Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Kanselir Scholz Ingin Bujuk China? Misinya Tidak Akan Berhasil

Kanselir Jerman Olaf Scholz berkunjung ke China, guna membahas hubungan ekonomi dan mendiskusikan masalah politik global Eropa dan dunia.

SERGEI SUPINSKY / AFP
Presiden Prancis Emmanuel Macron berjabat tangan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (kiri) diapit oleh Perdana Menteri Italia Mario Draghi (kiri) dan Kanselir Jerman Olaf Scholz (kanan) di Istana Mariinsky, di Kyiv, pada 16 Juni 2022. 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Kanselir Jerman Olaf Scholz selama tiga hari berada di China, untuk kunjungan resmi kenegaraan.

Ia akan bertemu Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li  Qiang, yang mengundangnya.

Kunjungan ini dilakukan di tengah situasi runyam di front Eropa dan Timur Tengah, saat dua kutub kekuatan dunia beradu posisi dan pengaruh.

Konflik Ukraina di satu sisi menyeret Jerman ke situasi sulit dan cenderung bermusuhan dengan Rusia. Sisi lain konflik Israel-Palestina turut menyeret Iran ke pusaran masalah.

Jerman sebagai kekuatan ekonomi terkuat di Eropa ada di simpang jalan. Kepemimpinan Olaf Scholz membawa Berlin untuk menyokong Ukraina.

Hegemoni AS lewat NATO terlampau kuat untuk ditentang Jerman, meski kerugian besar diderita ekonomi Jerman.

Industri Jerman adalah konsumen terbesar sumber energi Rusia. Bertahun-tahun mereka ditopang minyak dan gas murah yang dikirimkan Moskow.

Proyek raksasa Nord Stream-1 pun lahir melintasi Eropa timur, dan sangat menguntungkan kedua pihak. Dilanjutkan Nord Stream-2 yang kali ini langsung terhubung ke Jerman.

Perang Ukraina mengubah segalanya. Nord Stream-2 disabot. Pipa dasar lautnya di perairan Swedia diledakkan oleh tim khusus Angkatan Laut AS.

Jerman terjepit, dan tokoh ‘hawkish’ di pemerintahan Scholz akhirnya mendorong partisipasi Jerman dalam pertempuran darat Ukraina-Rusia.

Baca juga: Kanselir Scholz ke Israel: "Jerman Berada di Sisi Anda"

Baca juga: Hindari Perang dengan Rusia, Scholz: Jerman Tak akan Tempatkan Pasukan di Ukraina

Berlin mengirimkan bantuan senjata dan Leopard-2 ke Kiev. Mereka juga melatih tentara Ukraina yang jadi awak tank tempur berat itu.

Jerman di tangan Olaf Scholz terlibat sangat dalam di Ukraina. Dua menterinya, Menlu Annalena Baerbock dan Menteri Ekonomi Robert Habeck adalah penganjur permusuhan terhadap Rusia.

Kanselir Jerman Olaf Scholz menghadiri Global Solutions Summit di Berlin, Jerman, pada Senin (15/5/2023). Olaf Scholz mengakui adanya standar ganda Barat terhadap Rusia atas invasi di Ukraina.
Kanselir Jerman Olaf Scholz menghadiri Global Solutions Summit di Berlin, Jerman, pada Senin (15/5/2023). Olaf Scholz mengakui adanya standar ganda Barat terhadap Rusia atas invasi di Ukraina. (Bundeskanzler Olaf Scholz)

Lantas apa misi Olaf Scholz ke Beijing?  

Kunjungannya yang didampingi para petinggi raksasa industri Jerman adalah sinyal Scholz ingin menjaga iklim bisnis investasi Jerman-China.

Ada petinggi Mercedes, Siemens, BMW, akan mengiringi misi Scholz. Tapi agenda Scholz pastinya lebih dari itu, dan dianggap ambisius.

Kanselir Scholz ingin melihat dari dekat upaya yang bisa dilakukan Jerman dalam konteks politik iklim, ketegangan terkait Taiwan, perang di Ukraina, dan hubungan Beijing dengan Rusia.

Ia pun juga berkepentingan mendekati China terkait kedekatannya dengan Iran dan posisinya dalam konflik Palestina.

Dalam konteks perdagangan internasional, bagaimanapun Jerman ada di barisan Washington yang mengobarkan perang dagang melawan Tiongkok.

Barisan barat ini terus-menerus mengancam akan melakukan perang ekonomi yang lebih parah guna menghentikan superioritas China di sektor ekonomi.

Scholz mengekor kunjungan Menteri Keuangan AS Janet Yellen ke Beijing belum lama ini, yang secara lugas membawa daftar tuntutan untuk meredam politik dumping China.

Uni Eropa pun mencerminkan garis yang sama dengan Washington. Suara politik Uni Eropa sama kerasnya terhadap Rusia dan China.

Kelompok radikal Uni Eropa dipimpin Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, yang dulunya adalah Menteri Pertahanan Jerman.

Komisi UE meningkatkan retorika dan tindakan anti-Tiongkok, yang dalam bahasa politiknya mereka sebut sebagai mitra kerja sama, pesaing ekonomi, dan saingan sistemik.

Produk-produk manufaktur China diselidiki, terutama produk kendaraan listrik, turbin angin, dan peralatan medis. Ini jelas menunjukkan respon atas kompetisi dan persaingan dalam ekonomi.

Tapi di sisi lain, para pebisnis Jerman paham, mereka tidak mampu menanggung kebijakan konflik dan agresifitas politik berkepanjangan.

Seorang eksekutif tingkat tinggi di Siemens memperingatkan, memotong manufaktur Tiongkok akan memakan waktu puluhan tahun.

Ini bahasa lain untuk mengatakan, ide itu sangat buruk bagi Jerman. Industri Jerman sangat terpukul ketika pasok migas Rusia dihentikan, dan mereka tak ingin mengulang kesalahan kedua kalinya.

Olaf Scholz barangkali tipe seorang oportunis yang melakukan kesalahan, akibat hegemoni AS yang sulit ditahan sebagai penggerak utama kekuatan NATO.

Bagaimanapun secara historis Jerman masih menanggung beban masa lalu, sebagai pihak yang dikalahkan dalam Perang Dunia II.

Dalam posisinya sekarang, Scholz berusaha untuk berbaik-baik dengan Tiongkok, sekaligus mencoba mencari jalan menahan China di Ukraina maupun Timur Tengah.

Beijing membaca Scholz bukan seorang yang terlalu agresif. Opini media Global Times yang dikendalikan Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok menyuarakan pandangan itu.

Apakah misi Scholz akan berhasil? Apakah pengaruhnya kuat di mata Tiongkok?

Tampaknya di mata Beijing, Scholz dan Jerman akan dipandang biasa saja. Kolumnis Russia Today, Tarik Cyril Amar, memaparkan secara baik bagaimana hubungan Jerman-China dan kiprah Olaf Scholz.

Cyril Amar adalah sejarawan dari Jerman yang bekerja di Universitas Koç, Istanbul. Spesialisasinya tentang Rusia, Ukraina, Eropa Timur,dan  sejarah Perang Dunia II.

Jerman dan kanselirnya menurut Tarik Cyril Amar dinilai tidak memiliki kedudukan dalam politik internasional.

Pengaruh Jerman dalam hubungannya dengan Tiongkok pun juga dilihat tidak terlampau signifikan.

Secara ekonomi, hubungan Tiongkok-Jerman memang sangat besar dan kompleks. Banyak faktor yang penting; terdapat beberapa indikator yang relevan.

Misalnya investasi asing langsung di China, meski saat ini menurun.

Namun volume perdagangan secara keseluruhan cukup untuk menunjukkan Jerman tidak dapat bernegosiasi dengan Beijing dalam posisi yang kuat atau bahkan setara.

Data ekspor 2023 menunjukkan China masih menjadi mitra dagang terbesar Jerman, seperti yang dicatat oleh Bloomberg.

Hal ini bukanlah hal yang aneh di dunia saat ini: sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, Tiongkok adalah mitra dagang utama 120 negara.

Tiongkok juga merupakan mitra dagang (eksternal) terbesar bagi Uni Eropa secara keseluruhan.

Namun, dari sudut pandang Tiongkok, Jerman hanya menempati peringkat ke-8 tujuan ekspor, kalah dibandingkan AS, Jepang, dan bahkan dengan Vietnam.

Semua hal di atas tidak berarti hubungan ekonomi dengan Berlin tidak penting bagi Beijing. Hubungan tersebut lebih penting lagi bagi Berlin.

Di antara aktor-aktor rasional, pola saling ketergantungan seperti itu menjadi alasan dilakukannya kerja sama.

Jika ada pihak yang lebih berhak dalam hal ini, maka itu adalah Tiongkok, yang mungkin telah mencoba untuk memberi sambutan simbolik ke Jerman.

Di kota manufaktur utama Chongqing, Scholz dan rombongan hanya disambut Wakil Wali Kota Chongqing.

Level pejabat yang menyambut kedatangan Kanselir Jerman ini memperlihatkan bagaimana Beijing samar-samar memperlakukan Scholz.

Jerman berdasar data IMF berpenduduk kurang lebih 84 juta jiwa, sedangkan Chongqing sebagai satu di antara kota besar di China berpenduduk lebih dari 30 juta jiwa.

Proyeksi pertumbuhan PDB Jerman tahun ini turun hampir mencapai nol (0,5 persen), sementara Tiongkok yang berpenduduk 1,4 miliar jiwa, PDB-nya diperkirakan tumbuh 4,6 persen.

Perbandingan ini memperlihatkan betapa lebih superiornya China dibanding Jerman, yang masih jadi penopang industri di Eropa.

Kanselir Jerman dalam konteks ini menunjukkan perannya yang lemah karena masalah ekonomi. Hanya ada satu cara untuk memainkannya dengan baik, dan itu melibatkan politik.

Scholz dapat memberikan ruang untuk bermanuver bagi Jerman jika dia melakukan apa yang diisyaratkan pesan Global Times yang menyuarakan keinginan Beijing.

China ingin melihat Jerman dan Sholz menunjukkan otonomi, membuat sedikit jarak antara dirinya dan kelompok garis keras yang mendominasi Washington dan Brussels (Uni Eropa).

Apakah Scholz berani bersikap, mengingat kemanfaatan ekonomi bagi Jerman untuk berbaik-baik dengan Beijing, rasanya masih sulit.

Tapi pesan di Foreign Policy memperingatkan, tanpa Jerman, maka pendekatan keras oleh Uni Eropa tidak akan pernah berhasil.

Tanpa UE yang mematuhi kebijakan ini, permainan Washington juga akan menjadi jauh lebih menantang.

Kanselir Jerman Olaf Scholz (tengah) mendengarkan di depan tank tempur utama Leopard 2 milik angkatan bersenjata Jerman Bundeswehr selama kunjungan pasukan Bundeswehr Jerman selama latihan di lapangan militer di Ostenholz, Jerman utara, pada 17 Oktober 2022.
Kanselir Jerman Olaf Scholz (tengah) mendengarkan di depan tank tempur utama Leopard 2 milik angkatan bersenjata Jerman Bundeswehr selama kunjungan pasukan Bundeswehr Jerman selama latihan di lapangan militer di Ostenholz, Jerman utara, pada 17 Oktober 2022. (Ronny HARTMANN / AFP)

Itulah peluang dan kekuatan yang ada yang bisa dimanfaatkan Sholz: kekuatan untuk menyeimbangkan dan bermain di kedua sisi.

Sayang, Kanselir Scholz punya banyak keterbatasan. Dia bukan Bismarck yang hebat dalam sejarah Jerman.

Scholz kerap dianggap kanselir yang paling ceroboh, karena begitu tunduknya kepada AS. Dia kanselir paling  lemah dalam sejarah Jerman pasca-Perang Dunia II.

Kanselir Scholz hanya menyeringai ketika Presiden Joe Biden yang ditemuinya lantas mengumumkan AS akan menghancurkan jaringan pipa Nord Stream-2, jika diinginkan.

Ketika itu benar-benar terjadi, Jerman dan kanselirnya tidak berbuat apa-apa dan terus tersenyum.

Di bawah kepemimpinan Scholz, Berlin menjadi klien sempurna bagi AS.

Oleh karena itu, tidak ada siang hari yang nyata antara Berlin dan Brussel. Orang Jerman ultra-Atlantik lainnya, Ursula von der Leyen, menjalankan misi itu di Komisi Eropa.

Benar, beberapa pengamat berspekulasi Jerman secara licik mengambil jalan pintas, namun hal tersebut tidak berarti apa-apa, secara absolut, bagi Beijing.

Masalah ketergantungan juga membawa kita pada ironi terakhir dari kunjungan Scholz.

Kanselir Jerman memberitahukan ia bermaksud menantang Beijing mengenai kebijakannya terhadap Rusia dan juga perang di Ukraina.

Intinya, Scholz tampaknya percaya tugasnya – dan merupakan haknya – adalah mendesak Tiongkok untuk melonggarkan hubungannya dengan Rusia.

Ia berusaha mendesak China untuk mendukung usulan barat yang tidak realistis, untuk mengakhiri perang di Ukraina tanpa mengakui Rusia yang memenangkan perangnya.

Ada dua hal yang salah dengan sikap Scholz yang sangat tuli nada ini.

Pertama, Jerman maupun UE tidak berada dalam posisi untuk mengajukan permintaan seperti itu kepada Beijing.

Mereka tidak mempunyai argumen atau kekuatan untuk mendukungnya.

Dalam kasus seperti ini, tindakan yang lebih bijaksana dan bermartabat adalah dengan berdiam diri.

Kedua, yang kurang jelas, siapakah Scholz yang mencoba ikut campur dalam kemitraan antara Moskow dan Beijing.

Ketiga negara ini telah menjalankan kemitraan yang ditandai rasionalitas dan penghormatan terhadap kepentingan nasional masing-masing.

Selama Jerman menawarkan kepatuhan yang tidak perlu dipertanyakan lagi dan tidak rasional kepada Washington, tidak ada seorang pun yang akan tertarik dengan nasihatnya.

Itulah ironinya. Kunjungan Scholz, pada dasarnya, merupakan hasil dari fakta barat belum mampu membujuk Tiongkok.

Apakah situasinya segera akan berubah? Tergantung penerus Scholz nantinya. Mungkin pengganti Scholz lebih baik dan akan berbaik-baik dengan Moskow.

Dia mungkin akan terbang ke Moskow, melakukan hal sama yang dilakukan Scholz di Beijing. Tapi hasilnya pasti sama; Rusia takkan bisa dibujuk.

Dengan demikian sangat jelas, bagi Jerman, Beijing tetaplah relevan dan dibutuhkan.

Lebih-lebih Rusia, yang bertahun-tahun membuktikan hubungan baik Berlin-Moskow jauh lebih menguntungkan.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved