Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Signifikansi Manajemen Risiko dalam Lembaga Pendidikan

Dalam konteks pendidikan abad ke-21, yang sarat tantangan dan penuh ketidakpastian, manajemen risiko menjadi komponen krusial

|
Editor: Eko Sutriyanto
dok pribadi
Odemus Bei Witono, Pemerhati Pendidikan dan Direktur Perkumpulan Strada 

Oleh : Odemus Bei Witono, Pemerhati Pendidikan dan Direktur Perkumpulan Strada *) 

TRIBUNNNEWS.COM - Belum lama ini, Perkumpulan Strada memberikan pembekalan khusus terhadap unsur pimpinan mengenai pentingnya manajemen risiko dalam tata kelola sekolah, dengan pembicara Prof. Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS. 

Materi yang disampaikan sangat menggugah, karena membuka perspektif baru bahwa pengelolaan risiko bukan sekadar urusan teknis atau administratif, tetapi menyentuh jantung pengambilan keputusan strategis di sekolah. 

Ada hal-hal menarik yang membuat saya terdorong untuk menelusuri lebih jauh signifikansi pendekatan ini, mengingat sekolah—bila tidak dikelola secara cermat dan profesional—sangat rentan terhadap berbagai jenis risiko, baik yang bersifat fisik, sosial, keuangan, hukum, maupun reputasi. 

Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga lingkungan hidup yang kompleks, tempat nilai-nilai dibentuk, konflik muncul, dan berbagai dinamika tak terduga bisa terjadi.

Dalam konteks pendidikan abad ke-21, yang sarat tantangan dan penuh ketidakpastian, manajemen risiko menjadi komponen krusial dalam upaya menjaga mutu dan keberlanjutan layanan pendidikan. 

Sekolah selain sebagai lembaga pendidikan formal yang menjalankan kurikulum, juga institusi publik yang bertanggung jawab terhadap kelompok rentan—anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, tata kelola sekolah yang efektif harus mencakup tidak hanya pencapaian akademik dan efisiensi administratif, tetapi juga kesanggupan mengelola risiko secara sistematis dan terukur. 

Baca juga: Kunci Jawaban Pendidikan Agama Katolik Kelas 8 Halaman 21, 22, 23: Tindakan Mukjizat Yesus Bab 1

Ketidaksiapan sekolah dalam menghadapi krisis atau risiko, seperti kekerasan siswa, bencana alam, ketimpangan pembelajaran, hingga pengelolaan anggaran yang buruk, akan berdampak langsung pada reputasi, kinerja, dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tersebut.

Secara konseptual, kerangka ISO 31000:2018 menjelaskan bahwa manajemen risiko mencakup proses yang terstruktur dan komprehensif, yaitu identifikasi risiko, analisis, evaluasi, mitigasi atau penanganan, pemantauan, serta komunikasi risiko. 

Pandangan ini diperkuat oleh Robert Chapman (2006) yang menyebut bahwa manajemen risiko bukan sekadar reaksi terhadap kejadian yang tidak diinginkan, melainkan pendekatan strategis untuk melindungi nilai dan misi organisasi. 

Dalam konteks sekolah, ini berarti bahwa setiap potensi gangguan terhadap keberlangsungan layanan pendidikan—baik yang tampak maupun yang tersembunyi—harus dikenali secara dini dan ditangani secara kolektif oleh seluruh pemangku kepentingan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi risiko. Seperti dijelaskan oleh David Hillson (2004), organisasi pendidikan harus mengenali berbagai bentuk risiko, termasuk yang bersifat laten atau tidak kasat mata. 

Dalam praktiknya, sekolah perlu memetakan risiko-risiko akademik seperti ketertinggalan belajar, risiko operasional seperti kekurangan guru atau rusaknya fasilitas, risiko sosial seperti perundungan atau diskriminasi, risiko keuangan seperti penyalahgunaan dana BOS, hingga risiko hukum seperti pelanggaran hak anak. Proses identifikasi ini tidak boleh didasarkan pada persepsi personal semata, melainkan harus berbasis data dan pengalaman empirik yang dikumpulkan secara sistematis.

Setelah risiko diidentifikasi, langkah berikutnya adalah melakukan analisis dan evaluasi terhadap probabilitas terjadinya dan besarnya dampak dari setiap risiko tersebut. Menurut Douglas Hubbard (2009), pendekatan yang baik harus menggabungkan penilaian kuantitatif dan kualitatif agar keputusan yang diambil tidak berdasarkan intuisi belaka. 

Sekolah dapat menggunakan matriks risiko untuk mengelompokkan risiko-risiko menurut tingkat urgensinya, sehingga dapat disusun skala prioritas yang rasional. Tanpa proses ini, pimpinan sekolah sering kali terjebak pada tindakan reaktif yang hanya menyelesaikan gejala, bukan akar permasalahan.

Langkah selanjutnya adalah mitigasi atau penanganan risiko (risk treatment). Dalam kerangka pemikiran Merna dan Al-Thani (2011), setiap risiko yang telah dievaluasi harus diberi respons yang tepat: apakah risiko itu dapat dihindari, dikurangi, ditransfer (misalnya melalui asuransi), atau diterima sebagai bagian dari dinamika institusi. 

Misalnya, untuk mencegah risiko keamanan, sekolah dapat menyusun SOP evakuasi bencana, memasang CCTV, serta mengadakan pelatihan keamanan bagi guru dan siswa. Untuk risiko keuangan, perlu dilakukan audit internal rutin dan pelibatan komite sekolah. Penanganan yang terencana akan memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan terhadap manajemen sekolah.

Namun manajemen risiko tidak berhenti pada implementasi solusi semata. Proses yang baik harus dilengkapi dengan pemantauan dan evaluasi berkelanjutan. COSO Enterprise Risk Management Framework menegaskan bahwa risiko selalu berubah dan berkembang seiring waktu. 

Oleh karena itu, sekolah perlu membentuk sistem pemantauan adaptif, misalnya melalui pelaporan insiden rutin, evaluasi SOP, serta refleksi berkala terhadap praktik kebijakan. Sekolah yang tidak memiliki mekanisme evaluasi risiko secara reguler cenderung kehilangan daya tahan menghadapi krisis baru yang munculdari waktu ke waktu.

Di samping itu, komunikasi risiko adalah unsur yang tidak boleh diabaikan. Boehm (1991) menekankan bahwa manajemen risiko yang baik hanya dapat berhasil jika seluruh aktor dalam organisasi memahami peran mereka masing-masing. 

Dalam konteks sekolah, komunikasi ini mencakup sosialisasi kebijakan kepada guru, siswa, orang tua, dan yayasan; pelibatan aktif mereka dalam proses penyusunan kebijakan; serta keterbukaan informasi ketika risiko terjadi. Budaya sekolah yang komunikatif dan terbuka terhadap risiko akan memperkuat kohesi sosial dan mempercepat proses mitigasi saat risiko benar-benar muncul.

Lebih dari sekadar proses teknis, manajemen risiko mencerminkan budaya organisasi yang sehat dan visioner. Sekolah yang memiliki kesadaran terhadap risiko biasanya memiliki kepemimpinan yang reflektif dan berorientasi jangka panjang. 

Mereka tidak sekadar berfokus pada rutinitas administratif atau pencapaian jangka pendek, tetapi juga menyiapkan ekosistem pembelajaran yang tahan uji dan berpihak pada keselamatan serta kesejahteraan peserta didik. 

Dengan begitu, manajemen risiko menjadi bagian dari pengembangan mutu sekolah secara holistik, tidak berdiri sendiri dari upaya peningkatan akademik maupun reformasi kurikulum.

Oleh karena itu, integrasi prinsip-prinsip manajemen risiko ke dalam tata kelola sekolah bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Ini bukan urusan elite atau pimpinan sekolah saja, tetapi menjadi tanggung jawab kolektif seluruh komunitas pendidikan. 

Sekolah yang mampu mengelola risikonya dengan baik akan lebih siap menghadapi krisis, lebih adaptif dalam perubahan, dan lebih dipercaya oleh masyarakat. Dalam jangka panjang, ini menjadi pondasi bagi pembentukan sekolah sebagai institusi yang tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga berkarakter, tangguh, dan berkeadilan.

Pembekalan dari Perkumpulan Strada telah membuka kesadaran baru bahwa manajemen risiko merupakan bagian integral dari spiritualitas tanggung jawab dalam karya di lembaga  pendidikan. Ketika sekolah bersedia melihat risiko bukan sebagai musuh, tetapi sebagai realitas yang harus diantisipasi dan diolah bersama, maka lahirlah sebuah kematangan tata kelola, tanggap terhadap realitas, dan penuh integritas. 

Pendidikan berkelanjutan hanya mungkin tumbuh dalam organisasi yang siap menghadapi ketidakpastian dengan kepala dingin, hati jernih, dan sistem yang kokoh. Dalam semangat inilah, manajemen risiko ditempatkan sebagai elemen utama dalam kepemimpinan sekolah masa kini dan masa depan.

 

*) Perkumpulan Strada genap berusia 100 tahun tahun 2024 dan menjadi lembaga pendidikan Katolik yang berada di bawah naungan Keuskupan Agung Jakarta ini telah menorehkan sejarah panjang dalam membentuk generasi bangsa melalui pendidikan yang berkualitas, berkarakter, dan inklusif. 

Dengan visi "komunitas pendidikan yang unggul, peduli, dan berjiwa melayani", Strada terus berkembang menjadi pilar pendidikan Katolik yang adaptif terhadap zaman.

Perkumpulan Strada didirikan pada tahun 1924 di Batavia oleh tiga pastor Jesuit asal Belanda. Sekolah pertamanya dibuka untuk dua kelompok etnis, yakni anak-anak keturunan Eropa dan Tionghoa, melalui pendirian SD Santo Ignatius dan HCS di Gunung Sahari.

Namun, sejak awal, Strada juga menunjukkan komitmen terhadap pendidikan rakyat dengan membuka sekolah untuk anak-anak pribumi di Kampung Sawah, Pondok Gede.

Dalam perjalanannya, Strada tak hanya mendirikan sekolah-sekolah dasar, namun juga mendirikan MULO, AMS, dan turut andil dalam pembentukan Canisius College—yang kini menjadi salah satu sekolah menengah ternama di Indonesia.

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved