Tribunners / Citizen Journalism
Laporan Ombudsman soal Novel Baswedan Berpotensi Jadi Bumerang
Namun Ombudsman justru memilih melanjutkan pemeriksaan sehingga menabrak kewenangan lembaga negara lainnya.
Di situ dijelaskan bahwa misi negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu, kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak (publik).
TWK bagi pegawai KPK menjadi ASN harus dipandang sebagai "misi negara" yang berkenaan dengan tugas dan fungsi KPK dalam menyelenggarakan pelayanan publik, yang melekat dalam kegiatan yang berkenaan dengan proses melahirkan ASN.
Karena ASN yang bakal dihasilkan adalah ASN yang benar-benar menghayati dan mampu mengaktualisasikan prinsip ASN yang berlandas pada nilai dasar; kode etik dan kode perilaku; komitmen; integritas moral, tanggung jawab; kompetensi; dll menyangkut kepentingan strategis nasional.
Kenyataannya, Ombudsman dalam menanggapi laporan/pengaduan 75 pegawai KPK nonaktif telah mengabaikan "misi negara" dan menyalahgunakan wewenang untuk tujuan lain di luar fungsi dan tujuan Ombudsman.
Begitu juga ORI seharusnya patut menduga bahwa di dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN ada wewenang KASN terkait manajemen dan proses rekrutmen ASN menurut Pasal 31, 32 dan 33 UU No 5/2014, dan juga ada wewenang MA terkait uji materiil dan uji formil Perkom No 1/2021, soal TWK yang oleh Ombudsman dianggap sebagai menyalahi prosedur dan wewenang.
Perkom 1/2021 Vs Perkom 12/2018
Penyimpangan yang ditemukan menurut Ombudsman berupa "Pimpinan KPK tidak menyebarluaskan Rancangan Perkom No 1/2021 ke dalam sistem informasi internal setelah dilakukan proses perubahan dan 6 kali rapat harmonisasi hingga pada pengesahan rancangan peraturan KPK".
Sehingga dinilai Ombudsman sebagai telah menyimpang dari Perkom No 12/2018 tentang Produk Hukum KPK, yaitu kewajiban mengumumkan rancangan produk hukum ke dalam sistem informasi internal KPK, sebelum produk hukum tersebut disahkan menjadi peraturan resmi KPK.
Pada tahap ini, Ombudsman tidak jeli melihat perbedaan produk hukum KPK antara Perkom dan Peraturan Pimpinan KPK, karena pada Perkom, ia adalah produk peraturan perundang-undangan yang kekuatan mengikatnya ke luar (mengikat publik), sehingga syarat wajibnya adalah "memperhatikan aspirasi atau pendapat masyarakat luas" (bukan aspirasi pegawai KPK).
Sedangkan Peraturan Pimpinan KPK, karena statusnya bukan peraturan perundang-undangan, yang sifat mengikatnya hanya berlaku ke dalam (internal) KPK, maka sosialisasi, saran dan usul dari pegawai KPK wajib diperhatikan.
Perkom No 1/2021 tidak memerlukan sosialisasi di internal KPK, karena ketentuan Pasal 17 ayat (4) Perkom No 12/2018 sendiri menyatakan bahwa, "dalam hal rancangan produk hukum berbentuk Perkom yang berdampak eksternal, wajib memperhatikan aspirasi/pendapat masyarakat" (bukan asprasi pegawai KPK), meskipun menurut temuan Ombudsman, rancangan Perkom No 1/2021 itu terakhir kali disosialisasikan ketika masih berada di tahap awal, artinya sosialisasi itu ada.
Di Luar Ruang Lingkup
Hukum Acara Ombudsman sesungguhnya terletak pada UU No 25/2009. Karena itu ruang lingkup tugas pengawasan pelayanan publik oleh Ombudsman hanya meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No 25/2009, UU No 30/2014 dan UU No 37/2008 serta peraturan perundang-undangan lainnya).
Ruang lingkup objek pelayanan publik (UU No 25/2009), Pasal 5 ayat (1) bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan "barang publik" dan "jasa publik" serta "pelayanan administratif" yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; ayat (2) ruang lingkup sebagaimana diatur pada ayat (1) meliputi: pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
Dengan demikian baik pengumuman LHAP Ombudsman maupun rekomendasinya yang akan dikeluarkan jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 UU No 30/2014, yang mensyaratkan bahwa "tindakan melampaui wewenang", "mencampuradukkan wewenang" dan "bertindak sewenang-wenang" dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Karena itu, Ombudsman patut diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang, berupa telah mencampuradukkan wewenang, melampaui wewenang dan bertindak sewenang-wenang sebagai perbuatan yang dilarang oleh Pasal 17 UU No 30/2014.
*Petrus Selestinus: Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.