Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Without The Box Thinking: Apa yang Harus Berubah dari Pesantren di Era Disrupsi?

Kuliahnya bisa dimana saja, fasilitas lengkap, bayarnya murah, jaringannya internasional, dan dosennya dari berbagai negara

Editor: Husein Sanusi
zoom-inlihat foto Without The Box Thinking: Apa yang Harus Berubah dari Pesantren di Era Disrupsi?
Pesantren Bina Insan Mulia.
KH. Imam Jazuli

Kenapa? Saya menyebutnya ada kotak pengurung (box) yang menghambat gerakan pikiran (head), hati (heart) dan tangan (hand). Karena itu, saya sering bicara bahwa syarat untuk berubah adalah menyingkirkan kotak itu dan mulailah berpikir dengan without the box thinking.

Without the Box Thinking

Awamil dalam ilmu nahwu bekerja secara otomatis sehingga fi’il atau isim-nya bisa langsung marfu’, manshub, majrur atau majzum. Tapi awamil (faktor) dalam perubahan, ia tidak bekerja kecuali ada gerakan manusia. Dan manusia tidak bisa bergerak jika terkurung oleh box-box itu. Di antara box yang sering menghambat langkah perubahan manusia adalah:

1. Nyali
Tidak ada rumus dimana perubahan terjadi tanpa nyali. Nyali mutlak dibutuhkan. Allah SWT telah mengajari kita bagaimana mengeluarkan nyali. Misalnya khitanan, nikah, punya anak, masuk sekolah, punya pondok, dan seterusnya. Minus nyali akan mengungkung seseorang, meskipun kalau surplus nyali (berlebihan) itu juga berbahaya. Menemukan nyali yang pas dengan kadar kita, pasti butuh latihan. Dan itu harus praktik.

2. Determinasi dan direksi

Banyak perubahan gagal karena sasarannya tidak jelas, tidak konkret, dan tidak nyata. Arahnya pun ngawur. Perubahan yang tanpa direksi dan determinasi akan membuat kita kehabisan energi dan biaya bahkan bisa salah langkah. Ketika kegagalan terus menumpuk, akhirnya kita menghakimi kegagalan itu lalu menjadi box mental yang menghambat.

Misalnya saja kita hendak mengoptimalkan media sosial pesantren. Supaya tidak sekadar ramai yang tidak jelas, perlu determinasi yang kita tuju. Katakanlah untuk menambah jumlah santri, menambah jaringan santri, atau untuk menjelaskan program pesantren. Tanpa determinasi dan direksi, power kita akan menguap.

3. Takut sukses

Takut sukses adalah istilah untuk menyebut orang yang ingin sukses namun tidak mau menghadapi kegagalan dan tidak mau berkorban. Padahal keduanya adalah konsekuensi yang tidak bisa dipilih. Jangan kan kita. Para nabi saja ketika menginginkan kesuksesan, pasti mengalami kegagalan dan berkorban dengan harta, jiwa dan raga.

Orang yang ingin melakukan perubahan, tapi tidak mau gagal dan tidak mau berkorban, sebaiknya kubur saja keinginannya. Takut sukses bisa dihilangkan dengan praktik untuk melawan ketakutan tersebut sesuai kadar. Takut melakukan ekspansi, harus dilawan dengan melakukan ekspansi. Namun tetap terukur.

4. Takut beda

Banyak orang atau lembaga yang gagal menciptakan perubahan karena takut dibilang melawan tradisi atau jam’ah (konformitas). Ketakutan semacam ini mengungkung kreativitas dan inovasi kita. Perubahan menuntut sesuatu yang berbeda dengan yang lain. Kalau sama juga, sebaiknya tidak usah berubah.

Terkadang kita gagal membedakan mana ajaran agama dan mana tradisi budaya. Ajaran agama, terutama yang ushul tentu tidak bisa kita ubah. Tapi tradisi budaya tentu tidak harus kita abadikan semua. Ada yang mu’rob dan ada yang mabni.

5. Berpikir sekali jadi

Perubahan menuntut penerapan berpikir strategis, mana yang didahulukan, diprioritaskan, dan mana yang perlu disingkirkan dulu. Hukum Islam yang lima sebetulnya mengajarkan kita berpikir strategis. Sayangnya, hukum itu hanya kita terapkan untuk soal ibadah yang formal saja. Untuk strategi hidup, konsep hukum syara’ itu justru kita abaikan.

Begitu kita mengabaikan strategi maka yang muncul adalah kebuntuan dan kemacetan. Kita hanya tahu akibat dari problem tapi problemnya sendiri dan solusinya tidak kita ketahui. Biasanya, yang dikeluhkan orang hanya soal fasilitas, dana, dan semisalnya. Padahal problemnya bukan itu.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved