Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Negara Hukum Pancasila: Formulasi Negara Berketuhanan

Dengan diterimanya Pancasila dan Sila Ketuhanan Yang Maha sebagai Dasar Falsafah Negara maka hubungan antara agama dan negara sebenarya telah selesai.

Tribun Jogja
DASAR NEGARA - Foto file yang menunjukkan lambang Pancasila berlatar belakang bendera negara Merah Putih. Dalam tulisannya di rubrik Tribunners, Bahaudin, Pemikir HTN Indonesia Public Institute (IPI) menuangkan pemikirannya terkait Pancasila sebagai formulasi dasar negara hukum yang berketuhanan. 

Negara Hukum Pancasila: Formulasi Negara Berketuhanan

Oleh: Bahaudin

Pemikir HTN Indonesia Public Institute (IPI) 

LAHIRNYA Negara Hukum Pancasila dengan Formula Negara Berketuhanan tidak bisa dilepaskan dari pribadi Bung Karno. Bung Karno melalui serangkaian pengembaraan intelektual, diskusi mendalam, korespondensi hingga polemik perihal agama dan negara telah berhasil merumuskan formula canggih bernama Pancasila, lima dasar negara yang diterima aklamasi oleh para pendiri bangsa. 

Dalam pidatonya yang monumental pada 1 Juni 1945, Soekarno menjawab permintaan Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat akan dasar negara Indonesia dalam kerangka dasar falsafah (philofische grondslag) atau pandangan dunia (weltanschauung) dengan penjelasan runtut, solid dan koheren. (Yudi Latif, 2011: 10, 40)

Dengan diterimanya Pancasila dan Sila Ketuhanan Yang Maha sebagai Dasar Falsafah Negara maka hubungan antara agama dan negara sebenarya telah selesai.

Hubungan agama dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 tidak bersifat antagonistik.

Jimly Asshiddiqie menyebut hubungan antara agama dan negara di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 adalah hubungan bersaudara (brotherly) dan juga berkeluarga (fraternally).

Sebab bangunan ketatanegaraan Indonesia menempatkan ajaran agama dan nilai-nilai Ketuhanan dalam tempat terhormat. Bahkan Jimly menyebut UUD NRI tahun 1945 sebagai Konstitusi di dunia yang paling banyak menyebut dan memuat kata-kata Tuhan dan agama. Karena itulah Jimly menamakan UUD NRI tahun 1945 sebagai The Most Godly Constitution in The World". (Jimly Asshiddiqie: 2020: 329). 

Pengakuan Negara terhadap pentingnya nilai-nilai Ketuhanan dan Agama juga tercermin jelas dengan berdirinya Kementerian Agama.

Negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu melainkan memberikan perlindungan serta melayani seluruh warga negara untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. 

Begitu juga dengan praktik bernegara. Negara telah memberikan tempat terhormat kepada umat Islam.

Pelaksanaan Syariah Islam dalam derajat tertentu secara formal telah dilakukan dalam hukum privat tertentu semisal hukum keluarga, zakat, haji, wakaf dan perbankan syariah. 

Dengan demikian, Negara Hukum Pancasila dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan Indonesia sebagai Negara Nasional Religius.

Indonesia bukan negara agama, sebab penyelenggaraan pemerintah tidak didasarkan pada agama tertentu. Indonesia juga bukan negara sekuler, bukan negara yang meminggirkan peran agama.

Bahkan penyelenggaraan pemerintahan negara didasarkan pada ajaran agama-agama luhur yang dianut bangsa Indonesia. 

Pancasila Identitas Konstitusi Berbangsa-Bernegara: UUD NRI Tahun 1945 Sebagai Konstitusi Paling Bertuhan di Dunia

Jimly Asshiddiqie, seorang ahli HTN terkemuka menyebut bahwa Pancasila merupakan identitas Konstitusi berbangsa dan bernegara.

Jimly mengutip pernyataan Guru Besar Guru Besar Melbourne University Cheryl Saunders yang berbicara banyak mengenai demokrasi dan Konstitusi. Point penting gagasan Cheryl adalah konstitusi masyarakat dunia isinya satu sama lain saling menjiplak dan mencontek. Inilah yang disebut dengan Constitutional Transplantation.

Berangkat dari realitas empiris itulah maka muncul istilah Identitas Konstitusi (Constitutional Identity), sebagai ciri khas dan pembeda antara satu bangsa dengan bangsa lain.  (Jimly Asshiddiqqie: 2020, hlm.329).  

Dan dalam konteks Indonesia, Pancasila merupakan identitas konstitusi berbangsa-bernegara.

Mengapa demikian?

Sebab Bung Karno memberi lima sila tersebut dengan nama Pancasila. Pancasila sebagai identitas konstitusi berbangsa dan bernegata secara sadar dan sengaja telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Inilah yang membedakan Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. 

Ciri lain yang menonjol dari Konstitusi bangsa Indonesia adalah mengenai hubungan agama dan negara. Hubungan antara agama dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 tidaklah bersifat antagonistik.

Jimly justru menegaskan bahwa hubungan keduanya bersaudara (brotherly) dan juga berkeluarga (fraternally). 

Jimly membangun argumentasinya berdasarkan pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditambah dengan bangunan konstitusi bangsa Indonesia yang begitu banyak memuat nilai-nilai Ketuhanan dan ajaran-ajaran agama.

Nilai-nilai Ketuhanan dan ajaran agama-agama tersebut tercermin jelas dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dan Pasal-Pasal dalam Konstitusi. Misalnya kata Allah disebut dua kali. Kata Tuhan disebut dua kali. Kata Agama disebut sepuluh kali. Kata kepercayaan disebut dua kali. Perkataan Yang Maha Esa disebut dua kali, dan kata Keimanan serta Ketakwaan disebut satu Kali.  

Oleh karena itulah Jimly menyebut bahwa UUD NRI tahun 1945 sebagai Konstitusi di dunia yang paling banyak menyebut dan memuat kata-kata Tuhan dan agama. Karena itulah Jimly menamakan UUD NRI tahun 1945 sebagai The Most Godly Constitution in The World".  (Jimly Asshiddiqqie: 2020, hlm.329).  

Sementara itu Masykuri Abdillah, Guru Besar Hukum Islam Bidang Siyasah (Fikih Politik Islam) menyebut bahwa hubungan agama dan negara di Indonesia dikategorikan sebagai hubungan persinggungan (intersectional), yang maknanya adalah hubungan persinggungan antara agama dan negara, tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak sepenuhnya terpisah.

Dalam pola hubungan semacam ini terdapat aspek-aspek keagamaan yang masuk dalam negara dan ada juga aspek-aspek kenegaraan yang memerlukan legitimasi agama.  

Oleh karena itulah, sering disebut Negara Indonesia adalah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler namun secara filosofis mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara.  (Masykuri Abdillah, 2013: 248).

Dalam praktik bernegara, pelaksanaan syariah Islam secara formal telah dilakukan dalam hukum privat tertentu semisal hukum keluarga, zakat, haji, wakaf dan perbankan syariah.

Bentuk pelaksanaan tersebut merupakan jalan tengah (middle way) diantara pihak yang mendukung pelaksanaan sepenuhnya dan menolak formalisasi Hukum Islam.

Sedangkan Bung Hatta menyebut bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Fondamen moral Pancasila.

Dengan meletakkan dasar moral, diharapkan negara dan pemerintahannya memperoleh dasar kokoh, melaksanakan pemerintahan berdasar kebenaran, keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam.

Dengan politik pemerintahan yang berdasarkan kepada moral yang tinggi, maka diharapkan tercapainya seperti yang tertulis dalam Pembukaan itu – suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (Mohammad Hatta: 2008, h 118)

Sejarah Perumusan dan Disepakatinya Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara 

Setelah reformasi tahun 1998, sudah banyak sekali buku-buku yang mengulas peran penting Bung Karno dalam perumusan dan disepakatinya Pancasila sebagai Dasar Negara.

Di antaranya adalah RM. A.B. Kusuma, dalam bukunya berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, AB. Kusuma tanpa ragu menyebut bahwa Bung Karno adalah orang pertama yang mengemukakan dasar negara sebagai Philofische Grondslag dalam sidang resmi BPUPK pada 1 Juni 1945. (RM. A.B. Kusuma: 2004, 12)

Begitu juga dengan Ahmad Basarah yang menyebut bahwa Bung Karno merupakan orang pertama yang mengkonseptualisasikan dasar negara itu ke dalam pengertian dasar falsafah (philosofische grondslag) atau pandangan komprehensif dunia (weltanschauung) secara sistematik, solid, dan koheren. (Basarah: 2017, 19)

Pendapat serupa juga disampaikan Yudi Latif. Bahwa pada 1 Juni 1945 merupakan Hari Kelahiran Pancasila.

Sebab, pada tanggal itulah Bung Karno dalam sidang resmi BPUP mengemukakan lima prinsip dasar negara dan diberinama Pancasila dan sejak itulah jumlahnya tidak pernah berubah.  

Meski demikian, untuk diterima sebagai dasar negara Pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui Perumusan Piagam Jakarta (22 Juni 1945) dan akhirnya mengalami rumusan final pada 18 Agustus 1945.

Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni 1945, melainkan versi 18 Agustus 1945. (Yudi Latif, 2011: 10, 40)

Sidang-sidang BPUPK sesi pertama (Mei-Juni 1945) menjadi arena perdebatan sengit mengenai usulan dasar negara. Jika disederhanakan ada dua usulan mengemuka.

Pertama adalah usulan Islam sebagai dasar negara dan kedua usulan mendirikan negara persatuan nasional yang tidak didasarkan pada agama tertentu.

Kedua belah pihak masing-masing kukuh dengan pendiriannya masing-masing. Tidak ada titik temu dan hampir berujung dengan jalan buntu. 

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan lima dasar bagi negara Indonesia merdeka yang diberinama Pancasila, yakni (1) Kebangsaan: (2) Internasionalisme atau Perikimanusiaan: (3) Mufakat atau Demokrasi: (4) Kesejahteraan Sosial : (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Menurut keterangan Bung Hatta, hanya Bung Karno sajalah yang bisa menjawab pertanyaan dr. Radjiman Wedyodiningrat. Bung Hatta juga menegaskan bahwa Pidato 1 Juni Bung Karno 1945 dalam sidang resmi BPUPK diterima secara aklamasi.

"Pidato 1 Juni Bung Karno bisa diterima aklamasi oleh para peserta sidang karena uraian tersebut bersifat kompromis, sehingga dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama," kata Bung Hatta. (Bung Hatta: 1989, 9)

Masih berdasarkan keterangan Bung Hatta, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Lima. Bung Hatta menyebut "Sebelum sidang berakhir dibentuk Panitia Kecil untuk merumuskan Pancasila sebagai Dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945". (Panitia Lima: Uraian Pancasil: 1984, 68-81). [1]

Dalam sejarah, Panitia Kecil itulah disebut dengan Panitia Delapan. Namun demikian, Bung Karno mengambil inisiatif membentuk Panitia Kecil lainnya, jumlahnya adalah Sembilan orang. Mereka adalah: (1) Bung Karno (Ketua): (2) Mohammad Hatta: (3) Muhammad Yamin: (4) A.A. Maramis: (5) Mr. Ahmad Soebardjo: (6) K.H. Wachid Hasjim: (7) K.H. Kahar Moezakir: (8) H. Agoes Salim: (9) R. Abikusno Tjokrosoejoso. 

RM. A.B. Kusuma menyebut bahwa perubahan komposisi dari Panitia 8 menjadi Panitia 9 dibentuk sebagai ikhtiar untuk mempertemukan pandangan antara dua golongan, Islam dan kebangsaan, menyangkut dasar kenegaraan.

Maka terjadilan perubahan komposisi antara Golongan Nasionalis dan Golongan Islam yang semula 6 berbanding 2 menjadi 5 berbanding 4. (RM. A.B Kusuma: 2004, hlm 5-21).  

Sementara itu Ahmad Basarah menyebut bahwa perubahan komposisi Panitia 8 menjadi Panitia 9 didasarkan atas penghormatan dan niat baik Bung Karno untuk menjaga keseimbangan antara Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan. (Ahmad Basarah: 2017, hlm. 13). 

Selanjutnya Panitia 9 yang dipimpin Bung Karno pada 22 Juni 1945 telah berhasil membuat rancangan Pembukaan UUD bagi Indonesia merdeka dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Dalam Piagam Jakarta itulah, Pidato 1 Juni Bung Karno dimasukkan dalam rancangan Pembukaan UUD, namun dengan perubahan urutan sila-silanya.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Sila Pertama dengan redaksi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.

Selanjutnya pada 18 Agustus 1945, konsensus dalam Piagam Jakarta diubah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Perubahan yang dimaksud adalah hilangnya tujuh kata dalam Sila Ketuhanan dari sebelumnya berbunyi “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Mengenai dihapuskannya tujuh kata dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Hatta dalam Memoir Bung Hatta dan buku Sekitar Proklamasi menjelaskan bahwa dihapuskannya tujuh kata dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa alasannya adalah untuk menjaga persatuan bangsa.  

Menurut pengakuan Hatta, sore hari sebelumnya, ia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut (AL) Jepang atas permohonan Nishijima, asisten Laksamana Maeda.

Perwira ini memberitahukan bahwa orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur sangat keberatan dengan klausul Islam (tujuh kata) dalam Pembukaan karena dianggap sebagai diskriminasi. Jika kalimat itu tetap dimasukkan, katanya, mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia. (Moh Hatta: 1970, 66).

Karena pentingnya masalah tersebut, pada pagi hari sebelum sidang PPKI dimulai, Bung Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera membahas hal tersebut. Menurut keterangan Bung Hatta rapat terbatas tersebut tidak sampai 15 menit dan para tokoh-tokoh Islam sepakat menghilangkan tujuh kata dalam dalam Piagam Jakarta.

“Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. (Moh Hatta: 1970, 66).

Akhirnya dengan disepakatinya Ketuhanan Yang Maha esa sebagai dasar pertama negara Indonesia merdeka, maka negara Indonesia bukan negara agama (atau negara satu agama) tetapi juga bukan negara sekuler yang menyingkirkan sama sekali nilai-nilai agama dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia adalah negara ketuhanan bagi semua agama dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Jimly Asshiddiqqie menyebut dengan tidak lagi dipakainya perkataan tujuh kata dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka terbuka ruang yang luas untuk tumbuh dan berkembangnya pengertian agama dan Tuhan secara inklusif, yang berlaku universal bagi semua kelompok agama dan keyakinan Ketuhanan.

Maka perdebatannya jangan terjadi lagi antara golongan Islam dan golongan non Muslim. Dalam konteks paham Konstitusionalisme, perdebatan tersebut dapat kita geser menjadi perdebaran antara paham Godly Vs Godless Constitution". (Jimly Asshiddiqie, 2020: 123)

Yudi Latif melanjutkan bahwa dengan pencoretan tujuh kata tersebut, maka moral Gotong-Royong” sebagai dasar dari Pancasila serta moral kekeluargaan sebagai dasar sistematik UUD memperoleh kepenuhannya. Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. (Yudi Latif, 2012: 38-39).

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas bisa kita pahami bahwa secara yuridis ketatanegaraan, kedudukan Pancasila terletak dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Proses perumusan dan pembentukannya dimulai dari Pidato 1 Juni Bung Karno dalam sidang resmi BPUPK, kemudian mengalami perkembangan dan perubahan susunan serta redaksional dalam naskah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang juga diketuai Bung Karno dan akhirnya mencapai rumusan final pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang juga diketuai Bung Karno.  

Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni 1945, melainkan versi 18 Agustus 1945. (Yudi Latif, 2011: 10, 40). 

Kini secara yuridis formil telah ada Keputusan resmi negara mengenai Hari Lahir Pancasila, tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.

Dalam konsideran menimbang huruf d disebutkan “sejak kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami perkembangan dan menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi teks final pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara”. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly.  Pancasila Identitas Konstitusi Berbangsa dan Bernegara (Depok: Raja Grafindo Persada, 2020). 

Basarah, Ahmad. Bung Karno, Islam dan Pancasila (Jakarta: Konpres, 2017). 

Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Masagung, 1989). 

Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, (Jakarta: Sega Arsy, 2008). 

Hatta, Mohammad. Sekitar Proklamasi, (Jakarta: Tintamas, 1970). 

Kusuma, RM. A.B.  Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia: 2004). 

Abdillah, Masykuri.  Hubungan Agama dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik di Era Reformasi, Jurnal Ahkam: Vol XIII, No. 2, Juli 2013. 

Mahfud MD, "Bung Karno dan Persenyawaan Antara Agama dan Negara di Dalam Pancasila" kata Pengantar dalam Ahmad Basarah, Bung Karno, Islam dan Pancasila, (Jakarta: Konpress, 2017).

Panitia Lima, Uraian Pancasila Cetakan Kedua, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1984), hlm 68-81.


 
[1] Panitia Lima secara resmi dibentuk oleh Presiden Soeharto pada tahun 1975. Disebut Panitia Lima karena anggota dalam panitia ini berjumlah lima orang. Mereka adalah: (1) Mohammad Hatta sebagai Ketua: (2) Prof. Mr. Achmad Soebardjo: (3) Mr. Alex Andries Maramis:: (4) Prof. Mr. Soenario dan: (5) Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo. Panitia ini bertugas menyusun tafsir Pancasila menurut para pembentuk dan perumus Pancasila

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved