MK Tolak Permohonan Uji Materiil UU Penyiaran
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terkait masalah kepemilikan lembaga penyiaran, yang
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terkait masalah kepemilikan lembaga penyiaran, yang selama ini dimonopoli sekelompok elite pengusaha tertentu.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis MK, Mahfud MD saat membacakan amar putusan dalam persidangan yang digelar di ruang sidang gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (3/10/2012).
Dalam pertimbangannya, Majelis MK menilai, dalil para Pemohon mengenai multitafsir atas Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran sepanjang frasa “satu badan hukum” dan frasa “dibatasi”, tidak beralasan menurut hukum.
Hal itu lantaran Mahkamah berpandangan bahwa kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) sebagaimana diatur dalam Pasal 33 PP 50/2005, di samping pembatasan cakupan wilayah siaran dan kepemilikan silang sebagaimana tersebut di atas juga sudah mencakup pembatasan kepemilikan oleh perseorangan atau oleh badan hukum.
Mahkamah juga berpandangan bahwa pembatasan kepemilikan dan penguasaan LPS adalah termasuk kepemilikan atau penguasaan oleh perseorangan atau oleh satu badan hukum baik secara langsung, yang telah diatur dalam PP 50/2005, maupun secara tidak langsung, yang hanya dapat memiliki atau menguasai saham perseroan maksimum 100 persen saham untuk kepemilikan pada LPS yang pertama, 49 persen saham untuk kepemilikan pada LPS yang kedua.
Kemudian, maksimum 20 persen saham untuk kepemilikan pada LPS yang ketiga, dan maksimum 5 persen saham untuk kepemilikan pada LPS yang keempat dan seterusnya.
"Pasal 18 ayat (1) UU 32/2002 dan pemaknaannya dalam Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi. Kalau pun dalam tataran praktik terjadi penyimpangan, maka hal itu adalah persoalan implementasi norma yang bukan masalah konstitusionalitas," ucap Akil Mochtar selaku Anggota Majelis MK ketika membacakan pertimbangan hukum.
Para Pemohon juga memohon supaya Pasal 34 ayat (4)UU Penyiaran tersebut dimaknai menjadi: “Izin penyelenggaran Penyiaran dilarang dipindahtangankan dengan cara diberikan, dijual, dialihkan kepada perorangan atau badan hukum yang berbentuk Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki Izin enyelenggaran Penyiaran (IPP) juga badan hukum apapun, di tingkat manapun”.
Petitum dan dalil para Pemohon mengenai kemungkinan terjadinya multitafsir dari frasa “pihak lain” dalam Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran itu menurut Majelis MK tidak beralasan hukum dan menurut Mahkamah tidak perlu, sebab ketentuan Pasal tersebut beserta penjelasannya telah secara tegas melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran kepada pihak lain, tanpa menyebutkan dan memungkinkan adany pengecualian atau penafsiran lain.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum," kata Akil.
Dalam permohonan ini, ada dua anggota Majelis MK yang menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion, yaitu Ahmad Sodiki dan Harjono.
Para Pemohon dalam permohonoan uji materiil ini yaitu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28).
Klik: