Sabtu, 4 Oktober 2025

Kisah Inspiratif

Imam Al Hikmah New York: Islam Tidak Mengajarkan Teror

IMAM Besar Masjid Al Hikmah, New York, adalah lelaki Bugis dari Kajang, Bulukumba. Shamsi Ali lahir di desa terpencil di Kajang

Editor: Anwar Sadat Guna

Laporan Wartawan Tribun Timur, Suryana Anas

IMAM Besar Masjid Al Hikmah, New York, adalah lelaki Bugis dari Kajang, Bulukumba. Shamsi Ali lahir di desa terpencil di Kajang, 5 Oktober 1967.

Kini, dia menjadi salah satu tokoh agama terkemuka di Eropa. Posisinya sebagai Imam Islami Center New York mengantar Shamsi menjadi rujukan di Negeri Paman Sam dan sekitarnya.

Apalagi, dia juga menjabat Direktur Jamaica Muslim Centre. Pekan ini, Shamsi bertandang ke kampung halamannya. Dia mampir di Makassar. Kehadirannya disambut sejumlah lembaga untuk mengais inspirasi dari kisah sang imam.

Ilham Arief Sirajuddin juga tak menyiakan kehadiran Shamsi. Imam di negeri super power ini dijamu santap malam di Rumah Makan Bahari, Makassar, Rabu (12/9/2012).

Sambil nyantap, Shamsi bercerita pengalamannya diskusi agama dengan mantan Presiden AS George Bush dan Presiden AS Barrack Obama.

Dia kaget melihat perkembangan Makassar dan Sulsel. "Saya setelah sekian tahun meninggalkan Makassar, sekarang ini ternyata begitu maju, saya melihat perkembangan pembangunan yang lebih terarah dan keramahan masyarakat kota Makassar," kata Shamsi.

Esoknya, Kamis (13/9/2012), Shamsi didaulat berbagi pengalaman di Ruang Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Lantai 4 Gedung Rektorat Kampus 2, Samata, Gowa.

Di hadapan sivitas akademika UIN, Shamsi menuturkan kisah heroiknya sampai menembus Amerika.

Dia mengaku pernah mengemban ilmu agama di Pesantren Muhammadiyah, Gombara. Shamsi mengaku sangat senang bisa menjadi pembicara di UIN Alauddin karena dia bisa bertemu dengan teman-teman lamanya di Pesantren Gombara.

"Senang bisa dikelilingi teman lama, saya masih ingat waktu kecil saya suka main bola tidak ada sepatu. Ke sumur diteriaki oleh cewek-cewek," ujarnya mengenang masa-masa selama tinggal di pesantren.

Cerita Shamsi mengarah ke kehidupan masa kecilnya di Kajang. Pemuda Bugis dari Kajang, Bulukumba, itu adalah anak petani yang tumbuh laiknya anak kampung kebanyakan.

Shamsi dilahirkan di kalangan petani. Kedua orangtuanya minus pendidikan memadai.
"Saya di Kajang. Ayah saya petani biasa. Bahasa Indonesia saja tidak bisa. Saya suka berkelahi waktu SD. Tangan saya pernah patah. Orangtua saya bingung dengan perilaku saya. Mau jadi apa saya kalau kelakuan seperti ini," katanya.

Karena bingung dengan sikap kenakalan Shamsi, petani Kajang itu memutuskan “memenjarakan” anaknya di Pesantren Gombara, Maros.

Kebetulan ia memiliki keluarga di Makassar yang sedang menempuh pendidikan di Makassar. Dari informasi keluarganya itu, orangtua Shamsi memutuskan agar dia masuk di pesantren yang menurut istilah sebagian orang pesantren adalah "penjara suci".

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved