Blog Tribunners
Pendidikan Bukan Komoditas Bisnis
Mantan Presiden Afrika selatan, Nelson Mandela, mengatakan bahwa
Pendidikan Gratis Yang Manusiawi
Mantan Presiden Afrika selatan, Nelson Mandela, mengatakan bahwa, pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk menguasai dunia. Tentu saja, hal itu diungkapkan oleh orang yang membebaskan Afrika Selatan dari politik apartheid itu karena mengingat betapa begitu pentingnya peran pendidikan bagi kehidupan manusia. Pendidikan bisa membawa manusia yang tadinya berada di ruang gelap gulita ke ruang yang terang benderang. Dengan pendidikan, manusia bisa terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterpenjaraan pemikiran. Karena pendidikan, jiwa manusia akan tumbuh dan membuat jiwa itu merdeka.
Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam bukunya, Pendidikan Yang Memiskinkan (2004, Galang Press), Darmaningtyas menuliskan, "Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik". Dari kedua filosofi pendidikan yang dituliskan di atas, sudah cukup jelas bahwa pendidikan adalah salahsatu kebutuhan primer dalam hampir semua sendi kehidupan manusia.
Mengingat pentingnya peran pendidikan bagi kelangsungan hidup manusia, sewajarnyalah jika pendidikan menjadi hajat hidup orang banyak. Dengan begitu, perlu adanya upaya perbaikan sistem pendidikan yang ada sekarang dan internalisasi kesadaran bahwa pendidikan bukanlah komoditas bisnis.
Pendidikan, selayaknya udara, mestinya bisa dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja tanpa harus membayar. Artinya, pendidikan seharusnya gratis tanpa terjebak dalam jurang dikotomi antara kaya dan miskin. Stigma pendidikan gratis (hanya) bagi orang miskin (tidak mampu) sudah harus dihilangkan. Oleh karena, pendidikan gratis tidak hanya milik dan diperuntukkan bagi orang miskin saja. Pendidikan gratis adalah untuk semua orang.
Tidak bisa dimungkiri, pemahaman bahwa pendidikan gratis hanya diperuntukkan bagi orang miskin malah cenderung tidak manusiawi dan diskriminatif. Sekolah-sekolah terbuka yang menyelenggarakan pendidikan gratis bagi orang miskin terkesan hanya sebuah pembenaran dari pemerintah, sehingga seolah-olah pemerintah peduli terhadap nasib Si miskin. Padahal, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis hanya menjadi ajang perkumpulan para pelajar yang tidak belajar.
Di sekolah-sekolah terbuka, para pelajar tidak mendapatkan pelajaran layaknya para pelajar di sekolah-sekolah berbayar. Minimnya fasilitas pembelajaran yang didapat para pelajar di sekolah-sekolah terbuka—seperti tenaga pengajar dan fasilitas pendukung kegiatan belajar lainnya— membuat para pelajar di sekolah-sekolah terbuka hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bersantai di ruang kelas. Para pengajar yang seharusnya memiliki dedikasi untuk memberikan pelajaran kepada para pelajar—meskipun di sekolah terbuka—cenderung tidak serius dalam menjalankan tugasnya. Mungkin para pengajar merasa enggan dan malas karena mengajar di sekolah terbuka tidak mendapat bayaran dari para pelajar.
Pendidikan gratis yang diselenggarakan di sekolah-sekolah terbuka pada hakikatnya hanya mewajibkan para pelajar untuk bersekolah. Para pelajar tidak diwajibkan untuk belajar. Hal ini berakibat pada merosotnya semangat belajar dari para pelajar yang bersekolah di sekolah-sekolah terbuka. Selain itu, adanya sekolah-sekolah terbuka (gratis) membuat mental dan jiwa kreativitas para pelajarnya menjadi tumpul dan cenderung pemalu. Hal ini, salahsatunya disebabkan oleh penyematan gelar “pelajar miskin” yang kerap diterima oleh para pelajar di sekolah-sekolah terbuka.
