Ibadah Haji 2012
Nikmatnya Iman di Tanah Haram (1)
Seorang ibu muda salat di udara terbuka, disirami terik matahari 45 derajat Celcius di Padang Arafah. Kulitnya yang putih mulus terlihat memerah.

Catatan Wartawan Tribun, Dahlan Dahi, dari Mekah
TRIBUNNEWS.COM, MEKKAH - Seorang ibu muda salat di udara terbuka, disirami terik matahari 45 derajat Celcius di Padang Arafah. Kulitnya yang putih mulus terlihat memerah. Matanya terlihat sembab dengan hidung kemerahan.
Sejurus kemudian, tangannya menengadah, seperti berdoa. Begitu khusuk sehingga ia tak peduli orang-orang di sekelilingnya. Ia bahkan tak peduli sinar matahari itu merusak kulit wajahnya yang indah.
Di Mina, ribuan bahkan puluhan ribu orang tidur di jalanan dekat Jamarat, berbekal roti, selimut, dan tikar seadanya.
Sinar matahari Mekah yang terik bukan halangan bagi mereka--kakek, nenek, anak muda, serta bapak paruh baya--mengejar kenikmatan iman kepada Allah.
Iman kepada Allah. Rasanya itulah yang bisa menjelaskan bagaimana sekitar tiga juta orang dari berbagai belahan dunia berkumpul di Masjidil Haram, Padang Arafah, dan Mina untuk menunaikan ibadah haji.
Mereka datang dengan biaya sendiri, berdesak-desakan, antre berjam-jam di kamar mandi, tidur beralas tikar, mandi peluh serta meninggalkan keluarga dan pekerjaan duniawi setidaknya lebih dari dua pekan untuk suatu keyakinan.
Rasanya tidak ada agama--apalagi keyakinan duniawi--selain agama Islam yang bisa menggerakkan begitu banyak orang untuk datang ke suatu tempat, memohon ampunan dosa dan meminta pertolongan Tuhan.
Saya menyaksikan semua itu dengan takjub, seperti tak percaya. Tapi apa yang saya saksikan benar-benar nyata.
Lima hari bergulat dengan ujian ketahanan fisik dan kesabaran untuk menjalankan wukuf, mabit, dan melontar jumrah.
Orang-orang meninggal, tergeletak di jalanan, menangis karena menemukan jalur hubungan spritual, dan bergerak tanpa mengenal lelah siang maupun malam demi memenuhi rukun dan kewajiban haji.
Baca Juga: