Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Hari Kartini

Refleksi Hari Kartini di Era AI: Kompetisi atau Kolaborasi?

Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, momen bersejarah yang merefleksikan perjuangan emansipasi perempuan di masa kolonial

Editor: Eko Sutriyanto
dok pribadi
REFLEKSI HARI KARTINI - Kristina Elia Purba, Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) 

Oleh :  Kristina Elia Purba, Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI

“Habis gelap, terbitlah terang.”
Ungkapan legendaris ini berasal dari kumpulan surat Raden Ajeng Kartini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, terjemahan dari bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht yang berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.

TRIBUNNERS - Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, momen bersejarah yang merefleksikan perjuangan emansipasi perempuan di masa kolonial.

Dalam keterbatasan akses dan ruang gerak, Kartini menjadikan literasi sebagai senjata.

Ia membaca dan menulis, bukan hanya sebagai pelampiasan, tetapi sebagai bentuk perlawanan.

Dari situlah kesadaran muncul: gerakan perempuan yang kuat harus berakar pada semangat literasi.

Baca juga: Jika RA Kartini Hidup Saat Ini

Kartini dan Literasi: Perlawanan yang Membebaskan

Ketika membicarakan Kartini, hal pertama yang seharusnya terlintas bukan sekadar kebaya atau simbol budaya semata, melainkan literasi—kemampuan membaca, berpikir kritis, dan menulis sebagai alat perjuangan.

Lewat tulisan, Kartini menyuarakan kegelisahannya, menyusun gagasan, dan meretas batas yang dipaksakan oleh zamannya.

Sayangnya, semangat ini kini mulai kabur di tengah arus deras media sosial.

Banyak perempuan justru terjebak dalam propaganda visual yang mengejar standar kecantikan semu.

Standar ini dibentuk oleh media massa yang secara sosial dikonstruksi, sebagaimana dijelaskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann: realitas sosial dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia.

Media menghadirkan wajah-wajah ideal yang belum tentu nyata, membentuk persepsi, bahkan menghakimi yang tak sesuai dengan “standar”.

Akibatnya, banyak perempuan yang lebih sibuk menyesuaikan diri dengan tuntutan visual ketimbang membangun jati diri melalui literasi.

Gerakan emansipasi pun kian tumpul. Tanpa literasi, ketidaktahuan subur, dan dari situlah ketidakadilan tumbuh.

Tantangan Baru: AI dan Potensi Bias terhadap Perempuan

Jika dahulu Kartini menghadapi penindasan kolonial dan budaya patriarkal, kini tantangan perempuan hadir dalam bentuk yang lebih kompleks: teknologi dan kecerdasan buatan (AI).

AI—yang awalnya diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia—kini menyentuh hampir semua aspek kehidupan.

Kehadiran AI seperti ChatGPT dan berbagai platform berbasis machine learning mempercepat arus informasi.

Namun, di balik kemudahan itu, ada bahaya tersembunyi: bias data.

Data yang digunakan AI sangat tergantung pada siapa yang menyuplai informasi.

Jika mayoritas data berasal dari dunia Barat, maka rekomendasi dan analisis AI akan bias Barat. Jika didominasi oleh laki-laki, maka perspektif yang dihasilkan pun cenderung bias laki-laki.

Ini menciptakan potensi diskriminasi terhadap perempuan dalam dunia digital.

Lebih jauh, teknologi seperti deepfake semakin mengancam. Ia mampu memanipulasi wajah dan suara secara realistis, dan sudah menjadi alat untuk menyebarkan konten palsu, termasuk yang merugikan dan merusak reputasi perempuan—terutama dalam konteks pornografi digital.

Privasi dan keamanan perempuan kini tidak hanya terancam di ruang fisik, tetapi juga di ruang maya.

Literasi Digital sebagai Benteng Perempuan

Menghadapi tantangan ini, perempuan tidak bisa tinggal diam. Literasi harus dikobarkan kembali—bukan hanya literasi teks, tapi juga literasi digital.

Perempuan harus menjadi produsen pengetahuan, bukan hanya konsumen.

Mereka perlu aktif menulis, berpikir kritis, dan menjadi bagian dari ekosistem data agar AI mencerminkan keberagaman perspektif, termasuk suara perempuan.

Jika Kartini dulu menulis untuk melawan, maka "Kartini" hari ini harus menulis untuk eksis dan berpengaruh di dunia digital.

Jangan sampai platform digital yang seharusnya jadi alat perjuangan justru jadi ruang pembungkaman.

Kolaborasi atau Kompetisi?

Pertanyaan penting: apakah gerakan perempuan di era ini masih terjebak dalam kompetisi, atau sudah beranjak menuju kolaborasi?

Data Komnas Perempuan menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi yakni kekerasan seksual: 36,43 persen, kekerasan psikis: 26,94% kekerasan fisik: 26,78?n kekerasan ekonomi: 9,85%.

Data ini menjadi pengingat bahwa perjuangan belum usai. Untuk mewujudkan keadilan, semangat kolaborasi perlu dibumikan.

Gerakan perempuan tidak bisa tumbuh dalam ruang yang saling menjatuhkan.

Kita tidak bisa saling menginspirasi hanya dengan bersaing; justru kolaborasi lah yang bisa mengubah realitas.

Penelitian McKinsey menunjukkan bahwa kolaborasi dan komunikasi efektif bisa meningkatkan produktivitas hingga 20–25%.

Ini membuktikan bahwa ketika perempuan bersatu, saling mendukung, dan berbagi ide, akan lahir kekuatan yang luar biasa.

Hari Kartini bukan sekadar nostalgia atas masa lalu. Ia harus menjadi kobaran semangat untuk hari ini dan masa depan. 

Kartini bukan abu yang disimpan dalam kenangan, melainkan api yang menyala untuk menerangi jalan perempuan Indonesia di era digital, di era AI, di era perubahan besar.

Emansipasi hanya akan menjadi ilusi jika perempuan masih saling membandingkan, menjatuhkan, dan abai terhadap literasi.

Kini saatnya kita bertanya: Di era AI ini, akankah kita terus berkompetisi… atau mulai berkolaborasi?

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved