Tribunners / Citizen Journalism
Homestay Luar Negeri Dan Pendidikan Optimisme Pesantren
kegiatan apa yang dapat membesarkan hati para santri agar motivasinya untuk sukses di dunia dan akhirat menguat?
Homestay Luar Negeri Dan Pendidikan Optimisme Pesantren
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
TRIBUNNEWS.COM - Kisah tentang ahli ibadah yang gagal masuk surga di akhirat sudah banyak diceritakan oleh ulama kita. Dari mulai Imam Ghozali, Syaikh Nawawi, sampai ke para kiai Nusantara. Tentu kisah tersebut disampaikan di buku-buku bukan hasil dari karangan sendiri, tetapi memang ada riwayat pengetahuan yang terus ‘nyambung’ sampai ke Rasulullah SAW.
Kenapa ahli ibadah itu gagal di sana? Penyebabnya adalah karena yang bersangkutan sering pesimis menghadapi hidup dan kerap mempesimiskan orang lain dari rahmat Allah (muqnithun) melalui ucapannya, sikapnya, atau tindakannya.
Bentuknya antara lain mungkin ia menghakimi orang lain bahwa pintu taubat sudah tertutup. Mungkin ia memberikan label negatif kepada seseorang bahwa pintu perbaikan dan kesuksesan sudah tidak mungkin. Mungkin ia kerap mengkerdilkan motivasi orang lain. Dan seterusnya dan seterusnya.
Sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud yang sangat terkenal menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pelaku dosa yang mengharap rahmat Allah lebih dekat kepada Allah daripada ahli ibadah yang memutus rahmat." Tentu maksudnya bukan berarti ahli ibadah itu jelek, tetapi lebih untuk memberikan tekanan pada pentingnya untuk terus menerus mengharap rahmat dari Allah.
Baik kisah maupun hadits Rasulullah SAW di atas jika sebatas diposisikan sebagai bacaan, anak kecil pun bisa memahami. Yang menjadi tugas lembaga pendidikan adalah bagaimana kisah tersebut menjadi pelajaran yang kemudian diolah menjadi materi/kegiatan pendidikan untuk menghasilkan dampak pada akhlak hidup para santri. Ini yang butuh perjuangan ekstra.
Berkali-kali saya bertanya dalam hati, kegiatan apa yang dapat membesarkan hati para santri agar motivasinya untuk sukses di dunia dan akhirat menguat? Apa yang perlu dilakukan oleh lembaga pendidikan agar keyakinan santri-santri terhadap janji Allah itu terus menguat? Bagaimana supaya para santri itu bersungguh-sungguh dalam berjuang nanti setelah menjadi alumni karena mereka yakin bahwa kesuksesan itu bisa diwujudkan dan yakin bahwa janji Allah SWT itu haq?
Sekadar untuk diceramahkan, tentu kita semua sudah melakukannya. Setiap saat guru-guru di pesantren mendoktrin agar mereka yakin dan punya hati yang besar untuk menghadapi realita. Yang masih kurang adalah bagaimana materi ceramah tersebut diolah menjadi kegiatan yang bermutu dengan tujuan membesarkan hati dan menguatkan keyakinan mereka untuk sukses di bidangnya.
Setelah merenung, saya kemudian memanggil beberapa guru yang pernah tinggal lama di luar negeri, termasuk juga membahasnya dengan relasi saya di beberapa negara. Akhirnya, saya putuskan untuk membuat program Home Stay Luar Negeri bagi para santri yang hendak menjadi alumni. Negara tujuan adalah Malaysia dan Singapura. Program ini sudah berjalan 5 kali selama 5 tahun, dan di ikuti ratusan santri tiap tahunnya, Karena Covid 19, program tersebut berhenti untuk sementara.
Konsep Home Stay
Home stay adalah pendekatan pembelajaran yang sering disebut sebagai immersion learning (IL). IL adalah konsep pembelajaran dengan menempatkan si pembelajar di suatu lingkungan langsung. Pendekatan ini sangat efektif untuk pembelajaran budaya dan perubahan mentalitas.
