Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Urgensi "Tajdid Lesbumi" dan Tongkat Estafet Komandonya

Selama ini, Lesbumi telah berjasa besar dalam "ngurip-ngurip" kebudayaan: bergerak di akar rumput.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Urgensi "Tajdid Lesbumi" dan Tongkat Estafet Komandonya

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM - Tajdid atau Pembaharuan semakin menggaung paska Muktamar 34. Kiai-kiai muda energik kalangan Nahdliyyin begitu berharap agar aspek "al-akhdzu bil jadidil ashlah" (mengambil yang baharu yang lebih baik) diberi skala prioritas dibanding "muhafazhah alal qodimis Sholih" (mempertahankan yang lama yang masih baik). Gaung semacam ini juga menyangkut masa depan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang sudah dibentuk sejak tahun 1962.

Selama ini, Lesbumi telah berjasa besar dalam "ngurip-ngurip" kebudayaan: bergerak di akar rumput, mencari dan menemukan, melestarikan dan mengembangkan, semua unsur kebudayaan yang bernafas Ahlussunah wal Jama'ah. Lesbumi juga bertindak membangun narasi-narasi besar kebudayaan dan kesenian: menciptakan ruang seminar dan dialog, menerbitkan gagasan, mementaskan pertunjukan, serta membuka diri bagi pembaharuan.

Alm. Drs. KH. R.Ng. Agus Sunyoto, M.Pd. adalah ketua Lesbumi 2015-2021 dan salah satu figur yang patut diingat. Sbb almargum, bukan saja sejarawan dan intelektual, melainkan juga seorang seniman. Disebut seniman, banyak karya-karya diksinya yang inspiratif, antara lain: Anak-Anak Tuhan (1985), Orang-Orang Bawah Tanah (1985), Ki Ageng Badar Wonosobo (1986), Khatra (1987), Hizbul Khofi (1987), Khatraat (1987), dan Gembong Kertapati (1988).

Di antara karya intelektualnya yang sangat menarik, karena sejarah ditulis dengan gaya cerita berjudul Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syeh Siti Jenar (2003). Buku ini tampaknya tidak semata menggunakan metode ilmiah, yang bersandar pada bukti-bukti material-empitik, tetapi juga mengesankan ada penulisan dengan metode mistik; tirakat batin, riyadah, atau mungkin perjumpaan langsung penulis dengan tokoh yang ditulis. Buku ini sangat representatif untuk menjadikan sosok Agus Sunyoto sebagai teladan seniman di lingkungan Lesbumi.

Namun, semua itu tidak cukup. Karya-karya besar tokoh Lesbumi tidak boleh berhenti pada batas-batas pencapaian individu. Buktinya, secara lembaga, Lesbumi masih banyak menyisakan ruang-ruang baru yang tampaknya belum secara massif diekspansi, antara lain: industri perfilman dan rumah produksi. Dunia film sejatinya adalah media baru yang masuk kategori "al-jadid al-ashlah" (sesuatu yang baharu yang jauh lebih baik). Dengan memasuki industri perfilman, narasi-narasi besar kesenian dan kebudayaan yang digawangi Lesbumi bisa menapak dunia baru yang lebih baik itu. Apalagi kehidupan modern tak bisa dilepaskan dengan youtube.

Lesbumi sendiri tidak kekurangan potensi. Karena organisasi ini menghimpun berbagai macam artis, seperti pelukis, bintang film, pemain pentas, dan sastrawan. Potensi besar ini hanya butuh satu sentuhan sedikit lagi, agar bisa memasuki dunia industri perfilman, dan kemudian menyebarkan nilai-nilai Ahlussunah wal Jama'ah ke level internasional, dengan cara yang populer di kalangan generasi milenial.

Dengan memasuki industri perfilman, bukan mustahil bagi NU umumnya dan Lesbumi khususnya untuk berharap produksi Lesbumi mampu bersaing dengan lembaga kreatif lain yang bernanung pada label Production House (PH) profesional, seperti beberapa karya film bioskop, film pendek atau film dokumenter, bahkan kelak, diharapkan mampu bersaing dengan Negara Korea Selatan yang lebih dulu menawarkan budayanya sebagai konsumsi global sejak tahun 1970-an.

Lesbumi tidak saja punya figur ideal dari generasi sepuh, seperti allahyarham Agus Sunyoto. Dari kalangan generasi muda, Lesbumi juga punya banyak figur. Untuk sineas, misalnya ada Aditya Ahmad, yang pernah menerima the Orizzonti Award untuk kategori Film Pendek, lalu ada sutradara muda berbakat Danial Riefki, juga ada Imam Pituduh, Hamzah Sahal, Salamun Ali Mafaz dan Aguk Irawan MN.

Khusus untuk nama terakhir Aguk Irawan MN (kami biasa menyebut Kang Aguk atau Gus Aguk) ini jejak intelektualnya tak jauh-jauh dengan Kiai Agus Sunyoto, yaitu punya minat yang serius terhadap kajian sejarah Islam Nusantara, salah satu bukunya yang fenomenal adalah "Akar Sejarah Etika Pesantren (Imania, 2018) telah menjadi rujukan penting bagi dunia akademik yang ingin melihat masa lalu Pesantren.

Selain itu Gus Aguk, bersama Kiai Agus Sunyoto dan Ahmad Baso menjadi pakar yang turut membidani terbitnya buku "Madhab Washatiyah Sunan Ampel" (Kerjasama antara FDK UINSA dan Imania, 2021) yang hampir semua sumbernya adalah manuskrip tua. Kesamaan lain, tentu Gus Aguk punya segudang karya sastra, diantaranya: "Penakluk Badai" (2012) tentang biografi Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari; "Peci Miring" (2015) tentang biografi Abdurrahman Wahid; dan "Sang Mujtahid Islam Nusantara" (2016) tentang biografi Wahid Hasyim.

Hal lain dari Gus Aguk adalah terkait kemampuannya untuk melangkah dari sekedar membangun narasi tentang nilai-nilai Aswaja, melalui novel-novelnya, tetapi juga menjadi bagian pemain industri perfilman. Beberapa film yang diadaptasi dari karya Gus Aguk adalah "Haji Backpacker" (2014), "Air Mata Surga" (2015), dll. Bahkan dibeberapa film, Gus Aguk turut menulis skenarionya.

Di titik inilah, persinggungan aktivis Lesbumi dengan industri perfilman sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Tajdid dalam Lesbumi adalah menggarap semua potensi industri perfilman untuk menyebarkan nilai-nilai Aswaja ke-NU-an. Industri film dapat dipahami sebagai instrumen baru yang harus dimanfaatkan, untuk visi misi yang dibangun selama ini.

Jika pun tidak mampu merintis dunia film, ada satu kecenderungan lain anak-anak muda milenial sekarang, yaitu anime (animasi). Jika mengamati sepintas perkembangan komunitas milenial di YouTube, Facebook, Website, sangat mudah dilihat mereka sangat cinta pada anime-anime (manga maupun video) yang diimpor dari Jepang, China, dan Amerika. Sedangkan produk dalam negeri, lebih-lebih dari kalangan Nahdliyyin, sungguh sangat miris dan ironis. Tampak tenggelam dalam kubangan debu sejarah peradaban.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved