Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ketika Lahan Rakyat Dikorbankan: Menyoal Pembebasan Tanah yang Tak Kunjung Diganti Rugi

Di berbagai daerah di Indonesia, fenomena pembebasan lahan yang tidak disertai mekanisme ganti rugi yang “tuntas” dirasakan masih ada

|
HandOut/IST
PEMBEBASAN LAHAN - Penulis opini, IGN Agung Y Endrawan SH MH CCFA. Praktisi Hukum, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik, Mantan Direktur Kebijakan Bakamla dan Mantan Asisten Komisioner KASN ini menyoroti soal fenomena pembebasan tanah yang tak Kunjung diganti rugi 

Ketika Lahan Rakyat Dikorbankan: Menyoal Pembebasan Tanah yang Tak Kunjung Diganti Rugi

 

Oleh: IGN AGUNG Y. ENDRAWAN SH MH CCFA

Praktisi Hukum, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik, Mantan Direktur Kebijakan Bakamla dan Mantan Asisten Komisioner KASN

 

PEMBANGUNAN infrastruktur adalah keniscayaan. Jalan raya, sungai yang dinormalisasi, dan fasilitas umum lainnya dibangun demi mengurangi kemacetan, banjir, dan meningkatkan aksesibilitas warga.

Namun di balik narasi besar pembangunan ini, ada kisah-kisah kecil yang kerap luput dari sorotan.

Kisah warga biasa yang kehilangan tanahnya, tetapi tak kunjung mendapatkan ganti rugi, penulis sendiri pernah hampir mengalami kehilangan sebagian tanahnya atas nama pembangunan.

Masyarakat yang awam tentu tidak bisa berbuat banyak, tanah yang dulu mereka pijak, kini sudah menjadi jalan umum, saluran air, atau jalur inspeksi.

Mereka hanya bisa menatapnya dari jauh tanpa kejelasan dan tanpa kepastian, meskipun tidak semua fenomena ini berakhir dengan ketidakjelasan, namun ada juga yang dengan itikad baik sesuai prosedur pengadaan tanah dan dibayarkan, tergantung dari seberapa besar tingkat pengetahuan pejabat terhadap aturan mekanisme pengadaan tanah, kualitas tertib administrasi, pengawasan melekat dan/atau potensi seberapa besar oknum dapat memanfaatkan kondisi kesempatan.

Ketika Tanah Hilang, Hak pun Raib

Di berbagai daerah di Indonesia, fenomena pembebasan lahan yang tidak disertai mekanisme ganti rugi yang “tuntas” dirasakan sebagian masyarakat masih tetap ada dan berpotensi terus berulang.

Misalnya, tanah warga digunakan untuk proyek normalisasi kali, pelebaran jalan, atau pembangunan jalur hijau dan lain sebagainya. Proyeknya selesai, manfaatnya dirasakan publik, tapi ada hak pemilik lahannya tertinggal di belakang.

Mereka masih menyimpan sertifikat yang sah, namun tidak pernah diundang dalam musyawarah, tidak pernah ditemui oleh appraisal, bahkan ada yang tidak tahu menahu bahwa tanahnya telah diambil negara untuk pembangunan.

Dari pengamatan penulis, kisah seperti ini bukan hanya terjadi di satu tempat, melainkan di berbagai wilayah.

Warga yang kehilangan tanahnya terus berjuang menagih haknya. Proyeknya telah lama selesai, namun ganti rugi tak kunjung datang.

Ada yang bertahun-tahun mereka bersurat kepada berbagai instansi, tapi yang datang bukanlah keadilan, melainkan keheningan, meskipun dalam fakta di lapangan tidak bisa dipukul rata.

Di Atas Nama Pembangunan, Aturan Dilanggar

Padahal, jika merujuk pada hukum yang berlaku, semua itu seyogyanya tidak boleh terjadi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sangat jelas menyebutkan bahwa ganti kerugian adalah hak yang melekat dan wajib diberikan sebelum tanah digunakan.

Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa penggunaan tanah oleh negara hanya boleh dilakukan setelah ganti rugi dibayarkan.

Bahkan dalam Pasal 69 - 79 mengatur teknis pengadaan tanah mengharuskan adanya penilaian oleh tim appraisal, musyawarah dengan pemilik, hingga pembayaran melalui rekening pribadi.

Prosedur ini berlaku baik dalam kondisi di mana pemilik tanah dapat diidentifikasi secara sah maupun dalam kasus di mana pemilik tanah tidak jelas atau tidak diketahui.

Untuk pemilik yang jelas, mekanismenya meliputi pemberian informasi, musyawarah, penilaian oleh appraisal independen, dan pencairan dana ke rekening pemilik.

Sementara dalam kasus pemilik tidak diketahui, atau menolak hadir, proses dilanjutkan melalui mekanisme konsinyasi di Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Konsinyasi Ganti Rugi.

Namun beberapa terdapat realita, pembangunan mendahului hukum acara pengadaan tanah.

Alih-alih memastikan hak warga terpenuhi, proyek tetap berjalan tanpa penetapan lokasi, tanpa appraisal, tanpa anggaran ganti rugi. Beberapa diantaranya, potensi pejabat berlindung di balik dalih prosedur belum lengkap.

Padahal, potensi pengambilan sepihak hak warga secara sistemik dan diam-diam dapat terjadi.

Pasal 87 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menyebutkan Jika tanah telah dimanfaatkan sebelum ganti rugi dibayarkan, maka instansi wajib segera menyelesaikan ganti rugi.

Kelalaian yang Jadi Maladministrasi dan Potensi Pidana Kearsipan

Tindakan pembiaran ini tidak bisa dianggap ringan. Dalam perspektif hukum administrasi, ini adalah bentuk nyata dari maladministrasi.

UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan bahwa pengabaian kewajiban hukum oleh pejabat publik dalam memberikan pelayanan yang merugikan masyarakat termasuk dalam kategori maladministrasi.

Sementara dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa pejabat yang tidak melaksanakan kewenangan sesuai ketentuan hukum dianggap menyalahgunakan wewenang.

Lebih jauh, jika dokumen-dokumen penting terkait pengadaan tanah, seperti hasil pengukuran, berita acara musyawarah, atau bukti pembayaran, tidak dikelola dan disimpan sebagaimana mestinya, maka hal itu juga dapat berujung pada pidana.

Berdasarkan Pasal 86 dan Pasal 87 UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, setiap pejabat yang dengan sengaja tidak menyelamatkan, menyalahgunakan, atau merusak arsip negara dapat dipidana dengan hukuman penjara atau denda.

Ini berarti, kegagalan dalam mengelola arsip pengadaan tanah yang mengakibatkan hilangnya hak masyarakat, bukan hanya berdampak administratif, tetapi juga bisa pidana.

Bayangkan, jika tanah milik warga telah digunakan untuk kepentingan umum. Sertifikat masih atas nama mereka. Namun karena tidak ada respons dari pemerintah, ganti rugi tidak dibayarkan.

Warga pun dapat kehilangan tanah, kepastian hukum, dan bahkan kepercayaan terhadap negara. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan juga potensi Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Negara Harus Hadir, Bukan Menghindar

Sudah saatnya negara mengubah pendekatan. Pembangunan tidak boleh hanya soal menyelesaikan proyek fisik, tapi juga menyelesaikan urusan kemanusiaan di belakangnya, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 2 Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dalam arti memanusiakan manusia secara adil dan ber-adab.

Gubernur sebagai kepala daerah, Walikota sebagai pelaksana teknis, dan Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, semuanya sebagai pejabat publik harus hadir melayani menjawab keluhan warga, dan mempercepat proses penyelesaian hak ganti rugi.

Dalam hal ini, peran Gubernur sesuai tingkatannya tidak dapat dianggap pasif. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 dan Pasal 22 PP No. 19 Tahun 2021, Gubernur memiliki kewenangan untuk menetapkan lokasi pengadaan tanah pada tingkat provinsi atas usulan instansi yang memerlukan tanah.

Ketika pembangunan sudah terjadi di lapangan tanpa penyelesaian hak warga, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berwenang mengoordinasikan dan memfasilitasi penyelesaian pengadaan tanah, termasuk dalam hal jika terjadi konflik atau keterlambatan, gubernur seyogyanya turun tangan untuk memastikan penyelesaiannya.

Demikian pula Kepala Daerah yang memiliki tanggung jawab konstitusional sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan pengendalian banjir (Pasal 12 dan Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2014).

Tidak ada kepastian hukum yang dapat dibenarkan jika kepala daerah hanya menjalankan sisi teknis pembangunan tetapi abai pada pemenuhan hak hukum warga yang terdampak.

Selain itu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) seyogyanya dapat bertindak dengan menggunakan hukum progresif seperti halnya KASN sebelumnya, memegang tanggung jawab moral dan administratif dalam menjaga kualitas dan profesionalitas ASN agar taat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (Pasal 2 dan Pasal 10 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN).

Bila terdapat pejabat-pejabat ASN tidak menjalankan tugasnya dalam memberikan pelayanan yang baik sesuai kewajiban hukum, maka kiranya BKN dapat melakukan tindak lanjut dengan verifikasi di lapangan secara pro aktif dan bila hasil verifikasi benar, wajib memberi tindakan administratif.

Bahkan, sangat memungkinkan BKN untuk mencatat tindakan pejabat tersebut dalam rekam jejak pada sistem SIASN (Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara), yang akan mempengaruhi jenjang karier ASN yang bersangkutan, termasuk melakukan pemblokiran terhadap pengajuan administratif, seperti usulan pangkat, permintaan penundaan mutasi dan promosi pada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), hingga pejabat yang bersangkutan menyelesaikan tanggung jawab hukumnya, dan menteri/kepala daerah pun sebagai PPK memantau rekam jejak ASN di bawahnya 

Lebih lanjut, ASN yang dengan itikad tidak baik menyalahgunakan kewenangannya juga dapat dijatuhi sanksi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Dalam pasal-pasalnya disebutkan bahwa setiap PNS wajib melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pelanggaran terhadap kewajiban atau larangan PNS dapat dikenakan hukuman sesuai dengan tingkatannya, mulai dari disiplin ringan, sedang, hingga berat, termasuk pemberhentian dengan tidak hormat.

Permasalahan pembebasan lahan yang berlarut-larut ini juga sudah semestinya menjadi perhatian pengawasan yang lebih serius.

Diperlukan usulan audit secara menyeluruh terhadap proyek-proyek pengadaan tanah yang bermasalah, tidak hanya oleh pengawas internal pemerintah daerah, tetapi juga oleh pengawas eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan/atau Ombudsman Republik Indonesia, bahkan bilamana perlu oleh Aparat Penegak Hukum.

Audit ini penting agar ada evaluasi sistemik, deteksi potensi penyimpangan, serta menjadi pendorong sanksi terhadap pelanggaran, baik administratif maupun pidana.

Diharapkan, pemerintah seyogyanya bertindak proaktif, cekatan, dan solutif menjadikan permasalahan-permasalahan seperti ini sebagai alarm moral bahwa ada rakyat yang tertinggal.

Di sinilah pentingnya pemerintah menjunjung prinsip akuntabilitas dan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam konstitusi.

Menempatkan Rakyat dalam Peta Pembangunan

Kita memang tidak menolak pembangunan. Semua sepakat mendukung proyek-proyek publik yang meningkatkan kualitas hidup warga.

Tapi pembangunan juga harus sejalan dengan tindakan manusiawi, menghormati hak asasi dalam hak milik yang telah diakui negara, selalu melibatkan warga sebagai partisipatif publik dalam menunaikan hak mereka sebagaimana negara menuntut kewajiban, sehingga antara hak dan kewajiban menjadi seimbang.

Jika tanah telah diambil dan digunakan untuk jalan, untuk sungai, untuk fasilitas publik, maka konsekuensi logis yuridisnya, negara wajib membayar hak warga yang beritikad baik yang benar-benar memiliki hak atas tanah tersebut.

Jika tidak dibayar, maka pembangunan itu bisa berubah dari kebanggaan menjadi luka yang menyayat sebagian hati masyarakat yang terdampak. Dari kemajuan pembangunan yang beriringan dengan ketidakadilan perlindungan warga negara.

Untuk itu, aturan-aturan hukum yang sudah dibuat secara lengkap, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan teknis di kementerian dan lembaga, harus menjadi pedoman dan dilaksanakan secara konsisten, karena itu bukan hiasan di atas kertas atau tontonan dalam seminar.

Ketika hak rakyat dipertaruhkan, maka semua instrumen negara wajib hadir untuk menjamin keadilan, perlindungan, dan kepastian hukum.

Mari kita bangun negeri ini, dengan pelayanan yang tulus, penuh kejujuran, itikad baik, dan perlindungan semua warga negara, dengan tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian dan kecermatan. (*/)

 

 

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved