Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Mewujudkan Pemilu yang Merekatkan Bangsa

Selain sebagai wujud nyata demokrasi, Pemilu merupakan jalan peralihan kekuasaaan yang damai.

Kompas/Mahdi Muhammad
Ilustrasi Pemilu 

TRIBUNNERS - Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu perwujudan nyata negara demokrasi yang dianut Indonesia.

Indonesia menganut sistem negara demokrasi sesuai kesepakatan para pendiri bangsa (the founding fathers) yang tertuang dalam Pancasila yakni sila ke-4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Sistem Demokrasi menjamin kuasa rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan arah kemajuan dan kebijakan pemerintahan.

Dimana dengan berdaulat, rakyat mampu memilih dan menentukan pilihan terhadap siapa yang akan memimpin pemerintahan baik di eksekutif ataupun legislatif melalui sarana Pemilu.

Penyelenggaraan Pemilu dijamin oleh undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.

Dengan adanya UU Pemilu, maka segala hal yang menyangkut mengenai aturan dan mekanisme penyelenggaraan Pemilu diatur dengan sedemikian detail dan terperinci.

Selain sebagai wujud nyata demokrasi, Pemilu merupakan jalan peralihan kekuasaaan yang damai.

Dalam sistem pemerintahan monarki atau kerajaan di masa dahulu, tak jarang peralihan kekuasaan berujung pertumpahan darah dan perpecahan.

Pertumpahan darah dan perpecahan itu kemudian melahirkan konflik berkepanjangan.

Ujungnya terjadi perpecahan wilayah sebagai konsekuensi negosiasi politik yang pada akhirnya membuat pemerintahan itu semakin lemah.
Bahkan tidak sedikit yang bubar atau ambruk.

Karena itu, Pemilu sebagai instrumen proses peralihan kekuasan yang damai harus terus dijaga dan dipelihara.

Hal ini dapat dilakukan apabila seluruh komponen bangsa memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya Pemilu yang damai.

Mental siap menang dan siap kalah dalam Pemilu harus tertanam utamanya bagi peserta Pemilu seperti elit partai politik dan calon presiden atau calon wakil presiden.

Meski sudah berulang kali menggelar Pemilu, bukan berarti kesadaran akan pentingnya Pemilu damai dapat selalu hadir apabila tidak dirawat dengan baik. Kita tidak boleh lengah.

Karena Amerika Serikat yang dijuluki sebagai negara kampiun demokrasi pun sempat terancam demokrasinya, dimana calon presiden Donld Trump sempat tidak mau menerima kekalahannya atas Joe Biden dalam Pilpres Tahun 2020.

Apa yang terjadi di AS itu tentu harus menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa mental siap menang dan siap kalah harus dipupuk secara terus menerus dalam jiwa peserta atau aktor utama pemilu.

Sebagai sebuah kompetisi yang diwarnai adu gagasan dan adu program, kalah dan menang dalam Pemilu adalah keniscayaan sehingga harus dipahami betul oleh seluruh elemen bangsa.

Apabila ini dipahami dengan baik, maka Pemilu justru menjadi perekat bangsa dalam konteks peralihan kekuasaan, bukan ajang perpecahan.

Namun, untuk mewujudkan pemilu yang mengintegrasikan bangsa itu tentu perlu sejumlah kondisi yang mendorongnya.

Pertama, pemilu yang jujur, adil, dan transparan. Dalam konteks ini, penting bagi KPU sebagai penyelenggara utama pemilu untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa pemilu yang dihadirkan adalah pemilu yang jujur, adil, dan transparan.

Apabila KPU gagal meyakinkan publik bahwa Pemilu berlangsung secara jujur dan adil maka potensi terjadinya peralihan kekuasan yang damai akan sulit terwujud.

Tentu ini bukan perkara mudah, akan tetapi demi mewujudkan hal itu tentu KPU sebagi penyelenggara akan melakukan kerjasama dengan Stakeholder dengan menyampaikan Tahapan serta Program Kegiatan secara Transparan kepada Masyarakat pada umumnya dan peserta pemilu pada khususnya.

Tentu kita masih ingat Pemilu di masa Orde Baru. Meski seakan demokratis, nyatanya Pemilu tersebut berjalan tidak jurdil.

Pendek kata, sebelum pemilu selesai, sudah diketahui pemenangnya.

Kondisi itu akhirnya menjadi bom waktu hingga akhirnya meledak dan terjadilah Reformasi 1998 yang tentu saja menimbulkan kerugian jiwa, materiiil, dan non materiil.

Tentu saja penyelenggaran Pemilu yang jurdil tidak hanya tanggungjawab KPU, tetapi juga tanggung jawab pihak terkait lainnya seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai hakim dalam hal pelanggaran oleh penyelenggara Pemilu.

Kedua, penguatan kesadaran Pemilu damai bagi peserta Pemilu, pemilih, dan elemen masyarakat lainnya.

NKRI sebagai negara dengan ribuan pulau dan juga beragam suku bangsa atau budaya tentu dinilai sangat riskan dengan adanya potensi perbedaan yang berakibat pada potensi perpecahan.

Bukan tidak mungkin, sebagai warga negara yang memiliki hak pilih yang berhak menentukan pilihan serta pandangan politiknya secara bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun akan mengalami potensi perbedaan pandangan ataupun pilihan politik dengan orang orang terdekat, saudara serumah atau tetangga.

Kadang perbedaan pandangan politik ini bahkan sengaja dimainkan di tengah-tengah masyarakat yang pendidikan politiknya masih kurang.

Sehingga dengan mudah masyarakat dibentur-benturkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu juga.

Bisa kita bayangkan, jika perbedaan pilihan atau pandangan politik ini sengaja dibuat semakin runcing, maka bukan tidak mungkin gesekan gesekan horisontal akan sangat mudah terjadi. Ini tentu saja adalah ancaman bagi pelaksanaan Pemilu.

Ketiga, pentingnya transparansi informasi akan hak dan kewajiban peserta pemilu dan pemilih serta pola kampanye yang harus benar benar disampaikan secara urut, rinci, dan yang pasti harus dimengerti oleh seluruh masyarakat indonesia.

Ditengah ancaman disinfomasi atau bahkan berita hoaks, tentunya ini akan menjadi ancaman tersendiri bagi tujuan berdemokrasi yang sehat dan terhormat.

Seperti jamak kita saksikan, berita hoaks yang makin marak dan tidak jarang sudah menuju pada black campaign dan pembunuhan karakter, tentunya akan mampu meruncingkan sikap loyalitas terhadap dukungan politik menuju kearah yang tidak diinginkan bangsa Indonesia.

Maka, menjadi kewajiban seluruh elemen bangsa untuk sepakat secara bersama sama memerangi hoaks.

Dengan memberikan pendidikan politik kepada para pendukungnya tentang makna berpolitik di kepemiluan adalah bentuk kontestasi dimana ending/goal-nya adalah siap menang dan siap kalah, dengan didasari menjunjung tinggi pola kampanye yang santun sesuai budaya timur, maka minimal upaya destruktif dari proses pemilu dapat diminimalisir.

Oleh karena itu, seyogyanya slogan KPU yang menyatakan“Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa” harus benar-benar bisa diterapkan agar menjadi tameng atas ancaman akibat dari perbedaan pilihan.

Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa harus dimaknai bahwa pemilu bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. Pemilu sudah seharusnya menjadi perekat bangsa dalam perbedaan pilihan politik yang terjadi di tengah masyarakat dalam bingkai NKRI. (*)

Arief Wicaksono
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah
Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan Sumber Daya Manusia

Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved