Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Wajah Baru TNI: Antara Kebutuhan Strategis dan Implikasi Pada Demokrasi 

Tahun 2025 menandai sebuah fajar baru yang monumental bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Editor: Dodi Esvandi
/Puspen TNI
Presiden RI Prabowo Subianto memeriksa pasukan didampingi Panglima TNI Jenderal Agus Subianto, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta kepala staf tiga matra, KSAD, KSAL, dan KSAU, dalam Upacara Gelar Pasukan dan Kehormatan Militer di Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, Minggu (10/8/2025). Pada acara tersebut, Prabowo mengukuhkan dan melantik Wakil Panglima TNI, Panglima Kopassus, Panglima Korp Marinir, Panglima Korps Pasukan Gerak Cepat, peresmian terbentuknya enam kodam baru, hingga penganugrahan jenderal kehormatan. Acara yang diikuti oleh 27.394 prajurit ini juga diisi dengan defile pasukan dan demonstrasi ketangkasan dari prajurit TNI. (TRIBUNNEWS/Puspen TNI) 

Oleh: Achmad Fadillah 
Pemerhati dan Peneliti Kebijakan Publik

Tahun 2025 menandai sebuah fajar baru yang monumental bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Di bawah arahan langsung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, militer Indonesia tengah menjalani transformasi organisasi paling luas dan mendalam sejak era Reformasi. 

Ini bukan sekadar rotasi jabatan atau penyesuaian administratif, melainkan sebuah desain ulang yang komprehensif terhadap arsitektur pertahanan negara. 

Di satu sisi, langkah raksasa ini adalah respons yang logis dan perlu terhadap dinamika geopolitik yang kian bergejolak. 

Namun di sisi lain, ia membawa serta pertaruhan besar yang akan menguji kesehatan fiskal negara dan yang lebih penting, ketahanan prinsip-prinsip demokrasi yang telah lama kita perjuangkan. 

Logika di Balik Postur Pertahanan Baru 

Secara strategis, urgensi dibalik restrukturisasi ini sulit untuk dibantah. 

Lanskap keamanan global dan regional menuntut postur pertahanan yang lebih gesit, terdistribusi, dan responsif. 

Pembentukan enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru adalah manifestasi paling nyata 
dari logika ini. 

Penempatannya bukan tanpa perhitungan: Kodam XIX/Tuanku Tambusai di Riau dan Kepulauan Riau menjadi mata dan telinga negara di Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Kodam XXII/Tambun Bungai di Kalimantan Tengah dan Selatan membentuk lingkar pertahanan vital di sekitar Ibu Kota Nusantara (IKN). 

Sementara itu, Kodam XXIV/Mandala Trikora di Papua Selatan menegaskan kehadiran negara di wilayah yang secara historis penuh tantangan keamanan.  

Di tingkat komando puncak, pengaktifan kembali posisi Wakil Panglima TNI setelah 25 tahun vakum merupakan langkah rasional untuk memperkuat soliditas dan koordinasi antar matra. 

Dengan lingkup tugas yang semakin kompleks, Panglima TNI kini memiliki deputi dengan pangkat setara untuk berbagi beban komando dan memastikan integrasi trimatra berjalan efektif. 

Transformasi ini juga menyentuh jantung kekuatan tempur TNI. 

Peningkatan status komandan pasukan elite—Kopassus, Korps Marinir, dan Kopasgat—menjadi jenderal bintang tiga bukan sekadar perubahan nomenklatur. 

Ini menciptakan sebuah eselon komando operasional baru yang lebih senior, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih ramping dan pengerahan cepat aset-aset strategis negara dalam situasi darurat. 

Langkah ini disempurnakan dengan sinkronisasi komando wilayah, dimana Kodam (AD), Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral) , dan Komando Daerah Angkatan Udara (Kodau) kini setara dipimpin oleh perwira tinggi bintang dua. 

Secara teoritis, kesetaraan struktural ini meletakkan fondasi yang jauh lebih kokoh untuk interoperabilitas dan operasi gabungan yang efektif. 

Baca juga: Kata Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman Soal Kedekatan Kejaksaan Agung dengan TNI Saat Ini

Mesin Institusional: Solusi Raksasa bagi Piramida Karier 

Namun, memandang restrukturisasi ini semata dari kacamata ancaman eksternal adalah sebuah penyederhanaan. 

Di balik cetak biru strategis ini, berdetak sebuah mesin institusional yang tak kalah kuat: kebutuhan internal TNI untuk mengelola sumber daya manusianya. 

Selama bertahun-tahun, TNI menghadapi tantangan "kegemukan" di level perwira menengah dan tinggi (top-heavy), di mana jumlah perwira senior melebihi ketersediaan pos komando yang sesuai. 

Stagnasi ini berisiko menurunkan moral dan menghambat regenerasi kepemimpinan. 

Restrukturisasi 2025 secara efektif menjadi solusi raksasa bagi masalah ini. 

Dengan membentuk puluhan jabatan bintang baru, TNI membuka sumbat jalur karier yang selama ini macet. 

Fenomena "pecah bintang" menjadi pemandangan umum, di mana ratusan kolonel senior akhirnya mendapatkan promosi menjadi Brigadir Jenderal. 

Enam posisi Komandan Grup (Dangrup) Kopassus yang kini dijabat jenderal bintang satu adalah contoh utamanya. 

Demikian pula dengan 14 posisi Komandan Kodaeral yang kini dipimpin Laksamana Muda. 

Hal ini, adalah sebuah proyek manajemen talenta berskala masif, sebuah mekanisme yang disengaja untuk menyerap perwira-perwira terbaik, menjaga piramida karier tetap sehat, dan memastikan regenerasi kepemimpinan berjalan lancar. 

Beban Anggaran dan Pertaruhan Fiskal Jangka Panjang 

Ambisi besar tak pelak datang dengan harga yang mahal. 

Tantangan pertama dan paling nyata dari transformasi ini adalah beban anggaran. 

Lonjakan pagu anggaran pertahanan hingga Rp245,2 triliun pada 2025, atau naik hampir 47 persen dari alokasi awal, hanyalah uang muka. 

Biaya sesungguhnya terletak pada keberlanjutan. 

Mengoperasikan enam Kodam baru, 14 Kodaeral, 20 Brigade, dan lebih dari 100 Batalyon Teritorial baru memerlukan investasi finansial yang masif dan berkelanjutan. 

Ini bukan hanya soal pengadaan alutsista, tetapi juga biaya personel, pembangunan infrastruktur, serta pemeliharaan dan operasional rutin yang akan membebani APBN secara permanen. 

Tanpa pertumbuhan ekonomi yang kuat dan alokasi yang konsisten, ada risiko nyata bahwa unit-unit baru ini menjadi "macan kertas"—struktur yang gagah di atas kertas namun kosong secara kapabilitas. 

Ini adalah pertaruhan fiskal yang sangat besar, yang menuntut disiplin anggaran dan perencanaan jangka panjang yang cermat agar tidak mengorbankan sektor-sektor pembangunan esensial lainnya. 

Jalan Rawan Demokrasi: Bayang-Bayang Dwifungsi 

Tantangan kedua, dan mungkin yang paling krusial bagi publik, adalah implikasinya terhadap demokrasi. 

Penamaan eksplisit unit-unit baru Angkatan Darat sebagai "Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan" (Yonif TP) telah memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil. 

Misi mereka yang secara terbuka diarahkan untuk mendukung program pembangunan nasional, seperti ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah tertinggal, berisiko mengaburkan batas antara fungsi pertahanan murni dan domain sipil. 

Kekhawatiran ini diperkuat oleh konteks yang lebih luas, terutama pasca revisi UU TNI yang memperluas jumlah kementerian dan lembaga sipil yang dapat diduduki oleh perwira aktif.  

Meskipun pemerintah, baik di eksekutif maupun legislatif, berulang kali menegaskan bahwa ini bukan kebangkitan Dwifungsi ABRI era Orde Baru, persepsi publik yang memiliki memori kolektif atas trauma masa lalu tidak bisa diabaikan. 

Ketika militer terlibat secara struktural dalam proyek-proyek pembangunan di tingkat lokal dan menduduki pos-pos birokrasi sipil, potensi terjadinya gesekan dengan otoritas sipil, kooptasi fungsi pemerintahan, dan penyempitan ruang demokrasi menjadi sangat nyata. 

Ini adalah isu kebijakan publik yang paling fundamental: bagaimana kita menyeimbangkan kebutuhan pertahanan negara yang tak terbantahkan dengan keharusan untuk menjaga supremasi sipil yang menjadi pilar utama demokrasi?
 
Epilog: Wajah Baru, Pertaruhan Lama 

Pada akhirnya, restrukturisasi TNI 2025 adalah sebuah pedang bermata dua. 

Ia menawarkan postur pertahanan yang lebih modern, kuat, dan tersebar untuk menjawab ancaman nyata di era yang penuh ketidakpastian. 

Ia juga memberikan solusi pragmatis bagi persoalan internal institusi yang telah lama berlarut. 

Namun, di sisi lain, ia menuntut komitmen fiskal jangka panjang yang luar biasa dan memaksa kita untuk menavigasi kembali area abu-abu yang sensitif dalam hubungan sipil-militer. 

Keberhasilan transformasi bersejarah ini tidak hanya akan diukur dari meningkatnya kekuatan tempur atau bertambahnya jumlah jenderal. 

Tolok ukur sejatinya terletak pada kemampuan TNI untuk tetap profesional, akuntabel, dan tunduk pada koridor demokrasi. 

Membangun perisai yang lebih kuat bagi bangsa adalah sebuah keharusan, tetapi memastikan perisai itu tidak menekan jiwa demokrasi bangsa adalah sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar. 

Indonesia kini berada di persimpangan jalan, dan pilihan yang kita ambil akan menentukan wajah pertahanan dan demokrasi kita untuk generasi-generasi mendatang. 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan