Tribunners / Citizen Journalism
Bintang Jasa atau Sekadar Balas Jasa? Mempertanyakan Makna Tanda Kehormatan Negara
Di tengah kemegahan Istana Negara pada 25 Agustus 2025 lalu, 141 tokoh bangsa menerima tanda kehormatan dari Presiden Prabowo Subianto.
Pengorbanan, visi, dan dedikasi tanpa pamrih inilah yang menjadi standar kehormatan sejati.
Kini, dengan berat hati, mari kita sandingkan standar agung tersebut dengan realitas penganugerahan hari ini.
Baca juga: Puan dan Elite KIM Terima Penghargaan dari Prabowo di Tengah Demo Soroti DPR
Nepotisme, Loyalitas, dan Patronase
Tiga fenomena dalam daftar penerima tahun ini menjadi pusat kegelisahan.
Pertama, penganugerahan Bintang Mahaputra kepada Hashim Djojohadikusumo, seorang pengusaha terkemuka yang juga adik kandung Presiden.
Tak ada yang menampik kontribusi Tuan Hashim di bidang filantropi atau lingkungan hidup—bahkan negara pernah memberinya penghargaan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo pada 2017 dan anugerah Kalpataru pada 2014 atas jasanya di bidang lingkungan.
Namun, ketika penghargaan sipil tertinggi kedua disematkan oleh kakaknya sendiri, persoalannya bukan lagi soal jasa, melainkan etika.
Ini adalah manifestasi nepotisme yang terang-terangan, yang mengaburkan batas sakral antara negara, keluarga, dan gurita bisnis.
Ironisnya, Hashim sendiri dilaporkan merasa "tak nyaman" menerima penghargaan itu, sebuah sentimen yang seolah mengamini nurani publik.
Kedua, Letkol Teddy Indra Wijaya, seorang perwira berprestasi yang dianugerahi Bintang Mahaputera Utama.
Meski rekam jejak militernya mengagumkan, penghargaan ini diberikan atas perannya sebagai ajudan dan kini Sekretaris Kabinet.
Ini menciptakan preseden yang merisaukan: bahwa loyalitas dan efektivitas dalam melayani pemimpin secara personal kini setara nilainya dengan pengabdian institusional yang berdampak nasional.
Budaya patrimonialisme, di mana kedekatan dengan pusat kekuasaan lebih berharga daripada meritokrasi, berisiko tumbuh subur salah satunya akibat dari peristiwa simbolik ini.
Ketiga, penganugerahan masif kepada para menteri kabinet yang baru menjabat, seperti Bahlil Lahadalia yang menerima kelas tertinggi, Bintang Mahaputra Adipurna.
Argumen Istana bahwa ini didasarkan pada "prestasi 10 bulan" terasa tidak proporsional untuk sebuah kehormatan yang seharusnya merefleksikan pencapaian monumental.
Praktik ini mengubah fungsi tanda kehormatan dari pengakuan atas pengabdian seumur hidup menjadi semacam bonus kinerja bagi sekutu politik.
Ini adalah bentuk patronase yang jika dinormalisasi, akan membuat Bintang Mahaputera tak lebih dari sekadar aksesori jabatan.
Luka pada Kepercayaan Publik
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.