Tribunners / Citizen Journalism
KDM, Kebijakan Populis Bukan Segala, Tapi Juga Harus Adil
KDM menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di SMA/SMK negeri dari 36 menjadi 50 orang
Oleh: KH Imam Jazuli Lc MA
TRIBUNNERS - Kebijakan publik adalah instrumen strategis yang dapat mengubah wajah masyarakat. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit kebijakan yang lahir hanya untuk mengejar popularitas politik, tanpa analisis mendalam tentang dampaknya bagi seluruh pemangku kepentingan. Inilah yang kini terjadi di Jawa Barat sejak kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi (KDM).
Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai kontroversi.
KDM menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di SMA/SMK negeri dari 36 menjadi 50 orang.
Kebijakan itu dimaksudkan untuk mencegah putus sekolah ini memang terlihat populis di permukaan.
Tetapi, ketika ditelaah lebih jauh, kebijakan KDM justru meninggalkan persoalan serius bagi keberlangsungan sekolah swasta dan keadilan dalam ekosistem pendidikan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025.
Desain awal dari Keputusan Gubernur tersebut adalah untuk memperluas akses bagi lulusan SMP ke jenjang pendidikan menengah. Dengan logika sederhana, semakin banyak siswa yang diterima di sekolah negeri, semakin sedikit anak yang tercecer dari pendidikan formal.
Namun, di balik kesan positif itu, terdapat realitas pahit. Ribuan sekolah swasta di Jawa Barat mengalami krisis peserta didik yang mengancam keberlangsungan operasional mereka. Suara keberatan pun datang dari Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS), Jawa Barat.
Baca juga: Alasan Ketua RT Termuda Jakut Pilih Tiru Dedi Mulyadi, Bukan Pramono Anung
Data FKSS Jawa Barat menunjukkan bahwa sekitar 95 persen dari 3.858 sekolah menengah swasta di provinsi ini belum mampu memenuhi 50 persen kuota penerimaan siswa baru. Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa beberapa sekolah hanya menerima belasan bahkan kurang dari sepuluh pendaftar untuk tahun ajaran baru.
Dampak kebijakan KDM juga sangat terasa di berbagai daerah. Di Purwakarta, misalnya, 45 sekolah swasta hanya menerima antara 7 hingga 32 siswa baru.
Di Cirebon, SMK Veteran hanya mendapat 11 pendaftar. Bahkan SMA/SMK Pasundan 2 Tasikmalaya, yang pernah melahirkan atlet voli bertaraf internasional, kini hanya menerima enam siswa baru dan terancam tutup.
Sekolah-sekolah swasta tersebut, yang selama bertahun-tahun menopang sistem pendidikan nasional, kini menghadapi potensi gulung tikar karena ditinggalkan calon peserta didik yang lebih memilih sekolah negeri. Oleh karenanya, Ormas Besar seperti Muhammadiyah juga geram dengan kebijakan KDM yang ugal-ugalan.
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi pendidikan terbesar di Indonesia yang mengelola ribuan sekolah dan madrasah. Muhammadiyah menilai kebijakan KDM sebagai langkah “ugal-ugalan” karena tidak mempertimbangkan dampak sistemik pada sekolah swasta.
Perwakilan Muhammadiyah Jawa Barat berharap KDM tidak ugal-ugalan dalam membuat kebijakan, perlu menghargai perjuangan sekolah-sekolah swasta yang selama ini telah membantu negara dalam menyediakan layanan pendidikan.
Muhammadiyah juga menyoroti persoalan kualitas pendidikan bila jumlah siswa dalam satu kelas mencapai 50 orang. Jumlah yang besar semacam itu akan turut mempersulit interaksi yang efektif antara guru dan murid.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.