Tribunners / Citizen Journalism
Pemilihan Presiden Amerika Serikat
Joe Biden dan Mimpi Amerika
Pergolakan di Amerika hendaknya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia bahwa untuk mempertahankan demokrasi, optimisme tidaklah cukup.
Sejarawan James Truslow dalam karya klasiknya (1931) "Epic of America" mengurai bahwa "Mimpi Amerika bukanlah semata hasrat akan pendapatan besar dan kepemilikan kendaraan mewah, tetapi mimpi akan tatanan sosial dimana setiap lelaki dan perempuan dapat meraih status puncak sesuai kemampuannya serta mendapatkan pengakuan dari orang lain atas capaiannya tanpa melihat warna kulit, agama dan tempat dimana mereka dilahirkan".
Mimpi Amerika adalah sebuah keyakinan yang dipercaya sebagai pendorong untuk meraih kehidupan yang diinginkan.
Ia ditopang oleh kebebasan, hak-hak individu, dan kesamaan dalam demokrasi. Negara menjamin hak dan kebebasan individu untuk hidup layak dan mendapatkan kebahagiaan.
Melalui kerja keras dan tekun, siapapun dapat meraih kekayaan dan kesuksesan yang gemilang.
Dasar dari mimpi ini adalah kredo Amerika yang ditulis oleh William Tyler Page tahun 1917. Ia kemudian dijadikan judul resolusi Kongres yang ditetapkan pada tanggal 3 April 1918.
Kredo ini menegaskan bahwa Amerika dijalankan oleh pemerintahan; dari, oleh dan untuk rakyat. Kekuasaannya yang adil berasal dari rakyat yang dipimpinnya.
Amerika adalah negara yang didirikan berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan hak, keadilan dan kemanusiaan yang terbentuk dari semangat para patriotnya yang telah mengorbankan jiwa raganya.
Usia kredo Amerika telah mencapai lebih dari satu abad. Tetapi kenyataannya masyarakat Amerika selalu bergolak dalam pertentangan dan perpecahan.
Menurut Sosiolog Todd Gitlin, “Amerika akan selalu terbelah. Menyatukan Amerika hanyalah sebuah mitos.
Keyakinan Amerika sudah bermasalah sedari awal. Hampir seluruh momen dalam sejarahnya diwarnai oleh keterbelahan”.
Di usianya yang panjang, Amerika telah mengalami begitu banyak pertentangan. Industrialisai, imigrasi, partai politik, kebebasan sipil, protes anti-perang, hak memilih untuk perempuan, hak aborsi, hak kaum gay dsb.
Gitlin menambahkan bahwa alasan tunggal mengapa Amerika susah bersatu berasal dari fondasi negara yang menjadi tempat pertemuan (melting pot) orang-orang yang tidak memiliki muasal yang sama.
Gitlin mengklaim bahwa Amerika didirikan tidak seperti negara lain yang terbentuk atas kesepakatan narasi nasional atau nasional konsensus yang tertancap dalam dari narasi pribumi.
Amerika disatukan oleh sebuah doktrin ideologis. Sebuah pernyataan keyakinan, bukan pernyataan identitas.
Frederick Douglass - mantan budak yang menjadi aktivis terkemuka - menyindir cita-cita mulia yang tertulis di deklarasi kemerdekaan Amerika tentang janji kebebasan (freedom). Douglass mempertanyakan, “Apakah prinsip nan agung dari kebebasan politik dan keadilan alamiah yang tercantum dalam teks deklarasi kemerdekaan juga berlaku bagi kami warga kulit hitam?”.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.