Program home stay Pesantren Bina Insan Mulia tentu berbeda dengan home stay yang dilakukan para bule di Jogja atau di Bali. Para santri tidak menginap di rumah warga tapi di Hotel Bajet Tengah kota selama sepekan. Para santri yang mendaftar program ini juga tidak bisa perorangan. Semua dikoordinir oleh panitia dan agendanya pun kita sesuaikan dengan kebutuhan pendidikan pesantren.
Program home stay santri Bina Insan Mulia berlangsung beberapa sepekan. Agenda utamanya adalah jalan-jalan melihat karya budaya, bertemu dengan mahasiswa/wi yang usianya tidak jauh beda untuk memperluas pergaulan, dan menyimak penjelasan para tokoh muda di beberapa bidang. Para santri dapat mempraktikkan bahasa Inggrisnya langsung, melihat pembelajaran di beberapa kampus, dan menyimak perjuangan mahasiswa yang sudah berhasil.
Jadi, meski secara pelaksanaan dibedakan dengan home stay perorangan, tetapi tujuan dari pendidikan home stay menjadi perhatian utama.
Home stay sebetulnya adalah bagian dari agenda pendidikan yang tujuannya antara lain untuk saling mengenal kelebihan dan keunikan, sebagaimana al-Qur’an telah menjelaskan dalam Surah Al-Hujurat 13: “Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
Hasil riset internasional menemukan fakta bahwa orang yang pernah tinggal di beberapa tempat ternyata jauh lebih kreatif dan lebih optimis dalam menghadapi hidup. Rasionalisasinya sederhana saja. Karena mereka lebih kaya pengalaman dan pengetahuan. Mereka lebih banyak melihat bagaimana orang lain di berbagai tempat berjuang hidup. Itulah rahasia kenapa kita diperintahkan untuk safar (melakukan perjalanan).
Di zaman Rasulullah SAW, hal itu terjadi pada sahabat Salman Al-Farisi. Dari ide Salman Al-Farisi inilah Allah mengajarkan temuan kreatif kepada umat Islam di Madinah mengenai bagaimana menghadapi ancaman serangan besar dari pasukan gabungan musyrikin Makkah dan kafir Quraisy.
Salman Al-Farisi menjadi pahlawan dalam perjuangan Islam dengan ide membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam pertempuran Khandaq (parit). Ceritanya, ketika Rasulullah SAW mendengar akan ada penyerangan dari Makkah, Rasulullah khawatir akan nasib kaum muslimin.
Maka, Rasulullah segera melakukan musyawarah untuk membahas strategi pertahanan. Salman Al-Farisi mengajukan usulan. "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dulu ketika kami di negeri Persia, apabila kami dikepung musuh, maka kami membuat parit di sekitar kami," usul Salman.
Menabur Optimisme
Selain untuk berlibur, tentu Home Stay Luar Negeri Bina Insan Mulia punya tujuan untuk pendidikan. Merujuk pada ajaran al-Qur’an, hadits Nabi, dan kebutuhan pendidikan, maka tujuan utamanya adalah untuk menabur optimisme hidup di hati para santri.
Optimisme adalah gabungan antara harapan seseorang akan kesuksesannya dan adanya keyakinan yang besar dalam hati bahwa ia sanggup meraih kesuksesaan yang dicita-citakan itu. Optimisme dapat hadir di hati seseorang dari dua jalur yang keduanya bersumber dari pemberian Allah. Di sinilah pendidikan harus berperan sebagai fasilitator.
Pertama, ada optimisme yang muncul dari dalam. Misalnya, seseorang mendapatkan pengalaman sukses atau pembuktian lalu dengan bukti itu semakin kuatlah optimismenya. Tim olahraga yang sudah sukses biasanya semakin kuat optimismenya. Begitu juga seorang guru yang pernah sukses menghantarkan santri-santrinya menang dalam suatu cerdas cermat di bidang tertentu. Pengalaman sukses memang punya power untuk memperkuat optimisme.
Kedua, ada optimisme yang muncul dari rangsangan eksternal, seperti home stay yang dilakukan Pesantren Bina Insan Mulia kepada ribuan para santrinya. Rangsangan ini sangat penting. Dalam berbagai riset pendidikan ditemukan bahwa otak manusia yang diberi banyak rangsangan, punya jalur belajar yang lebih bagus, lebih kuat, dan lebih rapat. Ini berbeda dengan otak yang kurang rangsangan. Jaringannya jarang sehingga kurang kreatif dan kurang responsif.
Apa dampaknya dalam menyikapi hidup? Otak manusia yang banyak rangsangannya akan membuatnya cepat tanggap ketika menghadapi tuntutan lingkungan, lebih kreatif, dan lebih mampu menyerap banyak informasi.
Inilah kenapa lembaga pendidikan perlu merancang berbagai kegiatan yang terukur agar menjadi rangsangan otak (stimulan). Para ulama berpesan bahwa berkah Allah itu pada usaha dan gerakan. Bahkan para santri selalu diwanti-wanti bahwa menganggur tanpa kegiatan itu mematikan hati. Seorang penyair Abu al-Atahiyah mengingatkan, masa muda dan kekosongan adalah sumber kerusakan.
Baik dari pengalaman manusia dan hasil riset di laboratorium, optimisme menjadi modal kesuksesan dalam perjuangan apapun. Sepintar apa pun santri-santri itu dididik, tetapi kalau tidak ada optimisme di hatinya, akan susah mencapai sukses dalam perjuangannya di masyarakat.
Kenapa? Dengan optimisme itu, seseorang akan mendapatkan energi atau kekuatan untuk melangkah. Jenderal Soedirman pernah berpesan, “Meskipun kamu mendapat latihan jasmani yang hebat, tidak akan berguna jika kamu mempunyai sifat menyerah. Kepandaian yang tinggi tidak ada gunanya jika orang itu mempunyai sifat menyerah.”
Tidak mungkin para pahlawan kita sampai total habis-habisan mau perang melawan Belanda tanpa ada rasa optimisme. Pesantren-pesantren di Nusantara ini tentu sudah mati ditelan zaman jika para kyai di zaman dulu tidak memiliki optimisme dalam hati bahwa Allah pasti menolong perjuangannya dan bahwa pesantren sanggup untuk eksis di bumi Nusantara ini.
Dalam bahasa sehari-hari, optimisme memang kerap dipahami sebagai harapan yang positif. Tapi kita perlu kita ingat jangan sampai menyamakan antara harapan dan angan-angan kosong. Imam Ghazali membedakan antara harapan yang positif itu dengan angan-angan dan kebodohan.
Menurut Imam Ghazali, kalau seseorang punya benih, lalu benih itu ditanam di tanah yang cocok (apalagi subur), lalu diairi, dan dirawat agar terhindar dari hama, maka menunggu panen dalam proses tersebut disebut harapan. Inilah posisi optimisme yang benar.
Kalau orang punya benih, lalu ditaburkan di tanah yang tidak cocok dengan benih itu (apalagi tanah yang tandus), lalu setelah itu diam (maksudnya tidak dirawat), maka menunggu panen bukanlah sebuah harapan, tetapi itu tipuan kebodohan.
Selanjutnya, kalau orang itu punya benih, kemudian benih itu ditabur di tanah yang cocok, tapi perawatannya menunggu air hujan atau tergantung keadaan, maka menunggu panen dari kejadian itu disebut angan-angan.
Dengan Home Stay Luar Negeri para santri akan belajar untuk menaruh harapan secara lebih benar karena dapat melihat kenyataan. Program ini juga suatu saat nanti akan menjadi referensi penting bagi mereka ketika dihadapkan pada keadaan yang menuntut mereka untuk memunculkan ide kreatif, seperti pada kisah sahabat Salman Al-Farisi.
Optimisme dan Kesuksesan Perjuangan
Luqmanul Hakim adalah orang shaleh yang namanya disebut dalam al-Qur’an sebagai orang bijak dalam pendidikan, khususnya mendidik generasi muda. Kepada anaknya, Luqmanul Hakim pernah berpesan, “Wahai anakku, suatu perjuangan itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan keyakinan. Orang yang lemah keyakinannya, lemah pula perjuangannya. Wahai anakku… jika datang kepadamu keraguan dan ketidakjelasan, maka segera kalahkan dengan keyakinan dan ketegasan. . “
Dalam bahasa yang sekarang, bisa kita katakan bahwa Luqmanul Hakim menempatkan optimisme dalam posisi yang sangat sentral dengan perjuangan. Praktik sudah membuktikan bahwa begitu seseorang pesimis, maka lemahlah daya juangnya.
Pengetahuan demikian tentu sudah dimiliki oleh kaum muda. Cuma yang menjadi masalah adalah bagaimana supaya pengetahuan tersebut menjelma menjadi keyakinan? Di sinilah dibutuhkan kegiatan pendidikan semacam home stay ini.
Dari kajian para ahli di bidang pengembangan diri, sebuah perjuangan itu membutuhkan optimisme karena beberapa alasan yang mendasar, antara lain:
Pertama, optimisme memberikan energi positif (dorongan). Begitu seseorang tidak lagi punya harapan yang kuat terhadap kesuksesannya, dipastikan dorongan/energinya kecil bahkan bisa menguap. Padahal semua orang tahu bahwa energi atau dorongan ini menjadi kesuksesan di bidang apapun. Para santri sudah memahami ini. Man jadda wajada. Man shobaro dhofiro. Dan seterusnya.
Kedua, perlawanan. Optimisme menghasilkan perlawanan yang bagus terhadap masalah, kesulitan, problem, atau kekurangan saat kita sedang memperjuangkan kesuksesan. Saya mengalami langsung dengan proses pembangunan Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan 2. Berbagai masalah datang.
Dari mulai kekurangan dana, sulitnya mendapatkan bahan yang saya mau, sulitnya proses pengerjaan, penyesuaian target waktu dan kualitas hasil, dan macam-macam. Tapi saya optimis bahwa Allah pasti menolong, bahwa kita pasti diberi ide, dan bahwa keberhasilan pasti bisa kita wujudkan telah memberikan perlawanan yang bagus terhadap semua masalah itu sehingga al-hamdulillah selesai.
Ketiga, sistem pendukung. Harapan optimisme juga berfungsi sebagai sistem pendukung. Kalau kita menginginkan keberhasilan, lalu kita berpikir berhasil, punya kemauan untuk berhasil, punya sikap yang dibutuhkan untuk berhasil dan melakukan hal-hal yang dibutuhkan untuk keberhasilan itu, maka kita telah memiliki sistem di batin yang mendukung.
Doa yang kita panjatkan pun mendukung sehingga hati kita tidak lalai. Rasulullah SAW mengingatkan, “Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.”
Yang menjadi masalah adalah kita menginginkan keberhasilan tetapi kita malas-malasan, punya sikap yang tidak mendukung keberhasilan itu, berpikir negatif, harapannya pesimis, dan lebih sering tidak melakukan hal-hal yang kita butuhkan untuk berhasil. Ibarat mesin, jika yang aktif hanya satu sistem, sementara sistem yang lain mati atau bekerja untuk hal-hal yang tidak kita inginkan, maka operasi sistem itu kurang optimal, bahkan bisa rusak,
Jadi, dengan menjadi orang yang optimis, memang tidak secara otomatis langsung membuat kita mendapatkan impian yang kita inginkan, tetapi untuk mendapatkan impian itu dibutuhkan batin yang optimis.
Bukan Sekadar Memproduksi Orang Baik
Mbah Kiai Sahal Mahfudz pernah berpesan bahwa untuk menjadi orang yang baik itu gampang. Yang sulit adalah menjadi orang yang bermanfaat. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa salah satu kriteria dari sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (anfa’uhum linnas) dan akhlaknya baik (wa ahsanuhum khuluqo).
Menjadi orang yang baik cukup dilakukan oleh santri dengan menjalankan ibadah ritual sesuai standar dan menjauhi praktik menyakiti manusia. Itu sudah cukup. Tapi pendidikan pesantren dari sejak awal memang didesain agar para santri nanti menjadi orang yang bermanfaat dengan ilmunya, keahliannya, tekah baiknya dan kiprahnya di masyarakat.
Untuk menjadi orang yang bermanfaat itulah butuh optimisme sebab pasti menuntut perjuangan yang panjang. Tanpa optimisme, maka kegagalan, kesengsaran, dan ketidakjelasan kenyataan dapat membubarkan tujuan seseorang.
Optimisme adalah ciri orang kuat. Nabi Muhammad SAW telah memberikan gambaran kepada kita bahwa orang mukmin itu ada dua. Ada mukmin yang lemah dan mukmin yang kuat. Mukmin yang lemah inilah yang pas untuk disebut sebagai orang yang baik-baik saja.
Sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW, menjadi mukmin yang lemah memang tidak salah. Cuma, kalau kita lihat dampaknya secara perjuangan agama dan perkembangan jiwa, itu berbahaya.
Bayangkan kalau umat Islam di negeri ini hanya diarahkan untuk menjalankan ibadah ritual dan menghindari kejahatan, lantas siapa yang mengurus masyarakat? Siapa yang mengurus pemerintahan? Siapa yang mengurus pasar? Siapa yang mengurus pendidikan? Dan seterusnya dan seterusnya?
Artinya, bangsa ini bisa lumpuh. Bangsa ini bisa menjadi objek jajahan bangsa lain jika sebagian besar orang-orangnya hanya menjadi orang-orang yang baik-baik saja. Jenderal Soedirman mengingatkan, “Kejahatan akan menang bila orang yang benar tidak melakukan apa-apa.”
Di samping secara perjuangan memang membahayakan, secara psikologis juga kurang mendukung untuk bahagia. Berbagai riset internasional di bidang psikologi menemukan bukti bahwa jiwa seseorang akan lebih sering bahagia apabila seseorang itu melakukan hal-hal yang berarti bagi dirinya dan orang banyak.
Jadi, para santri Bina Insan Mulia saya harapkan mampu melangkah menjadi orang mukmin yang kuat. Sebagaimana yang dijelaskan Nabi SAW, mukmin yang kuat adalah mukmin yang optimis untuk merebut peluang (ihrish ala ma yanfauka).
Mukmin yang kuat adalah orang yang yakin bahwa dirinya punya kekuatan (wa la takjzaz). Kekuatan bisa dalam bentuk potensi bakat, moral akhlak, jaringan, harta kekayaan, dan seterusnya. Semua orang telah diberi kekuatan oleh Allah yang berbeda-beda.
Yang tidak dilakukan orang adalah bagaimana seseorang jeli melihat kekuatan itu dan bagaimana menggunakannya. Sebagai contoh, punya pesantren di kampung bisa dilihat sebagai kekuatan dan bisa dilihat sebagai kelemahan. Itu tergantung bagaimana posisi itu dilihat lalu strateginya apa.
Mukmin yang kuat adalah mukmin yang menghadapi realita dengan cara yang baik dan fokus pada menghadirkan aksi positif, tidak membangun ilusi yang dipenuhi seandainya. Seandainya saya dikasih kecerdasan seperti si anu, seandainya saya diberi orangtua kaya raya seperti si anu, seandainya masalah tidak ada, dan seterusnya. Rasulullah mengingatkan bahwa ungkapan “seandainya” bersumber dari setan yang menggoda.
*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.