa yang paling kelam bagi kehidupan petani di negeri ini, sejarawan R.E. Elson menemukan bahwa saat Sistem Tanam Paksa belangsung, petani di Karesidenan Kedu lebih makmur justru karena mereka menanam tanaman yang tidak diprioritaskan oleh Pemerintah Kolonial. Tembakau, nama tanaman itu (Elson dalam Booth, 1988).

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved