Tribunners / Citizen Journalism
Without The Box Thinking: Apa yang Harus Berubah dari Pesantren di Era Disrupsi?
Kuliahnya bisa dimana saja, fasilitas lengkap, bayarnya murah, jaringannya internasional, dan dosennya dari berbagai negara
Without The Box Thinking: Apa yang Harus Berubah dari Pesantren di Era Disrupsi?
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA.
TRIBUNNEWS.COM - Kita adalah generasi umat manusia yang pertama mengalami perubahan dahsyat. Terutama dalam hal bagaimana manusia bekerja, berkomunikasi, dan belajar. Perubahan dahsyat terjadi karena ada disrupsi (terjadinya kekacauan pada tatanan hidup lama oleh kemajuan sains dan teknologi).
Waktu saya di Mesir tahun 1990-an, untuk bisa berkomunikasi dengan orangtua di Cirebon, butuh waktu dua minggu karena pakai surat. Setelah itu ada telepon kabel. Meski bisa berbicara langsung, tapi tidak semua orang punya telepon. Harus numpang dulu ke orang lain. Butuh waktu lama dan tidak bisa setiap saat.
Setelah tahun 2000, semua orang bisa berkomunikasi dengan siapapun di dunia ini dengan seketika selama terhubung dengan jaringan. Bahkan gambarnya muncul. Semua orang juga bisa belajar apa saja dengan guru siapa saja di muka bumi ini selama terhubung dengan jaringan. Bukan hal aneh lagi bila ada anak muda yang hidup di kampung terpencil tapi bekerja di kantor luar negeri. Gajinya riyal, ringgit, atau dolar.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, sejumlah kampus di China, Amerika, Australia, Turkey dan negara-negara lain akan membuka pendaftaran untuk mahasiswa seluruh dunia. Kuliahnya bisa dimana saja, fasilitas lengkap, bayarnya murah, jaringannya internasional, dan dosennya dari berbagai negara.
Tentu, di balik kemudahan tersebut secara sunnatulah pasti ada problem. Dengan teknologi jaringan, semua kegiatan dakwah para kiai NU dapat langsung disiarkan ke dunia ini. Tapi pada saat yang sama, penjajahan budaya dan ekonomi oleh negara asing juga dilakukan melalui teknologi jaringan. Untuk menjajah suatu kaum, hari ini tidak perlu mendatangkan pasukan dengan logistiknya yang mahal seperti dulu.
Apa artinya ini semua bagi pendidikan Islam, khususnya pesantren? Karena dunia di luar sudah berubah secara radikal dan eksponensial, maka pesantren pun harus berubah secara revolusioner. Jika tidak, pesantren tidak bisa memimpin zaman. Bahkan mungkin tersingkir oleh zaman.
Perubahan adalah sunnatullah agar manusia senantiasa melakukan pembaruan. Dan faktanya, yang membuat manusia mati bukan perubahan itu, tetapi karena manusia menggunakan cara yang lama dalam menghadapi perubahan yang baru.
Pertanyaannya, apa yang harus diubah? Setelah kita memahami arah yang kita tuju dalam perubahan, yang terpenting lagi adalah apa yang harus kita ubah. Di sinilah pentingnya menerapkan kaidah nahwu dalam menghadapi perubahan.
Dalam nahwu, kita diajari ada yang mabni (tetap) dan ada yang mu’rob (berubah) karena ada faktor (awamil). Seperti kita alami, yang mabni dalam pesantren itu sedikit. Paling yang ushul atau yang prinsip. Sisanya adalah mu’rob, seperti ilmu, sistem, strategi, cara, taktik, atau metode. Sayangnya, hal-hal yang mu’rob masih sering kita pahami sebagai yang mabni.
Pesantren Bina Insan Mulia hadir dengan serangkaian perubahan, terutama dari aspek-aspek pesantren yang mu’rob. Seperti penghapusan sekat salaf-modern, ilmu agama-umum, kurikulum berbasis program, pembelajaran budaya bagi santri, menggunakan hotel untuk acara-acara pesantren, pakaian kasual bagi para santri dan guru, makanan barat dan arab tersedia, dan masih banyak lagi.
Bahkan untuk acara Haul Tahunan pun sama. Ada serangkaian agenda pesantren, seperti tahlil, tausiyah dan doa bersama. Untuk doa bersama, biasanya saya mengundang beberapa syaikh dari Al-Azhar dan mursyid-mursyid toriqoh dari tumur tengah
Sedangkan untuk tausiyahnya, saya mengundang tokoh nasional. Lalu ada kompetisi akademik, seni, dan olah raga dengan mengundang pihak luar. Kemudian disusul dengan hiburan yang diisi oleh para artis regional dan nasional sepeti Titi Kamal, Inka Christie, Mel Shandy, Lia AFI, Michelle Ziudith, Rizky Nazar, Charlie Van Houten, Nikita Mirzani
Demikian juga soal orientasi pendidikan lanjutan bagi para santri. Mungkin di dunia ini hanya SMK dan MA Unggulam bertaraf Internasional Bina Insan Mulia yang alumninya 80% pernah diterima di Al-Azhar Mesir. Sisanya saya arahkan ke berbagai negara. Ada Oman, Sudan, Tunisia, Turkey, Jerman, Malaysia, Thailand, Australia, Rusia dan China.
Saya melihat banyak orang atau pesantren atau pendidikan yang punya peluang dan potensi untuk berubah ke tingkat yang paling optimal. Tapi sayangnya itu semua tidak menjadi kenyataan.
Kenapa? Saya menyebutnya ada kotak pengurung (box) yang menghambat gerakan pikiran (head), hati (heart) dan tangan (hand). Karena itu, saya sering bicara bahwa syarat untuk berubah adalah menyingkirkan kotak itu dan mulailah berpikir dengan without the box thinking.
Without the Box Thinking
Awamil dalam ilmu nahwu bekerja secara otomatis sehingga fi’il atau isim-nya bisa langsung marfu’, manshub, majrur atau majzum. Tapi awamil (faktor) dalam perubahan, ia tidak bekerja kecuali ada gerakan manusia. Dan manusia tidak bisa bergerak jika terkurung oleh box-box itu. Di antara box yang sering menghambat langkah perubahan manusia adalah:
1. Nyali
Tidak ada rumus dimana perubahan terjadi tanpa nyali. Nyali mutlak dibutuhkan. Allah SWT telah mengajari kita bagaimana mengeluarkan nyali. Misalnya khitanan, nikah, punya anak, masuk sekolah, punya pondok, dan seterusnya. Minus nyali akan mengungkung seseorang, meskipun kalau surplus nyali (berlebihan) itu juga berbahaya. Menemukan nyali yang pas dengan kadar kita, pasti butuh latihan. Dan itu harus praktik.
2. Determinasi dan direksi
Banyak perubahan gagal karena sasarannya tidak jelas, tidak konkret, dan tidak nyata. Arahnya pun ngawur. Perubahan yang tanpa direksi dan determinasi akan membuat kita kehabisan energi dan biaya bahkan bisa salah langkah. Ketika kegagalan terus menumpuk, akhirnya kita menghakimi kegagalan itu lalu menjadi box mental yang menghambat.
Misalnya saja kita hendak mengoptimalkan media sosial pesantren. Supaya tidak sekadar ramai yang tidak jelas, perlu determinasi yang kita tuju. Katakanlah untuk menambah jumlah santri, menambah jaringan santri, atau untuk menjelaskan program pesantren. Tanpa determinasi dan direksi, power kita akan menguap.
3. Takut sukses
Takut sukses adalah istilah untuk menyebut orang yang ingin sukses namun tidak mau menghadapi kegagalan dan tidak mau berkorban. Padahal keduanya adalah konsekuensi yang tidak bisa dipilih. Jangan kan kita. Para nabi saja ketika menginginkan kesuksesan, pasti mengalami kegagalan dan berkorban dengan harta, jiwa dan raga.
Orang yang ingin melakukan perubahan, tapi tidak mau gagal dan tidak mau berkorban, sebaiknya kubur saja keinginannya. Takut sukses bisa dihilangkan dengan praktik untuk melawan ketakutan tersebut sesuai kadar. Takut melakukan ekspansi, harus dilawan dengan melakukan ekspansi. Namun tetap terukur.
4. Takut beda
Banyak orang atau lembaga yang gagal menciptakan perubahan karena takut dibilang melawan tradisi atau jam’ah (konformitas). Ketakutan semacam ini mengungkung kreativitas dan inovasi kita. Perubahan menuntut sesuatu yang berbeda dengan yang lain. Kalau sama juga, sebaiknya tidak usah berubah.
Terkadang kita gagal membedakan mana ajaran agama dan mana tradisi budaya. Ajaran agama, terutama yang ushul tentu tidak bisa kita ubah. Tapi tradisi budaya tentu tidak harus kita abadikan semua. Ada yang mu’rob dan ada yang mabni.
5. Berpikir sekali jadi
Perubahan menuntut penerapan berpikir strategis, mana yang didahulukan, diprioritaskan, dan mana yang perlu disingkirkan dulu. Hukum Islam yang lima sebetulnya mengajarkan kita berpikir strategis. Sayangnya, hukum itu hanya kita terapkan untuk soal ibadah yang formal saja. Untuk strategi hidup, konsep hukum syara’ itu justru kita abaikan.
Begitu kita mengabaikan strategi maka yang muncul adalah kebuntuan dan kemacetan. Kita hanya tahu akibat dari problem tapi problemnya sendiri dan solusinya tidak kita ketahui. Biasanya, yang dikeluhkan orang hanya soal fasilitas, dana, dan semisalnya. Padahal problemnya bukan itu.
Semoga tulisan ini mendorong siapa pun yang membaca untuk melakukan perubahan dengan menyingkirkan box-box yang menghambat. Think without the box thinking!
*) Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.