Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Bandara Bali Utara dan Daya Dukung Bali: Upaya Menghindari Replikasi Krisis

Rencana pembangunan Bandara Bali Utara berpotensi jadi paradoks, jika tidak diawasi secara bijak bisa memperluas tekanan yang terpusatdi Bali Selatan.

|
DOK Pribadi
BANDARA BALI UTARA - Prof. Dr Diena M Lemy dan Dr. Henricus Kurniawan Elang Kusumo, Akademisi dan Pengamat Pariwisata Indonesia. Rencana pembangunan Bandara Bali Utara berpotensi menjadi paradoks, bisa jadi solusi desentralisasi pariwisata dan pemerataan ekonomi namun di sisi lain, jika tidak diawasi secara bijak, proyek ini bisa memperluas tekanan yang selama ini terpusat di wilayah Bali Selatan ke kawasan Bali Utara. 

Bandara Bali Utara dan Daya Dukung Bali: Upaya Menghindari Replikasi Krisis

Oleh Prof. Dr Diena M Lemy dan Dr. Henricus Kurniawan Elang Kusumo, Akademisi dan Pengamat Pariwisata Indonesia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Narasi “Bali, The Last Paradise” telah lama hidup dalam alam pikiran global, diperkenalkan melalui dokumenter kolonial, buku perjalanan, dan promosi wisata sejak awal abad ke-20. 

Buku berjudul Island of Bali, yang ditulis oleh Miguel Covarrubias pada tahun 1937, merupakan salah satu karya awal yang memperkenalkan Bali ke dunia sebagai The Last Paradise. Dalam karya klasik Island of Bali, tidak hanya memotret Bali sebagai pulau yang indah secara visual, tetapi juga sebagai peradaban utuh yang hidup dalam harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas. 

Sebuah simbol dari dunia yang belum terkontaminasi oleh modernitas dan kapitalisme industri. Tulisan ini dimaksudkan untuk membuka ruang berpikir analitis kritis, terhadap narasi The Last Paradise, dalam konteks rencana pembangunan Bandara Bali Utara. (bali.tribunnews.com,2025)

Bali sebagai destinasi global, menimbulkan konsekuensi tuntutan untuk terus tampil mempesona, autentik, dan tersedia tanpa batas, sebagai jawaban untuk memenuhi ekspektasi pasar wisata global. 

Pembangunan infrastruktur dan perluasan akses seperti rencana Bandara Bali Utara muncul sebagai respons terhadap tuntutan global tersebut. Bali tidak lagi dilihat sebagai ruang hidup dengan batas dan kerentanan serta kompleksitas social ekologis, di sinilah letak persoalannya, yaitu bagaimana upaya mempertahankan citra “The Last Paradise” di tengah tekanan tuntutan pasar wisata global.

Bali saat ini mengalami apa yang dalam literatur pariwisata disebut sebagai tourism-induced pressure, yaitu tekanan sosial, budaya, ekologis, dan ekonomi yang dipicu oleh aktivitas pariwisata yang melampaui kapasitas daya dukung wilayah (Gössling & Peeters, 2015), Bali kemudian menjadi tidak hanya destinasi, tetapi juga objek ekspektasi global. 

Kecenderungan yang terjadi adalah pengabaian beban ekologis, sosial, dan ketimpangan ekonomi yang berdampak pada ekosistem lokal dan struktur sosial masyarakat. Daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) Bali telah mencapai titik kritis, terlihat dari tekanan terhadap ketersediaan air dan produksi limbah yang berlebihan (Ardiyanto et al., 2024). 

Secara sosial-budaya, Bali juga menghadapi komodifikasi budaya, yaitu proses ketika elemen adat dan ritual diubah menjadi komoditas wisata, sehingga mengurangi makna sakralnya dan mereduksi kearifan lokal (Agung & Pandji, 2024) .

Lebih lanjut lagi dikemukakan pada konsep Tourism Area Life Cycle (TALC) (Butler, 1980)
bahwa destinasi pariwisata mengalami tahapan perkembangan dari eksplorasi hingga akhirnya mencapai titik stagnasi dan penurunan, bahwa destinasi pariwisata mengalami tahapan perkembangan dari eksplorasi hingga akhirnya mencapai titik stagnasi dan penurunan, terutama jika tidak dikelola secara berkelanjutan. 

Baca juga: Megawati Ngamuk Tolak Proyek Pembangunan Bandara Bali Utara

Dalam tahap stagnasi, destinasi mulai mengalami kejenuhan pasar, tekanan terhadap sumber daya semakin meningkat, dan kualitas pengalaman wisatawan menurun akibat overdevelopment dan overtourism. Bali saat ini berada di persimpangan antara stagnasi dan penurunan (declining), di mana tekanan sosial, budaya, dan ekologis semakin mengikis fondasi keberlanjutan destinasi.

Rencana pembangunan Bandara Bali Utara berpotensi menjadi paradoks : di satu sisi, keberadaan Bandara ini diharapkan menjadi solusi desentralisasi pariwisata dan pemerataan ekonomi ke wilayah utara Bali, namun di sisi lain, jika tidak diawasi dan dikendalikan secara bijak, proyek ini bisa memperluas tekanan yang selama ini terpusat di wilayah Bali Selatan ke kawasan Bali Utara.

Alih-alih menjadi upaya revitalisasi, bandara baru ini berpotensi menjadi instrumen perluasan fase stagnasi Bali ke wilayah lain, yang mempercepat tahapan penurunan (decline) dalam siklus TALC.

Laporan Bank Dunia (2021) merekomendasikan penataan ulang pembangunan pariwisata di Bali untuk meningkatkan keberlanjutan dengan berfokus pada pendekatan multi-aspek yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan, budaya, dan ekonomi. 

Hal ini melibatkan transisi dari pariwisata massal ke model yang lebih berkelanjutan yang menekankan keterlibatan masyarakat, pelestarian budaya, dan konservasi lingkungan. 

Penerapan prinsip daya dukung ekologis dan sosial harus menjadi fondasi perencanaan pembangunan Bandara Bali Utara, sehingga keberadaanya tidak hanya akan memperbesar volume wisatawan tanpa meningkatkan Kualitas Kunjungan dan Ketahanan destinasi. 

Dalam jangka panjang, hal ini akan mengancam Keberlanjutan Kawasan Bali Utara, dan berpotensi mereduksi nilai strategis pariwisata Bali secara keseluruhan sebagai model destinasi berbasis budaya dan spiritualitas.

Dalam menanggapi rencana pembangunan Bandara Bali Utara, diperlukan sikap reflektif dan kehati-hatian yang berakar pada hasil analisis empirik kritis terhadap dinamika pembangunan pariwisata Bali selama beberapa dekade terakhir. 

Pengalaman di Bali Selatan menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur pariwisata yang tidak terkendali justru menjadi pemicu krisis multidimensi, mulai dari tekanan ekologis, ketimpangan sosial, hingga komodifikasi budaya yang mengikis nilai-nilai lokal. 

Baca juga: Pemilik KMP Tunu Pratama Jaya yang Tenggelam di Selat Bali, Kapal Dibuat pada 2010

Dengan “kaca mata” Keberlanjutan, maka pembangunan Bandara Bali Utara diharapkan tidak mereplikasi krisis dengan menerapkan beberapa Pertimbangan Kebijakan:

• Pertama, penetapan batas jumlah kunjungan harus dilakukan dengan mengacu daya dukung lingkungan dan sosial wilayah utara Bali, agar pembangunan tidak melampaui kapasitas yang dimiliki oleh ekosistem dan komunitas lokal.

• Kedua, pembangunan harus mendorong pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism) yang adil, partisipatif, dan inklusif, memberi ruang bagi masyarakat lokal sebagai subjek utama yang menentukan arah pertumbuhan wilayahnya.

• Ketiga, penataan ruang yang berbasis konservasi, bukan pada komersialisasi masif yang
mengeksploitasi kawasan pesisir dan pegunungan. Wilayah Bali Utara yang masih relatif
lestari memiliki nilai ekologis dan kultural yang tidak dapat digantikan oleh keuntungan jangka pendek.

• Terakhir, perlu ada pengawasan ketat terhadap motif dan model investasi yang masuk.

Investasi untuk pengembangan destinasi harus diarahkan untuk kemanfaatan bagi masyarakat tanpa meminggirkan nilai-nilai lokal dan menyerahkan kendali atas ruang hidup kepada masyarakat setempat dengan kerangka Keberlanjutan.

Bali memang “The Last Paradise”, tetapi kita perlu mengemas ulang cara pandang dengan melihat Bali bukan hanya tentang eksotisme dan estetika, tapi juga tentang hak masyarakat untuk hidup dalam harmoni, tentang alam yang punya batas daya dukung, dan tentang kebijakan yang harus memihak pada Keberlanjutan, bukan hanya menghitung banyaknya jumlah kunjungan.

JAGA DAN RAWAT INDONESIA MELALUI PARIWISATA

Sumber Referensi :

Agung, A., & Pandji, B. (2024). THE COMMODIFICATION OF THE TRADITIONAL BALINESE
WEDDING CEREMONY IN TAMAN PRAKERTI BHUANA , GIANYAR , BALI. 17(3), 59–73.

Ardiyanto, F., Prakasa, G., & Achmadi, T. (2024). Rediscover Paradise: Elevating Bali’S Marine Tourism Through Sustainable Solid Waste Management (Sswm). Journal of Marine-Earth Science and
Technology, 5(1), 16–22. https://doi.org/10.12962/j27745449.v5i1.1069

bali.tribunnews.com. (2025). Wacana Pembangunan Bandara Bali Utara Kembali Hangat, Sutjidra:
Belum Dapat Informasi Resmi. https://bali.tribunnews.com/2025/07/01/wacana-pembangunanbandara-bali-utara-kembali-hangat-sutjidra-belum-dapat-informasi-resmi

Butler, R. W. (1980). The Concept of A Tourist Area Cycle of Evolution: Implications for Management
of Resources Change on a remote island over half a century View project. Canadian Geographer,

XXIV(1), 5–12. https://www.researchgate.net/publication/228003384
Gössling, S., & Peeters, P. (2015). Assessing tourism’s global environmental impact 1900–2050. Journal of Sustainable Tourism, 23(5), 639–659. https://doi.org/10.1080/09669582.2015.1008500

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan