Tribunners / Citizen Journalism
Gempa Bumi, Idul Fitri dan Tali Silaturahmi
Di bulan Ramadhan ini, tindakan kemanusiaan jelas lebih berkenan kepada Tuhan ketimbang melontarkan ucapan yang membuat hati tertikam.
Xavier Quentin Pranata, kolumnis dan penulis buku.
Belum lama setelah saya dan anak saya berbuka puasa, saya menghabiskan waktu di ruang keluarga. Setelah menyelesaikan satu film di Netflix, di saluran YouTube saya menyaksikan gempa M 7,7 yang melanda Myanmar yang merembet ke beberapa negara tetangga, yang terparah Bangkok, Thailand.
Kerusakannya sungguh masif. Hati saya menangis saat melihat seorang bocah tak berdaya sedang ditolong petugas.
Ratusan lainnya diperkirakan tewas dan perkiraan yang terbesar adalah runtuhnya pencakar langit 30 lantai yang sedang dalam proses pembangunannya.
Mayoritas korban pekerja konstruksi.
Inilah ujian nurani bagi setiap makhluk insani. Reporter AFP melihat Kepala Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing di sebuah rumah sakit di Naypyidaw. Di ibukota Myanmar inilah para korban dirawat. Junta militer meminta bantuan internasional setelah kondisi darurat di enam wilayah yang terdampak paling parah. Orang Indonesia yang terkenal dermawan pasti tidak terganggu dengan demo tolak UU TNI yang marak di tanah air.
Survei World Giving Index (WGI) oleh Charities Aid Foundation (CAF) menunjukkan bahwa Indonesia konsisten dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia, dengan masyarakatnya yang aktif dalam donasi dan kegiatan sukarela.
Nurani yang jernih memang bisa membedakan mana yang perlu ditolong dan politikus mana yang perlu dikritisi. Saya percaya, sebelum kepala junta militer di Myanmar minta bantuan, rakyat Indonesia sudah siap berbagi di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja. Kebijakan boleh dikritisi, persaudaraan sesama warga negara tetap perlu dijaga. “Saudara yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat, dan pertengkaran adalah seperti palang gapura sebuah puri,” ujar Raja Sulaiman atau Salomo atau Solomon.
Apa yang dilakukan oleh Donald Trump tentang kebijakan tarif impornya membuat beberapa negara tetangga meradang, termasuk tetangga terdekatnya: Kanada. Mereka beramai-ramai melakukan tindakan balasan. Perdana Menteri Kanada merasa sangat terpukul dengan kebijakan Trump ini. “Hubungan lama kita dengan AS yang berdasarkan pada pendalaman integrasi ekonomi, kerja sama keamanan dan militer yang ketat kini telah berakhir,” ujar Mark Carney saat menemui pendukungnya di Grand Quay of the Port of Montreal, (The Guardian, 18/3). “Tidak akan ada jalan kembali,” tambahnya.
Pertanyaan keras PM Kanada ini mengingatkan saya akan kedekatan hubungan AS-Kanada. Saat diundang bicara di New York pada pagi harinya, selesai bertugas, saya mendapat telepon dari seorang pemimpin umat di Toronto yang mengundang saya bicara sore harinya. Jarak AS-Kanada yang begitu dekat—apalagi kalau dilakukan lewat udara—memungkinkan saya untuk sarapan pagi di Amerika dan makan siang di Kanada.
Namun kedekatan wilayah belum tentu berbanding lurus dengan kesamaan marwah. Kedekatan geografis tidak selalu sejalan dengan kebijakan politis. Kesamaan rumpun tidak otomatis membuat dua negara mudah berhimpun. Apalagi jika dibarengi sentiment pribadi yang sudah lama tertimbun. Kita tentu tidak lupa dengan Perang Kemerdekaan AS (1775-1783) yang dibarengi dengan invasi ke tetangga sendiri. Paling tidak peristiwa itu masih membekas di hati orang-orang Kanada.
Ketika berada di Kanada untuk tugas bicara dua minggu, seorang sahabat mengantar saya keliling wilayah di seputar British Columbia. Begitu masuk mobil, saya melihat ada 3 gadget yang semuanya buatan Korea dan Tiongkok. “Kok tidak pakai Apple?” tanya saya saya yang dibalas dengan lekukan bibir sinis dan ucapan sarkas, “Buat apa membeli produk dari negara yang arogan?” Saya yang memang pakai Iphone dan Ipad hanya bisa tersenyum sendiri.
Api dalam sekam ini disulut lagi dengan ucapan Donald Trump saat kampanye dulu. “Bisa saya katakan, kami membutuhkannya (Greenland) untuk kedaulatan ekonomi. Grinlandia adalah tempat yang luar biasa, dan rakyatnya akan sangat diuntungkan jika dan ketika Grinlandia menjadi bagian dari negara kami. Kami akan melindunginya, dan menghargainya dari dunia luar yang sangat ganas. Make Greenland Great Again,” ujarnya.
Di bulan Ramadhan ini, tindakan kemanusiaan jelas lebih berkenan kepada Tuhan ketimbang melontarkan ucapan yang membuat hati tertikam. Menjelang Idulfitri, bukankah jauh lebih baik kita memurnikan kembali hati nurani agar hidup kembali fitri?
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.