Untuk itu, pendidikan gratis yang hanya bagi orang miskin dengan produknya, yaitu sekolah terbuka, harus segera dihilangkan karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan—yang sejatinya adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Pendidikan gratis bagi semua orang (dari segenap strata sosial) adalah solusi untuk menghindari terciptanya pelajar-pelajar yang berjiwa terjajah, bermental pengecut, dan ber-IQ jongkok. Tentunya, sekadar menggratiskan pendidikan bukanlah solusi yang tepat, melainkan harus juga dibarengi dengan penerapan sistem pendidikan yang tidak pilih kasih. Dengan begitu, pelajar yang berasal dari keluarga kaya dan pelajar yang berasal dari keluarga miskin dapat berada di satu ruang kelas dan duduk di satu meja tanpa perasaan superior atau inferior.
Pendidikan gratis mutlak milik semua orang. Dalam pendidikan tidak ada kaya dan tidak ada miskin. Apalagi jika sampai mengatakan, pendidikan gratis bagi semua orang tidak adil bagi orang miskin, karena orang (pelajar) dari golongan keluarga kaya pun dapat menikmatinya tanpa harus membayar. Kalau untuk urusan subsidi BBM atau pembagian beras miskin (raskin), mungkin bisa saja dikatakan tidak adil jika diberikan kepada semua orang. Namun, jika itu menyangkut masalah pendidikan, gratis itu mutlak dan harus bisa dinikmati oleh semua orang. Karena pendidikan bukanlah komoditas yang boleh diperjual-belikan.
Seperti ungkapan yang dinyatakan di atas bahwa pendidikan selayaknya udara, bisa dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja tanpa harus membayar. Ungkapan ini jelas bermakna bahwa pendidikan sudah seharusnya bisa dinikmati oleh siap saja, kapan saja, dan di mana saja—juga tanpa harus membayar. Kata “gratis” yang kerap disematkan kepada orang msikin—jika itu adalah pendidikan—sudah saatnya dihilangkan. Karena, dengan mengindentikkan kata “gratis”—khususnya dalam hal pendidikan—dengan orang miskin, justeru hanya akan semakin memarjinalkan orang miskin.
Salahsatu manfaat dari diselenggarakannya pendidikan gratis bagi semua orang adalah terciptanya iklim kehidupan yang sehat antara orang kaya dan orang miskin serta terciptanya persamaan kualitas pendidikan yang didapat, baik yang didapat oleh orang kaya maupun orang miskin. Dengan begitu—paling tidak—di satu bidang dalam kehidupan ini—yaitu pendidikan—tidak ada kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.
strong>Sekolah: Ajang Transaksi Bisnis
Beragam upaya dari para aktivis dan orang-orang yang peduli dengan pendidikan yang menyuarakan pendidikan gratis dan manusiawi, ternyata belum mampu menggungah para penyelenggara pendidikan di negeri ini. Ironisnya, harapan yang entah kapan akan terwujud itu, malah sangat sulit ditemukan di sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam upaya untuk memanusiakan manusia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk mengenyam pendidikan—sehingga manusia bisa terbebas dari belenggu kebodohan—malah menjadi monster seram yang selalu menghantui dan mengganggu tidur masyarakat. Sekolah sebagai salah satu tempat transfer ilmu malah menjadi sangat sulit diakses oleh orang miskin.
Melihat realitas di atas, tidak mengherankan bila sekolah-sekolah kini menjadi lahan bisnis yang amat menjanjikan. Bisnis pendidikan menjadi bisnis yang menggiurkan karena memiliki pangsa pasar yang jelas sehingga akan dengan mudah meraup keuntungan. Kecermatan dalam membidik peluang usaha pendidikan dapat terlihat dari berlomba-lombanya orang—terutama yang memiliki modal—untuk membangun gedung sekolah. Tujuannya bukan untuk mencerdaskan masyarakat, tetapi meraup keuntungan dari bisnis yang biadab ini.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.