Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pemilu 2024

Ancaman Koalisi Kebangsaan Untuk PDIP

Istilah koalisi besar kini mendengung antara KIB dan KIR dan menjadi poros baru sebagai koalisi kebangsaan.

Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto memberikan keterangan pers usai menghadiri "Silaturahmi Ramadan" di Gedung DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Jakarta Selatan, Minggu (2/4/2023). PAN menyelenggarakan "Silaturahmi Ramadan" bersama parpol koalisi Pemerintahan untuk membicarakan hal yang berkaitan dengan komitmen kebangsaan dan juga keberlanjutan pembangunan ke depan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Oleh: Jamsari
Pengamat Perilaku Politik, Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

TRIBUNNEWS.COM - Pasca-silaturrahmi Ramadan yang dimotori Partai Amanah Nasional (PAN) pada Minggu (2/4/2023) di kantor PAN, muncul “hilal” politik baru, yaitu koalisi kebangsaan, dan itu seiring dengan naiknya elektabilitas Prabowo Subianto yang mengungguli Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Survei yang dilakukan 31 Maret-4 April oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis tingkat elektabilitas sosok potensial calon presiden (capres) pada Pemilu 2024.

Pembuktian angka surveinya bahwa elektabilitas Prabowo Subianto menembus angka 30,3 persen pada posisi terunggul.

Sedangkan posisi kedua Ganjar Pranowo 26,9 persen dan disusul Anies Baswedan 25,3 persen.

Ramadan adalah bulan berkah, keinginan PAN adalah merawat silaturahmi di bulan Ramadan sebagai momentum politik untuk menyatukan konsep-gagasan-dinamika partai politik yang tergabung dalam barisan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang kemudian menghasilkan kesepakatan narasi koalisi kebangsaan untuk persatuan.

Baca juga: Politikus Golkar Respons PDIP Agar Koalisi Besar KIB-KIR Segera Deklarasi: Kita Ikuti Ketua Umum

Ikhwal itu rupanya disambut gembira para ketua umum (Ketum) parpol yang hadir di antaranya Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum Gerindra Prabowo Subianto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum PPP Muhammad Mardiono, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan, lalu bermuara pada pandangan bersama yaitu koalisi kebangsaan untuk persatuan.

Ada ketua umum yang tidak hadir dari koalisi perubahan, yaitu Ketum Nasdem Surya Paloh, Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ketua Umum PKS Akhmad Syaikhu.

Di samping itu, koalisi tunggal (penguasa) yaitu PDIP, Ketum Megawati Soekarno Putri juga tidak kelihatan di acara tersebut.

Baca juga: Pengamat Sebut Penentu Kursi Capres Koalisi Besar ada Pada Jokowi dan Megawati sebagai King Maker

Namun, Presiden Jokowi hadir sebagai kepala negara dan memberikan sambutan hangat seakan sebagai “gong” pemukul tanda koalisi besar akan dimulai.

Di sini, ada kesan tersendiri bahwa PDI-P selama berkuasa 10 tahun sangat percaya diri (convident) dan secara politik sangat rasional.

Pertama, PDIP adalah the winner Pemilu 2014 dan 2019 bahkan bercita-cita hattrick (menang ketiga kali).

Kedua, posisi elektabilitas partai tertinggi diangka 22,7 persen adalah PDI-P dibandingkan Golkar 13,8% dan Gerindra 11,3%.

Baca juga: Prabowo akan Bertemu Megawati dalam Waktu Dekat Bahas Wacana Koalisi Besar di Pilpres 2024

Ketiga, pemenang Pilkada terbanyak di seluruh Indonesia dari 260 Pilkada di tahun 2018-2022 PDI-P menang 50 persen lebih kira-kira diangka 156 Pilkada.

Keempat, PDIP sudah punya stok capres sendiri, ada Ganjar Pranowo dan Puan Maharani dan layak berangkat sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.

Hadirnya koalisi kebangsaan yang menggelinding kuat hari ini adalah ancaman besar bagi PDIP dan juga akan menggilas koalisi perubahan yang di bentuk Nasdem, PKS, dan Demokrat yang sudah sepakat mengusung capres Anies Baswedan.

Koalisi

Lazimnya, koalisi identik dengan perpaduan beberapa partai politik apakah dalam pemerintahan atau oposisi.

Peran koalisi bertujuan sangat mulia, bertindak untuk mempengaruhi kebijakan melalui berbagai institusi terkait dalam rangka kesatuan, kesetaraan andil peran, andil juang, andil gagasan, andil posisi dan sebagainya.

Di situ fungsi koalisi memfasilitasi berbagai upaya dari anggota koalisi dalam rangka mewujudkan kepentingan-kepentingan bersama yang akan disepakati bersama untuk tujuan bersama.

Haris, Syamsuddin (2004) merinci model koalisi dalam tiga kategori. Pertama, koalisi pemenang minimal, menunjuk pada pemerintahan yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen.

Jokowi selama dua periode, PDIP menaklukkan lawan-lawannya dengan cara memaksimalkan peran legislatif dan eksekutif dalam mengambil setiap langkah kebijakan tertentu dalam syarat koalisinya di parlemen secara politik.

Kedua, koalisi minoritas atau trend disebut oposisi.

Ini teraplikasi sebuah koalisi pemerintahan dari partai-partai kecil dan karena itu tidak mendapat dukungan mayoritas sederhana di parlemen.

Kejadian koalisi minoritas sekarang diperankan oleh koalisi perubahan yang digawangi oleh Nasdem, Demokrat serta PKS dalam mencari celah kemenangan baru menuju Pemilu 2024 yang mengusung Anies Baswedan sebagai capresnya atas keterwakilan partai-partai “minoritas opisisi” dan semi “koalisi” (Nasdem) atau partai yang kalah perolehan kursi parlemennya di bawah PDI-P, Golkar, dan Gerindra.

Ketiga, koalisi besar.

Ini sebenarnya diperankan PDIP.

Namun, istilah koalisi besar kini mendengung antara KIB dan KIR dan menjadi poros baru sebagai koalisi kebangsaan.

Sebuah ancaman serius bagi PDIP jika tidak segera merakit kapal koalisi lamanya atau merapikan koalisi barunya.

PDIP sadar akan koalisi besar yang pecah menjadi koalisi-koalisi baru seperti koalisi barisan KIB yang di-drive Golkar, PAN, PPP serta koalisi KIR yang di bentuk Gerindra dan PKB.

Bahwa partai pemenang kedua pemilu 2019, Golkar dan pemenang ketiga pemilu 2019, Gerinda justru menyatu ingin meninggalkan koalisi besar semula dengan PDIP.

Apakah hal itu disebabkan oleh arogansi PDIP dalam merawat koalisi besar semula, ataukah barisan koalisi lama Pemilu 2019 ingin memisahkan diri akibat adanya tujuan dan mufakat tak sejalan dalam koalisi presidential dan parliemantary?

Rupanya PDIP membaca akan terjadi hal itu lalu juga memberikan signal untuk gabung dengan koalisi kebangsaan dengan syarat berat yaitu RI-1 harus diusung dari PDIP.

Hal itu bertentangan dengan elektabilitasnya Prabowo yang kini mencapai 30,3 persen yang mengungguli capresnya PDI-P Ganjar Pranowo di angka 26,9 persen.

Kedua adalah Golkar yang memiliki suara tebanyak pemenang Pemilu 2019 kedua, Gerindra sebagai pemenang Pemilu 2019 ketiga, apakah mereka mau menerima PDI-P dengan syarat berat demikian?

Ketiga, PKB, PAN, dan PPP pengusung utama koalisi kebangsaan belum cukup terwadahi kepentingan bersamanya maka mereka akan sangat berat dengan PDI-P yang mensyaratkan itu.

Harapan terbesarnya adalah jika koalisi kebangsaan atau koalisi perubahan menjadi titik balik perlawanan terhadap arogansi PDIP dan ketidakpuasan koalisi besarnya selama 10 tahun PDIP berkuasa maka koalisi tersebut harus mampu menunjukkan mufakatnya lebih baik untuk mengabdi demi kesejahteraan rakyat ke depan.

Jika hal itu tidak mampu diwujudkan oleh koalisi kebangsaan atau koalisi perubahan, maka tidak ada bedanya mereka dengan koalisi tunggal yang hanya akan melanggengkan kekuasaan baru seperti kuasa PDIP sebelumnya.

Rakyat menginginkan tujuan tunggal sebuah perubahan dalam kesatuan untuk kebangsaan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya bukan sebatas jargon belaka; koalisi perubahan, koalisi kebangsaan atau koalisi tunggal.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved