Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Hari Lahir Pancasila

Ketahanan Budaya dalam Pemikiran Soekarno: Memaknai 80 Tahun Lahirnya Pancasila

Pancasila bukan hanya sintesis politik, tetapi gema kebudayaan yang menyatukan perasaan kolektif bangsa.

Tangkap layar kanal YouTube Sekretariat Presiden
HARI LAHIR PANCASILA - Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2023). Upacara Bendera Peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2025 di tingkat pusat dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 2 Juni 2025, pukul 10.00 WIB di halaman Gedung Pancasila, Jakarta. 

Bung Karno mengembangkan gagasan nation and character building sebagai proses pembentukan identitas bangsa yang merdeka dan bermartabat. Ia percaya bahwa bangsa yang baru merdeka harus melepaskan mentalitas inferior yang diwariskan kolonialisme. Membangun jati diri kolektif adalah pekerjaan kebudayaan.

Simbol-simbol seperti Bahasa Indonesia, Bendera Merah Putih, dan Garuda Pancasila dipilih bukan karena keseragaman, tetapi karena kemampuannya mewakili semangat kebhinekaan. Soekarno juga kerap mengutip kejayaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia pernah jaya dan dapat kembali bangkit (Noer, 1980).

Soekarno memandang Pancasila sebagai hasil sintesis historis dan sosiokultural bangsa Indonesia.

Ia menggali “mutiara” dari bumi Nusantara—nilai-nilai yang tidak hanya hidup dalam sistem sosial, tapi juga dalam hati nurani rakyat Indonesia. Konsep ini menjadikan Pancasila sebagai hasil pengendapan budaya, bukan semata hasil intelektual elitis.

Konsep Revolusi Mental dan Pendidikan Kebudayaan

Meski istilah “revolusi mental” populer di era kontemporer, Soekarno telah lebih dulu menggaungkannya dalam makna esensial. Ia menginginkan perubahan mentalitas bangsa yang sebelumnya terjajah menjadi bangsa yang merdeka secara psikologis dan intelektual. Melalui pidato-pidato, pendidikan politik, dan penggunaan bahasa rakyat, Bung Karno mengajak bangsa Indonesia untuk berdikari dan percaya diri.

Ia menekankan pentingnya pendidikan dan propaganda yang membangun karakter bangsa, dengan memanfaatkan bahasa yang membumi, visualisasi simbol-simbol kebangsaan, serta pemanfaatan media massa sebagai sarana transformasi budaya. Dalam hal ini, resonansi budaya mengambil bentuk praksis: nilai-nilai hidup dan ditanamkan dalam keseharian, bukan hanya dikhotbahkan.

Seni dan Budaya sebagai Alat Pemersatu

Soekarno memandang seni bukan sekadar ekspresi estetika, tetapi sebagai medium perjuangan dan persatuan. Ia memfasilitasi tumbuhnya kesenian tradisional sekaligus mendorong karya-karya yang bersemangat revolusioner.

Festival budaya, pertunjukan seni daerah, dan penciptaan lagu-lagu perjuangan adalah bentuk politik kebudayaan yang ia orkestrasi (Hanan, 2014).

Resonansi budaya ini menciptakan ikatan emosional yang menjembatani perbedaan suku dan bahasa.

Dengan pengalaman bersama akan keindahan budaya masing-masing, lahirlah semangat persatuan yang otentik dan tidak dipaksakan. Dalam konteks ini, kebudayaan berperan sebagai mediator sosial yang menjaga integrasi nasional.

Trisakti: Pilar Kebudayaan dalam Kemandirian Bangsa

Dalam konsep Trisakti, Soekarno mengajukan tiga pilar utama: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Pilar ketiga menjadi penekanan bahwa identitas budaya adalah benteng terhadap pengaruh asing yang dapat mengikis jati diri bangsa.

"Kita ingin menjadi bangsa yang berkepala tegak, tidak minder, dan tidak latah" (Soekarno, 1963).

Trisakti adalah visi integral yang menggabungkan kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Relevansinya semakin terasa di era globalisasi yang sarat dengan disrupsi nilai. Soekarno menekankan bahwa tanpa karakter kebudayaan yang kuat, bangsa akan kehilangan arah dan mudah terombang-ambing oleh kepentingan eksternal.

Di sinilah pentingnya konsep ketahanan budaya, yaitu kemampuan bangsa mempertahankan identitas dan sistem nilai lokal di tengah tekanan globalisasi yang massif. Ketahanan budaya bukan sekadar perlindungan terhadap warisan masa lalu, melainkan keberlanjutan narasi kebangsaan yang adaptif dan tangguh. Soekarno memproyeksikan budaya sebagai kekuatan strategis, bukan simbolik semata. Trisakti menjadikan budaya sebagai pilar daya tahan bangsa—penjaga integritas di tengah kompetisi nilai dan hegemoni informasi global.

Pancasila sebagai Platform Bersama di Era Digital

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved