Tribunners / Citizen Journalism
Sekolah Rakyat: Jalan untuk ‘Wisuda’ dari Kemiskinan
Jika semua pihak bisa bersinergi, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi model kebijakan pendidikan berbasis transformasi sosial.
Oleh: Dr. Drs. Trubus Rahardiansah, M.S., S.H., M.H.
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti
TRIBUNNERS, JAKARTA - Dalam kajian pembangunan manusia, ada satu kenyataan yang kerap luput dari perhatian publik: kemiskinan bukan hanya soal kekurangan materi, tapi juga soal terbatasnya kesempatan untuk mengubah nasib.
Data Indonesian Family Life Survey (IFLS) sejak 1993 hingga 2014 menunjukkan 64,46 persen anak yang lahir di keluarga miskin akan tetap miskin saat dewasa. Ini yang disebut sebagai transmisi kemiskinan antar generasi, sebuah mata rantai tak kasat mata yang terus-menerus membelenggu jutaan keluarga Indonesia.
Sayangnya, angka itu bukan sekadar statistik. Di baliknya, ada cerita anak-anak yang berhenti sekolah karena harus membantu orang tuanya bekerja. Ada siswa yang cerdas tetapi terpaksa putus sekolah karena biaya transportasi dan seragam tak terbeli.
Data Susenas 2023 menunjukkan hampir 33% anak SMA sederajat putus sekolah, dan lebih dari 730 ribu lulusan SMP tak melanjutkan pendidikan. Mayoritas alasannya sama: faktor ekonomi.
Dalam konteks inilah, kebijakan pendirian Sekolah Rakyat menjadi terobosan strategis yang patut diapresiasi.
Baca juga: Link dan Cara Cek Pengumuman Hasil Akhir Seleksi PPPK Guru Sekolah Rakyat 2025
Bukan Sekadar Sekolah Gratis
Masyarakat perlu memahami bahwa Sekolah Rakyat bukan hanya fasilitas pendidikan gratis. Ia adalah bentuk kehadiran negara yang menyeluruh, mulai dari pembiayaan, kurikulum, hingga ekosistem pendukung.
Model boarding school 24 jam memastikan anak-anak dari keluarga miskin ekstrem tidak hanya bersekolah, tetapi tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan kondusif. Semua biaya—makan, seragam, buku, tempat tinggal—ditanggung negara sepenuhnya.
Lebih dari itu, Sekolah Rakyat mengintegrasikan pendidikan karakter, kepemimpinan, keterampilan vokasional, nasionalisme, dan pembinaan keagamaan.
Dengan demikian, ketika kelak mereka lulus, mereka tidak hanya memiliki ijazah, tapi juga bekal mental, kompetensi, dan jaringan untuk masuk dunia kerja atau pendidikan tinggi.
Yang membuat pendekatan ini lebih komprehensif, pemerintah tidak hanya memperhatikan anak yang bersekolah. Orang tua mereka pun tetap mendapat perhatian dalam bentuk bantuan sosial reguler, termasuk bantuan pangan dan program perlindungan sosial berbasis Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Bahkan, di beberapa lokasi, rumah keluarga penerima Sekolah Rakyat akan direvitalisasi atau direnovasi agar lebih layak huni.
Inilah yang membedakan Sekolah Rakyat dari intervensi pendidikan konvensional. Negara hadir bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga di rumah, memastikan kesejahteraan keluarga tetap terjaga saat anak belajar jauh dari kampung halaman.
Sebuah “Wisuda" dari Kemiskinan
Rasanya kita bisa mengatakan bahwa Sekolah Rakyat adalah proses “wisuda anak-anak miskin keluar dari kemiskinan.” Karena saat mereka lulus, bukan hanya ijazah yang mereka genggam. Tapi masa depan yang lebih terang, dan peluang untuk memutus rantai keterbatasan yang diwariskan sejak lahir.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Seleksi PPPK JF Guru Sekolah Rakyat Tahap 3 Tahun 2025 Dibuka, Ini Syarat dan Tahapannya |
![]() |
---|
Mensos Gus Ipul Dorong Kabupaten Lima Puluh Kota untuk Segera Realisasikan Sekolah Rakyat |
![]() |
---|
Puji Fasilitas Sekolah Rakyat, Prabowo Bandingkan saat Dirinya di Akmil |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Tinjau Sekolah Rakyat Menengah Atas 10, Targetkan 165 Titik September 2025 |
![]() |
---|
Tinjau Langsung, Presiden Targetkan 500 Sekolah Rakyat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.